COP29 Buntu karena Gak Ada Kesepakatan soal Dana Iklim Global

Jakarta, IDN Times - Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29) di Azerbaijan mengalami kebuntuan serius. Draf teks kesepakatan pendanaan iklim global yang dirilis Kamis (21/11/2024) menuai kritik karena hanya mencantumkan simbol "X" sebagai pengganti target nominal pendanaan.
Pertemuan yang dihadiri hampir 200 negara ini berakhir pada Jumat (22/11/2024) malam. Namun, negara maju dan berkembang masih belum menyepakati besaran dana yang harus disediakan untuk mengatasi krisis iklim global.
Kritik terhadap draf kesepakatan muncul setelah dokumen 10 halaman tersebut dirilis pada Kamis pagi waktu setempat. Draf ini memangkas lebih dari setengah isi dokumen versi sebelumnya.
1. Draf kesepakatan masih tanpa angka target
Beberapa pihak mengkritik ketiadaan angka konkret dalam draf teks.
"Simbol X untuk pendanaan iklim adalah bukti ketidakmampuan negara-negara kaya dan ekonomi berkembang dalam menemukan solusi yang bisa dijalankan untuk semua pihak," ujar direktur lembaga think thank Common Initiative, Oscar Soria, dilansir dari The Guardian.
Soria menambahkan, ketidakjelasan ini bisa membahayakan masa depan negara-negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Sementara itu, Komisaris Iklim Uni Eropa, Wopke Hoekstra, juga menyatakan ketidakpuasannya terhadap draf yang ada. Menurutnya, teks yang diajukan sama sekali tidak dapat dijalankan dan tidak bisa diterima.
Draf terbaru hanya menawarkan dua opsi yang dianggap sebagai posisi yang saling bertolak belakang tanpa ada upaya kompromi. Kepemimpinan Azerbaijan sebagai tuan rumah juga dipertanyakan. Tuan rumah dinilai terlalu condong kepada negara-negara yang tidak menginginkan kesepakatan yang kuat.
2. Negara maju hanya siap berikan sepertiga dari dana yang diminta
Negara-negara berkembang menuntut pendanaan iklim minimal 1 triliun dolar AS (setara Rp15.900 triliun) per tahun. Dana ini dibutuhkan untuk membantu mereka beralih ke ekonomi rendah karbon dan mengatasi dampak cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.
Di sisi lain, negara-negara maju diperkirakan hanya akan menawarkan bantuan langsung sekitar 200-300 miliar dolar AS (setara Rp3.100-4.700 triliun). Mereka menginginkan sisa dari target tersebut dipenuhi melalui bentuk pendanaan baru seperti pajak bahan bakar fosil dan investasi sektor swasta.
Negara maju menuntut kontribusi pendanaan dari China dan negara kaya minyak seperti Arab Saudi, Qatar, dan UEA, mengingat kekuatan ekonomi mereka. Namun berdasarkan Perjanjian Paris, negara-negara tersebut masih dikategorikan sebagai negara berkembang.
Sementara, Saudi dan sekutunya diduga sengaja ingin menggagalkan kesepakatan COP29. Hal ini terlihat dari dihapusnya kesepakatan penting yang sudah dibuat di pertemuan COP28 Dubai tahun lalu, yaitu komitmen dunia untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.
3. Kenaikan suhu bumi diprediksi akan lewati ambang batas

Aktivitas manusia, terutama penggunaan bahan bakar fosil, telah menaikkan suhu bumi 1,3 derajat Celsius dari era praindustri. Kondisi ini memicu bencana seperti banjir, badai, kekeringan, dan gelombang panas ekstrem.
Dunia diprediksi akan melewati ambang batas kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius pada awal 2030-an. Melewati ambang ini akan memicu dampak perubahan iklim yang jauh lebih parah.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, kembali ke Baku dari pertemuan G20 di Brasil untuk mendorong tercapainya kesepakatan. Guterres memperingatkan bahwa kesepakatan ini tidak boleh sampai gagal.
Sementara itu, negosiator COP29 Yalchin Rafiyev berusaha mendorong semua pihak untuk lebih terbuka.
"Ini adalah momen ketika Anda perlu mengeluarkan semua kartu di atas meja," ujar Rafiyev, dilansir dari Reuters.