AS Janji Tetap Perangi Perubahan Iklim Usai Trump Menang

Jakarta, IDN Times - Utusan iklim Amerika Serikat (AS), John Podesta, menyatakan, komitmen melawan perubahan iklim akan tetap berlanjut meski Donald Trump kembali jadi presiden. Pernyataan ini disampaikan pada pembukaan Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29) di Baku, Azerbaijan, Senin (11/11/2024).
Trump sebelumnya berjanji akan menarik AS dari perjanjian iklim Paris untuk kedua kalinya dan membongkar standar lingkungan yang ada. Podesta mengakui hasil pemilu sangat mengecewakan. Namun ia menekankan bahwa fakta dan sains tetap tidak berubah.
"Ini bukan akhir dari perjuangan kita untuk planet yang lebih bersih dan aman. Perjuangan ini lebih besar dari satu pemilu, satu siklus politik di satu negara," ujar Podesta, dikutip dari The Guardian.
AS sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar sepanjang sejarah tetap berkomitmen pada aksi iklim global.
"Meskipun pemerintah federal AS di bawah Trump mungkin mengabaikan perubahan iklim, upaya mengendalikannya akan terus berlanjut di AS dengan komitmen, semangat, dan keyakinan," tambah Podesta.
1. Trump tidak bisa mengganti kebijakan iklim Biden dengan mudah
Dilansir Reuters, pemerintahan Biden telah menyetujui pendanaan sebesar 98 miliar dolar AS (Rp1.500 triliun) melalui Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA). Dana tersebut dialokasikan untuk pengembangan energi bersih. Program ini sulit dibongkar total karena Trump membutuhkan persetujuan Kongres untuk mencabutnya.
Beberapa anggota Partai Republik di Kongres mendukung IRA karena memberikan manfaat investasi energi bersih ke daerah pemilihan mereka.
"Saya tidak berpikir program ini bisa dibatalkan sepenuhnya. Mungkin bisa diperlambat? Ya. Tapi arahnya sudah jelas," jelas Podesta, dilansir dari Reuters.
Energi bersih juga telah menjadi lebih terjangkau dan menarik di banyak negara. Transisi energi kini telah berkembang pesat dengan China mendominasi pembangunan teknologi hijau secara global.
2. Kebijakan Trump berpotensi tambah 4 miliar ton emisi CO2
Sebuah analisis pada Juni 2024 memperingatkan dampak kebijakan Trump. Analisis tersebut menyebut emisi karbon dioksida bisa bertambah 4 miliar metrik ton hingga 2030 dibandingkan kebijakan Biden. Trump juga berencana mengeluarkan perintah eksekutif untuk menghapus berbagai kebijakan iklim yang ada.
Ketidakterlibatan AS dalam isu iklim dikhawatirkan membuat negara lain mundur dari komitmen yang ada. Todd Stern, mantan utusan khusus iklim AS, menilai China sebagai penyumbang emisi terbesar saat ini akan lebih leluasa. Hal ini karena Trump tidak akan membahas isu iklim selama empat tahun ke depan.
"Dua pemain terbesar adalah AS dan China, dan China sangat menyadari hal itu. China kini lebih bebas karena Trump tidak akan membahas isu iklim selama empat tahun ke depan," kata Stern.
3. Sektor swasta dan lokal tetap dorong aksi iklim
Podesta menyatakan upaya pengurangan emisi akan terus dilakukan oleh sektor swasta, negara bagian, dan kota-kota. Mereka akan menjalankan berbagai regulasi dan inisiatif di tingkat lokal untuk mendukung aksi iklim.
Saat ini, AS dan China masih berkomitmen mengatasi polutan iklim. Melansir Politico, kedua negara akan menggelar KTT bersama pada Selasa (12/11) untuk membahas metana dan polutan iklim lainnya.
"Saya menuju Baku untuk meyakinkan kembali komunitas internasional bahwa sebagian besar wilayah AS tetap berkomitmen menjauhkan planet dari bencana iklim," ujar Senator AS, Sheldon Whitehouse yang akan hadir di COP29 pekan ini.
Sementara itu, KTT COP29 fokus pada kesepakatan pendanaan iklim hingga 1 triliun dolar AS (Rp15.700 triliun) per tahun untuk negara berkembang. Tina Stege, utusan iklim Kepulauan Marshall menilai perjanjian Paris yang ditandatangani 195 negara akan tetap berjalan meski ada berbagai tantangan.