DNA Bebek Ditemukan di Mesin Pesawat Jeju Air

- Laporan awal menemukan DNA bebek di kedua mesin pesawat Jeju Air yang jatuh, menjadi kecelakaan udara paling mematikan dalam sejarah Korea Selatan.
- Pesawat jatuh saat mendarat darurat di Bandara Muan, menewaskan 179 dari 181 penumpang dan kru, dengan mesin terkubur dan bagian depan pesawat terpencar.
- Pilot mengumumkan keadaan darurat karena serangan burung saat mendekati landasan, namun penyebab pasti kecelakaan masih belum diketahui.
Jakarta, IDN Times - Laporan awal menyebutkan DNA bebek ditemukan di kedua mesin pesawat Jeju Air yang jatuh bulan lalu. Insiden ini menjadi kecelakaan udara paling mematikan dalam sejarah Korea Selatan.
Menurut laporan yang dirilis Senin (27/1/2025), mesin pesawat Boeing 737-800 tersebut mengandung DNA Baikal Teals, sejenis bebek migrasi yang kerap terbang ke Korea Selatan pada musim dingin. Namun, penyebab pasti kecelakaan masih belum diketahui.
1. Kronologi kecelakaan

Pesawat Jeju Air dari Bangkok jatuh pada 29 Desember 2024 saat mencoba mendarat darurat di Bandara Muan. Pesawat tersebut melewati landasan pacu dan menabrak tanggul navigasi, menewaskan 179 dari 181 penumpang dan kru.
“Setelah menabrak tanggul, terjadi kebakaran dan ledakan sebagian,” ungkap laporan tersebut.
Kedua mesin pesawat terkubur di dalam tanah, sementara bagian depan pesawat terpencar hingga jarak 30-200 meter dari lokasi benturan.
2. Serangan burung sebagai dugaan awal
Laporan menyebut pilot mengumumkan keadaan darurat dengan panggilan “Mayday x 3” karena adanya serangan burung saat pesawat mendekati landasan. Namun, waktu pasti kejadian serangan burung itu belum terkonfirmasi.
Dilansir CNA, pesawat berada pada ketinggian 152 meter dengan kecepatan 298 km/jam, sekitar 2 kilometer dari landasan, ketika perekam suara kokpit (CVR) dan data penerbangan (FDR) tiba-tiba berhenti merekam. Laporan tidak menjelaskan apa yang menyebabkan penghentian tersebut.
3. Proses investigasi internasional
Laporan ini telah diserahkan kepada Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) serta pihak-pihak terkait, termasuk Thailand, Amerika Serikat, dan Prancis, yang terlibat dalam pembuatan pesawat dan mesinnya.
Menurut peraturan ICAO, laporan awal harus dirilis dalam waktu 30 hari setelah kecelakaan, sementara laporan final diharapkan rampung dalam 12 bulan. Penyebab pasti kecelakaan, termasuk faktor teknis dan lingkungan, masih dalam tahap investigasi lebih lanjut.
Kecelakaan ini menjadi pengingat pentingnya penanganan risiko migrasi burung di jalur penerbangan. Dengan keterlibatan berbagai pihak internasional, diharapkan investigasi ini dapat memberikan solusi untuk mencegah insiden serupa di masa depan.