Gencatan Senjata Berlaku, Hamas Masih Berkuasa di Gaza

- Hamas menguasai Gaza dan akan membebaskan sandera Israel sebagai imbalan atas tahanan Palestina.
- Israel menilai gencatan senjata dengan Hamas sebagai ancaman bagi keamanan negaranya dan rakyat Palestina.
- Perdana Menteri Netanyahu mengancam akan melanjutkan serangan jika tujuan negaranya tidak tercapai, sementara Hamas menolak usulan reformasi Otoritas Palestina.
Jakarta, IDN Times - Ketika gencatan senjata membawa ketenangan di wilayah Gaza yang hancur, Hamas dengan cepat keluar dari persembunyiannya. Milisi perlawanan Palestina itu tetap menguasai wilayah pesisir yang kini menyerupai gurun apokaliptik. Pada Senin (20/1/2025) pihaknya mengatakan akan mengoordinasikan distribusi bantuan kepada masyarakat Gaza.
Kemunculan pejuang Hamas terlihat dalam penyerahan tiga sandera Israel ke Palang Merah pada hari pertama gencatan senjata. Mereka menggunakan topeng dan mengenakan ikat kepala hijau dan seragam militer. Sementara di wilayah lain, ribuan polisi berseragam pimpinan milisi itu muncul kembali, membuat kehadiran mereka diketahui.
Hamas mengatakan akan kembali membebaskan sandera yang ditahan di Gaza pada Sabtu mendatang. Pihaknya diperkirakan akan membebaskan empat sandera Israel sebagai imbalan atas tahanan Palestina yang ditahan, dilaporkan oleh Reuters.
1. Israel tak terima Hamas berkuasa di Gaza
Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, mengatakan bahwa gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tahanan dengan Hamas menimbulkan biaya besar bagi Israel. Sa’ar mengklaim bahwa kekuasaan milisi Palestina itu di Gaza merupakan ancaman signifikan bagi keamanan negaranya dan rakyat Palestina.
"Tidak akan ada perdamaian, stabilitas dan keamanan di masa depan bagi kedua belah pihak jika Hamas tetap berkuasa di Gaza. Israel berkomitmen untuk mencapai tujuannya dalam perang Gaza, termasuk pengembalian sandera dan pembongkaran Hamas," kata Sa’ar, dikutip dari Anadolu.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengancam akan melanjutkan serangan setelah fase enam minggu pertama gencatan senjata, jika tujuan negaranya tidak tercapai. Sementara itu, Hamas mengatakan pihaknya tidak akan melepaskan puluhan tawanan yang tersisa tanpa gencatan senjata abadi dan penarikan pasukan Israel dari Gaza.
Netanyahu juga menolak usulan AS dan negara-negara sahabat Arab agar Otoritas Palestina direformasi untuk memerintah Gaza dan sebagian wilayah Tepi Barat yang diduduki. Pemimpin itu menentang pembentukan negara Palestina dan berjanji akan mempertahankan kontrol keamanan terbuka di kedua wilayah tersebut.
2. Israel telah gagal menggulingkan Hamas dari kekuasaan

Meski Israel telah mengerahkan seluruh kekuatan militernya di Gaza, mereka gagal menggulingkan Hamas dari kekuasaan, yang merupakan salah satu tujuan utama serangannya. Hal ini membuat kembalinya pertempuran menjadi lebih mungkin.
"Israel terbangun dari mimpi buruk yang sama. Hamas akan tetap berkuasa dan akan terus membangun lebih banyak terowongan dan merekrut lebih banyak orang, tanpa munculnya alternatif lokal," kata seorang jurnalis veteran Israel, Avi Issacharoff, dilansir Associated Press.
Seorang mantan perwira intelijen militer Israel, Michael Milshtein, mengatakan Hamas tidak lagi memiliki kemampuan untuk melancarkan serangan seperti pada 7 Oktober. Namun, milisi itu telah kembali ke akar pemberontaknya, menggunakan taktik kreatif, seperti memanen persenjataan Tel Aviv yang belum meledak untuk dijadikan bom rakitan.
"Perang berakhir dengan persepsi keberhasilan yang kuat bagi Hamas. Kemampuan wajib militernya akan luar biasa. Mereka tidak akan mampu mengatasinya," ujarnya.
3. Warga Palestina yang paling lama di penjara Israel akan dibebaskan

Gencatan senjata Israel-Hamas menguraikan fase awal yang berlangsung selama enam minggu. Itu mencakup penarikan bertahap pasukan Tel Aviv dari Jalur Gaza dan pembebasan sandera oleh Hamas, dengan imbalan tahanan Palestina yang ditahan.
Salah satu warga Palestina yang paling lama mendekam di penjara Israel, Nael Barghouti, termasuk di antara lebih dari 200 tahanan yang akan dibebaskan dalam perjanjian tersebut. Nael telah menghabiskan 44 tahun penjara. Dia dipenjara pada 1978 karena membunuh seorang sopir bus Israel.
Israel mengatakan bahwa warga Palestina yang dihukum karena membunuh warga Israel itu harus dideportasi secara permanen jika mereka dibebaskan berdasarkan perjanjian gencatan senjata di Gaza. Mereka juga tidak akan diizinkan kembali ke rumahnya di Tepi Barat yang diduduki.