Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Hamas Hilang Kontak dengan Kelompok yang Tahan Sandera Israel-AS 

poster para sandera Israel (Chenspec, CC BY-SA 4.0 , via Wikimedia Commons)
poster para sandera Israel (Chenspec, CC BY-SA 4.0 , via Wikimedia Commons)

Jakarta, IDN Times - Sayap bersenjata Hamas, Brigade al-Qassam, mengaku telah kehilangan kontak dengan kelompok yang menahan sandera Israel-Amerika, Edan Alexander di Jalur Gaza. Hal ini terjadi setelah Israel mengebom area tempat ia ditahan.

“Tampaknya tentara pendudukan sengaja mencoba membunuhnya agar terlepas dari tekanan yang ditimbulkan oleh para tahanan yang memiliki kewarganegaraan ganda, sehingga dapat melanjutkan genosida terhadap rakyat kami,” kata Abu Obeida, juru bicara Brigade Qassam, pada Selasa (15/4/2025).

Ia tidak menyebutkan di mana Alexander ditahan di Gaza, namun mengatakan bahwa mereka saat ini sedang berusaha menjangkau mereka. Kelompok tersebut kemudian merilis sebuah video yang memperingatkan bahwa para sandera akan kembali dalam peti mati jika Israel tetap melanjutkan agresi militernya di Gaza.

1. Alexander muncul dalam video yang dirilis Hamas pekan lalu

Pada Sabtu (12/4/2025), Hamas merilis video yang menunjukkan Alexander dalam keadaan hidup. Dalam rekaman, pria berusia 21 tahun itu memohon kepada Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, agar membebaskannya dari Gaza, dan mendesaknya untuk tidak mempercayai kebohongan yang disampaikan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu

Alexander lahir di Tel Aviv dan dibesarkan di negara bagian New Jersey, AS. Setelah lulus SMA, ia kembali ke Israel untuk bergabung dengan militer. Ia bertugas di unit infanteri elite di perbatasan Gaza ketika ditangkap oleh Hamas dalam serangan 7 Oktober 2023.

Dari total 251 orang yang disandera, 59 di antaranya masih berada di Gaza, dengan 24 orang diperkirakan masih hidup. Alexander diyakini sebagai satu-satunya sandera AS yang masih hidup dan ditahan oleh Hamas.

Dalam wawancara pekan ini, ayahnya, Adi Alexander, mempertanyakan tindakan Netanyahu dalam membebaskan para sandera.

"Bagaimana Anda berencana mengeluarkan sandera tanpa mengakhiri perang ini dan tanpa berkomitmen pada tahap kedua kesepakatan ini?" ujarnya, dikutip dari BBC.

2. AS sebut pembebasan Alexander merupakan prioritas utama

Menurut Hani Mahmoud dari Al Jazeera, warga Gaza yakin bahwa AS memiliki kepentingan untuk memastikan pembebasan Alexander dalam kesepakatan yang dinegosiasikan. Bulan lalu, utusan khusus Trump, Steve Witkoff, menyatakan bahwa upaya pembebasan Alexander merupakan prioritas utama Washington.

“Mereka yakin hal ini akan meningkatkan tekanan terhadap pemerintah Israel untuk mempercepat proses dan mencapai kesepakatan. Jika dikonfirmasi bahwa Alexander telah terbunuh, maka kelompok Palestina akan kehilangan apa yang mereka harapkan sebagai alat tekanan terhadap pemerintahan Netanyahu agar menyetujui perjanjian gencatan senjata," kata Mahmoud, melaporkan dari Kota Gaza.

Hamas sebelumnya menyalahkan Israel atas kematian para sandera di Gaza, termasuk akibat serangan bom. Mereka juga mengakui adanya satu kasus di mana seorang sandera tewas akibat ulah penjaga yang bertindak di luar instruksi.

3. Hamas tolak tawaran gencatan senjata dari Israel

Pada Senin (14/4/2025), Israel mengeluarkan proposal gencatan senjata kepada mediator Mesir dan Qatar, menawarkan gencatan senjata sementara selama 45 hari dengan imbalan pembebasan 11 sandera, termasuk Alexander. Israel juga mensyaratkan Hamas untuk meletakkan senjata.

Dalam pernyataannya, kelompok Palestina itu mengatakan bahwa pihaknya sedang mempelajari proposal tersebut, namun pejabat senior Sami Abu Zuhri mengungkapkan bahwa mereka tidak idak akan menerima tuntutan untuk melucuti senjata, dilansir dari Al Jazeera.

Hamas membebaskan 38 sandera dalam kesepakatan gencatan senjata terakhir yang dimulai pada 19 Januari 2025. Namun pada 18 Maret, Israel kembali melancarkan serangan brutal ke Gaza dan memberlakukan blokade total terhadap wilayah tersebut. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan bahwa krisis kemanusiaan di sana semakin parah.

Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 51 ribu warga Palestina telah terbunuh sejak serangan Israel dimulai pada Oktober 2023. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rama
EditorRama
Follow Us