Ibu di Gaza: Tidak Ada Hari Perempuan di Sini!

Jakarta, IDN Times - Hari Perempuan Internasional, yang jatuh pada 8 Maret, biasanya merupakan hari libur besar di Palestina. Orang-orang akan mengenakan pakaian terbaik mereka dan berbondong-bondong menuju hotel dan restoran untuk merayakannya bersama anggota keluarga perempuan mereka.
Kini, dengan hampir 2,3 juta penduduk Gaza yang telah kehilangan tempat tinggal dan berjuang untuk bertahan hidup, hari perempuan tak lebih dari sebuah lelucon yang kejam.
“Sekarang, hari-hari kami terlihat sama. Hari-hari penuh pesta, saat-saat bahagia, makanan enak, tawa dan harapan, semuanya hilang karena perang. Apa itu Hari Perempuan? Hak-hak dasar kami dirampas, kami kehilangan penghidupan. Setiap hari perempuan mati akibat bom Israel," tutur Um Zaki, yang tinggal di sebuah tenda di Rafah, kepada Reuters.
Dalam percakapan di telepon, ia mengatakan bahwa dirinya sedang memasak bubur di udara terbuka untuk memberi makan keenam anaknya yang lapar. Dia pun mulai bercerita tentang kehidupannya sebagai pengungsi, termasuk ketika ia menjemur pakaian dalamnya di luar tenda sehingga dapat dilihat oleh semua orang.
"Hari Perempuan! Tidak ada Hari Perempuan di Gaza. Di Gaza kita hampir mendekati Hari Kiamat karena Israel!" teriak seorang perempuan yang berada di dekatnya.
1. Jurnalis perempuan Palestina hadapi tantangan besar dalam meliput tragedi di Gaza
Jurnalis Palestina bernama Hind Al-Khudari, 28 tahun, mengungkapkan bahwa dia tidak pernah membayangkan bahwa Hari Perempuan Internasional akan tiba saat perempuan di Gaza menjadi sasaran serangan Israel.
Dalam sebuah wawancara dengan Anadolu, dia mengatakan bahwa situasi saat ini di Jalur Gaza berdampak terhadap semua perempuan Palestina terlepas dari profesi mereka.
“Tantangan yang kami hadapi sangat besar. Kami kekurangan banyak hak dasar, bahkan akses ke kamar mandi menjadi sebuah tantangan. Ketika kami mendapat satu kali makan, kami menganggapnya sebagai harta yang berharga," kata Khudari.
“Perempuan di sini adalah pengungsi, ibu dari para martir, atau janda. Mereka kehilangan pekerjaan, rumah, dan orang yang mereka cintai," tambahnya, seraya meminta dunia untuk menyoroti perjuangan perempuan Palestina pada Hari Perempuan Internasional.
Koresponden TRT Arabi, Ruba Al-Ajrami, 30 tahun, juga membenarkan bahwa blokade dan serangan yang dilancarkan Israel di Jalur Gaza telah membuat seluruh warga Palestina, terutama perempuan, berjuang untuk bertahan hidup dalam situasi yang mustahil.
“Saya melakukan yang terbaik untuk menyediakan makanan dan kebutuhan hidup dasar lainnya bagi keluarga saya di kota Rafah setelah saya mengungsi di sana untuk menghindari serangan yang dilancarkan di Gaza," kata Ruba, yang juga seorang ibu dari empat anak.
"Pada saat yang sama, kami berupaya mendokumentasikan apa yang terjadi di Gaza dan mempublikasikannya agar dunia dapat melihatnya."
2. 60 ribu ibu hamil di Gaza alami dehidrasi dan kekurangan gizi
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan bahwa 60 ribu ibu hamil di wilayah tersebut mengalami dehidrasi dan kekurangan gizi.
“Lima ribu perempuan hamil melahirkan setiap bulan di Gaza di tengah kondisi yang keras, tidak aman, dan tidak sehat akibat pemboman dan pengungsian,” kata kementerian dalam sebuah pernyataan.
Menurut pejabat kesehatan di Gaza, hampir sembilan ribu dari 30.878 orang yang dipastikan tewas dalam serangan Israel adalah perempuan, dan 13 ribu lainnya adalah anak-anak.
Dengan kelaparan akut yang kini menyebar ke seluruh wilayah tersebut, ibu dan anak kecil merupakan kelompok yang paling rentan.
Menurut IPC, sebuah badan internasional yang bertugas melakukan penilaian kelaparan, krisis di Gaza merupakan kondisi darurat kelaparan yang paling parah yang pernah disaksikan oleh badan tersebut.
"Gaza telah mengalami jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan akut tingkat tinggi yang pernah diklasifikasikan oleh IPC untuk wilayah atau negara tertentu," lapor IPC bulan lalu.
3. Israel bantah halangi masuknya bantuan ke Gaza
Sementara itu, militer Israel bersikeras bahwa pihaknya telah melakukan segala upaya untuk meminimalkan kerugian terhadap warga sipil, dan menuduh Hamas menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia.
Israel mengatakan bahwa mereka tidak membatasi masuknya bantuan ke Gaza. Sebaliknya, mereka menyalahkan badan-badan PBB yang bertanggung jawab dalam mendistribusikan bantuan atas kekurangan tersebut.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dalam pidato kenegaraannya pada Kamis (7/3/2024) mengumumkan rencananya untuk membangun pelabuhan sementara di lepas pantai Gaza untuk meningkatkan pengiriman bantuan. Namun, langkah itu dikritik sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dari ratusan ribu warga Palestina yang kelaparan.
“Tampaknya ini hanyalah upaya untuk mengalihkan perhatian dari masalah sebenarnya di sini, yaitu 700 ribu orang kelaparan di Gaza utara saat ini, dan Israel tidak mengizinkan bantuan kemanusiaan kepada mereka atau wilayah lain di Jalur Gaza,” kata Mustafa Barghouti, sekretaris jenderal Inisiatif Nasional Palestina, kepada Al Jazeera.
Ia menambahkan bahwa ada banyak truk bantuan yang menunggu untuk masuk ke Gaza di perbatasan Rafah, namun komunitas internasional tidak melakukan apa pun untuk menekan Israel agar menghentikan blokade.