Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

ICC Vonis Dua Petinggi Milisi Afrika Tengah atas Kejahatan Perang

kantor ICC di Belanda. (Tony Webster, CC BY 2.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/2.0>, via Wikimedia Commons)
Intinya sih...
  • Alfred Yekatom dan Patrice-Edouard Ngaissona memimpin serangan terhadap populasi Muslim di Afrika Tengah.
  • Proses peradilan atas keduanya berlangsung selama 4 tahun dengan melibatkan 115 saksi dan lebih dari 16 ribu item bukti.
  • Milisi Anti-Balaka merespons perebutan kekuasaan oleh pemberontak Seleka pada Maret 2013, yang mengakibatkan ribuan warga sipil tewas dan ratusan ribu orang mengungsi.

Jakarta, IDN Times – Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memvonis dua pemimpin milisi Afrika Tengah, Patrice-Edouard Ngaissona dan Alfred Yekatom, atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan pada Kamis (24/7/2025). Keduanya terbukti bersalah mengoordinasikan serangan terhadap populasi sipil Muslim pada 2013-2014.

Yekatom, seorang komandan lapangan yang dikenal dengan julukan Rambo, dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Sementara itu, Ngaissona yang merupakan mantan ketua federasi sepak bola Afrika Tengah, menerima hukuman 12 tahun penjara, dilansir Al Jazeera.

1. Mendalangi serangan terhadap populasi Muslim

Alfred Yekatom adalah seorang komandan militer yang memimpin langsung sekitar 3 ribu pejuang kelompok milisi mayoritas Kristen, Anti-Balaka, di lapangan. Ia terbukti mendorong pasukannya untuk melakukan kekejaman selama konflik berlangsung.

Berbeda dengan Yekatom, Patrice-Edouard Ngaissona memegang peran sebagai koordinator politik gerakan tersebut. Ia dinyatakan bersalah karena menyediakan dana dan arahan kepada kelompok-kelompok milisi, dilansir BBC.

Jaksa penuntut mengungkapkan bahwa strategi utama keduanya adalah menjadikan seluruh populasi Muslim sebagai target serangan. Mereka secara sengaja mengarahkan kekerasan dengan melabeli populasi Muslim sebagai musuh negara.

Salah satu detail kekejaman yang terungkap dalam sidang adalah saat pasukan Yekatom menyiksa seorang pria. Para milisi memotong jari tangan, jari kaki, dan satu telinga pria tersebut, yang jasadnya tidak pernah ditemukan.

2. Proses peradilan berlangsung selama 4 tahun

Melansir DW, proses hukum Yekatom dimulai setelah ia ditangkap di Afrika Tengah karena melepaskan tembakan di parlemen pada 2018. Ngaissona ditangkap oleh pihak berwenang Prancis pada Desember di tahun yang sama sebelum diserahkan ke ICC.

Persidangan atas keduanya memakan waktu hampir empat tahun dan menghadirkan 115 saksi dari pihak jaksa. Sebanyak 75 saksi di antaranya memberikan kesaksian langsung di hadapan majelis hakim.

Lebih dari 16 ribu item bukti diajukan untuk mendukung dakwaan terhadap mereka. Meskipun dihadapkan pada banyak bukti, kedua pria tersebut menyatakan diri tidak bersalah atas semua tuduhan. Wakil Jaksa ICC Mame Mandiaye Niang menilai putusan ini akan sangat berarti bagi para korban.

"Putusan hari ini adalah pengakuan penting atas kerugian dan penderitaan besar para korban dan komunitas yang terdampak di Republik Afrika Tengah, dan sebuah bukti atas keberanian dan ketahanan para pria dan wanita yang berkontribusi untuk mewujudkan kebenaran melalui kesaksian mereka," ujar Niang, dikutip dari situs resmi ICC.

Namun, pengadilan membebaskan Yekatom dari dakwaan penggunaan tentara anak. Sementara, Ngaissona juga dinyatakan tidak bersalah atas dakwaan pemerkosaan dalam putusan tersebut.

3. ICC juga sedang mengadili komandan Seleka

Kekerasan yang dilakukan milisi Anti-Balaka merupakan serangan balasan yang dipicu perebutan kekuasaan oleh pemberontak Seleka pada Maret 2013. Kudeta yang menggulingkan Presiden Francois Bozize tersebut memantik konflik di Afrika Tengah.

Konflik tersebut menyebabkan dampak kemanusiaan yang parah dengan ribuan warga sipil tewas. Selain korban jiwa, ratusan ribu orang lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk mengungsi akibat eskalasi kekerasan.

Sebuah persidangan terpisah terhadap Mahamat Said Abdel Kani, seorang komandan dari faksi Seleka, saat ini juga sedang berlangsung di Den Haag.

"Kejahatan yang dilakukan keduanya sangat serius dalam segala aspek, menyebabkan dampak yang mengerikan dan tak terlupakan bagi penduduk sipil. Putusan ini merupakan pesan kuat dari ICC bahwa mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman berdasarkan Statuta Roma akan diadili dan dimintai pertanggungjawaban," kata Niang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sonya Michaella
EditorSonya Michaella
Follow Us