Ini Respons Jepang soal Usulan PBB Perempuan Bisa Jadi Kaisar

Jakarta, IDN Times - Jepang merespons rekomendasi Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan PBB, yang menyerukan revisi undang-undang (UU) yang membatasi pergantian kekaisaran hanya berlaku untuk laki-laki.
Pada Oktober 2024, komite tersebut mendesak Jepang untuk memastikan kesetaraan gender dalam pergantian kekaisaran. Namun, Hukum Keluarga Kekaisaran menetapkan bahwa penerus takhta haruslah laki-laki dari dalam garis keturunan laki-laki kekaisaran.
"Ketentuan hukum tersebut bukan merupakan diskriminasi terhadap perempuan karena kelayakan untuk naik takhta bukanlah salah satu hak asasi manusia (HAM)," kata Sekretaris Pers Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Jepang, Toshihiro Kitamura, dalam konferensi pers pada 29 Januari 2025.
"Masalah pergantian kekaisaran adalah hal yang mendasar bagi negara, dan tidak pantas bagi komite untuk membahas UU Keluarga Kekaisaran," sambungnya, dikutip dari NHK News pada Kamis (30/1/2025).
1. Jepang desak PBB untuk menarik rekomendasi tersebut
Dilansir Japan Times, Tokyo mendesak PBB untuk menarik rekomendasi tersebut. Tindakan itu akan menunjukkan posisi pemerintah Jepang dengan lebih jelas.
Kitamura mengungkapkan bahwa pemerintah pada 27 Januari meminta Kantor Komisaris Tinggi HAM (OHCHR), yang mengawasi operasi komite, untuk tidak mengalokasikan kontribusi sukarela Jepang untuk kegiatan komite. Ia juga menyebutkan bahwa pemerintah telah membatalkan kunjungan anggota komite ke Jepang yang telah dijadalkan untuk tahun fiskal saat ini.
Jepang mengaku telah menyumbang sekitar 130 ribu dolar AS (sekitar Rp2,1 miliar) hingga 200 ribu (Rp3,2 miliar) dolar AS per tahun kepada OHCHR. Namun, dana itu belum digunakan untuk kegiatan komite tersebut setidaknya sejak 2005.
2. Monarki turun-temurun Jepang telah berlaku sejak ribuan tahun lalu

Pada Oktober 2024, komite yang terdiri dari para ahli di bidang isu-isu perempuan dari seluruh dunia menyimpulkan, aturan pergantian yang ditetapkan dalam Hukum Keluarga Kekaisaran tahun 1947 dianggap bertentangan dengan maksud dan tujuan dari Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang diadopsi pada 1979 oleh Majelis Umum PBB.
Sebelumnya pada 2016, Jepang menentang keras rekomendasi dari komite untuk mengubah UU Keluarga Kekaisaran yang dimasukkan dalam draf kesimpulan tinjauan tahun itu. Versi finalnya tidak menyebutkan masalah tersebut.
Disebutkan, monarki turun-temurun Jepang telah berlangsung sejak lebih dari 2.600 tahun lalu. Ini termasuk pemimpin mitologi yang awal keberadaannya masih diperdebatkan, dengan takhta yang secara konsisten diwariskan kepada garis keturunan laki-laki. Berdasarkan Hukum Keluarga Kekaisaran, perempuan tidak dapat naik ke Takhta Krisan.
3. Kekaisaran Jepang kekurangan penerus

Kyodo News melaporkan, revisi aturan pergantian telah lama diperdebatkan di Negeri Sakura, di tengah kekurangan penerus. Kaisar Naruhito yang berusia 64 tahun, hanya mempunyai tiga ahli waris. Sementara, ia memiliki anak tunggal, yakni Putri Aiko yang berusia 23 tahun.
Para penerus tersebut adalah saudara laki-lakinya, Putra Mahkota Fumihito yang berusia 59 tahun, keponakannya Pangeran Hisahito yang berusia 18 tahun, dan pamannya Pangeran Hitachi yang berusia 89 tahun.
UU mengharuskan anggota perempuan untuk meninggalkan keluarga kekaisaran setelah menikah dengan rakyat biasa.
Parlemen Jepang telah menyerukan kepada pemerintah untuk segera mengadakan diskusi tentang masalah pergantian di tengah menyusutnya keluarga kekaisaran dalam resolusi tidak mengikat pada 2017. Panel pemerintah yang bertugas mempelajari cara-cara untuk memastikan pergantian kekaisaran yang stabil mengatakan pada 2021 bahwa masalah tersebut harus dinilai di masa mendatang.