Israel Tidak Yakin akan Danai Rekonstruksi Gaza

- Israel belum memutuskan apakah akan mendanai rekonstruksi Gaza, menunggu perdamaian abadi dengan Hamas.
- Uni Emirat Arab dan AS mendukung rekonstruksi Gaza asalkan tidak mengancam keamanan Israel.
- PBB memperkirakan diperlukan dana sebesar 50 miliar dolar AS untuk membangun kembali Gaza. Proses ini bisa memakan waktu hingga 1 dekade.
Jakarta, IDN Times - Menteri Perekonomian Israel, Nir Barkat, mengatakan bahwa meskipun Tel Aviv menginginkan perdamaian di Gaza, namun mereka belum memutuskan apakah akan turut mendanai rekonstruksi wilayah tersebut.
Dalam wawancaranya dengan Reuters pada Rabu (22/1/2025), Barkat mengungkapkan bahwa rekonstruksi Gaza tidak mungkin dilakukan kecuali Hamas memutuskan untuk mencapai perdamaian yang abadi dengan Israel.
"Pertanyaan utamanya adalah apakah mereka ingin membangun Dubai atau membangun kembali Gaza seperti sebelumnya," kata Barkat saat acara pertemuan tahunan World Economic Forum di Davos, Swiss.
"Dubai mengakui negara Israel, mereka fokus pada ekonomi bersama. Kami ingin melihat Dubai di wilayah kami, bukan Gaza," ujar mantan wali kota Yerusalem itu.
1. Israel dukung upaya donatur untuk merekonstruksi Gaza
Meski belum memutuskan apakah akan berkontribusi secara finansial untuk rekonstruksi Gaza, Barkat mengatakan bahwa Israel mendukung Uni Emirat Arab (UEA), Saudi, dan pihak-pihak lain untuk membangun kembali Gaza selama pembangunan tersebut tidak mengancam keamanan negaranya.
Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza setelah pejuang Hamas menerobos perbatasan pada 7 Oktober 2023, yang menyebabkan 1.200 orang tewas di Israel dan lebih dari 250 lainnya disandera. Sejak itu, lebih dari 47 ribu warga Palestina telah terbunuh di Gaza. Sebagian besar wilayah tersebut kini juga telah hancur, dan mayoritas penduduknya, yang berjumlah 2,3 juta jiwa, terpaksa beberapa kali mengungsi.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sebelumnya bersumpah tidak akan menghentikan perang sampai Hamas diberantas. Menurutnya, tidak akan ada perdamaian dan keamanan jangka panjang bagi Israel selama Hamas masih beroperasi.
Calon donator utama untuk Gaza, termasuk Uni Emirat Arab (UEA) dan pemerintahan baru Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, juga menegaskan bahwa Hamas tidak boleh tetap berkuasa di Gaza setelah perang.
Namun, sejak gencatan senjata berlaku pada Minggu (19/1/2025), pemerintahan Gaza yang dipimpin oleh Hamas kembali muncul dan bertindak cepat untuk memulihkan keamanan dan layanan dasar di sana. Hal ini menunjukkan bahwa mereka masih memegang kendali atas urusan publik di wilayah tersebut.
2. Rekonstruksi Gaza diprediksi memakan biaya hingga Rp813 triliun
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), diperlukan dana sebesar 50 miliar dolar AS (sekitar Rp813 triliun) untuk membangun kembali Gaza. Proses rekonstruksi ini diperkirakan dapat memakan waktu hingga 1 dekade.
Laporan PBB yang dirilis pada September 2024 memperkirakan bahwa sejak awal perang hingga akhir Januari 2024, infrastruktur Gaza telah mengalami kerusakan senilai 18,5 miliar dolar AS (sekitar Rp301 triliun). Laporan itu juga menyebutkan bahwa jika Gaza kembali ke tren pertumbuhan ekonomi periode 2007–2022 usai gencatan senjata, maka diperlukan waktu 350 tahun untuk memulihkan Produk Domestik Bruto (PDB) ke level tahun 2022.
Somdeep Sen, profesor pembangunan internasional di Universitas Roskilde di Denmark, mengatakan bahwa Israel tetap berperan penting meski tidak ikut berkonstribusi dalam pendanaan rekonstruksi Gaza.
"Bagaimana Israel menerapkan dan menafsirkan perjanjian gencatan senjata, serta sejauh mana kontrol militernya atas Jalur Gaza setelahnya, akan menentukan seberapa besar dan cepat wilayah tersebut dapat pulih," ujarnya, dilansir dari NPR.
3. Pemerintahan Trump disebut akan membawa dampak positif bagi Israel
Lebih lanjut, Barkat mengatakan bahwa kembalinya Trump ke Gedung Putih akan memberikan perubahan positif bagi Israel.
“Kita telah beralih dari pemerintahan suportif yang mengekang kita menjadi pemerintahan suportif yang memberi kita kekuatan untuk memenangkan perang,” ujar menteri tersebut, merujuk pemerintahan mantan Presiden Joe Biden yang sempat tegang dengan Netanyahu.
Menurutnya, momentum baru ini juga akan meningkatkan peluang terwujudnya hubungan bilateral antara Israel dan negara-negara Arab lainnya, sebuah proses yang dikenal dengan Abraham Accords atau Perjanjian Abraham. Perjanjian tersebut, yang difasilitasi oleh AS selama masa jabatan pertama Trump pada 2017-2021, telah memungkinkan UEA dan Bahrain menormalisasi hubungan dengan Israel.
Barkat menambahkan bahwa meskipun perang Israel di Gaza telah menguji hubungan tersebut, ia optimistis bahwa kembalinya Trump ke tampuk kekuasaan akan memperbesar peluang untuk memperluas Perjanjian Abraham dengan Arab Saudi dan negara-negara lainnya.
Pada Senin (20/1/2025), Trump sendiri mengatakan bahwa ia yakin normalisasi antara Israel dan Arab Saudi akan dapat terwujud.
“Saya pikir Arab Saudi pada akhirnya akan ikut serta dalam perjanjian Abraham. Segera. Tidak dalam jangka waktu yang lama,” kata Trump kepada wartawan saat menandatangani sejumlah perintah eksekutif usai pelantikannya pada hari itu.