Kenapa NATO dan Uni Eropa Sulit Terapkan Tarif Trump?

- Uni Eropa bergantung pada China, sulit mencapai kesepakatan tarif
- Turki tidak tunduk pada aturan UE, ketergantungan minyak Rusia sulit diubah
- Hungaria dan Slovakia menolak penghentian impor minyak Rusia, mengancam stabilitas negara
Jakarta, IDN Times - Donald Trump kembali membuat geger dengan usulannya yang memicu perdebatan di Eropa. Presiden Amerika Serikat (AS) itu ingin menerapkan tarif 50–100 persen terhadap China dan India untuk menekan ekonomi Rusia agar segera mengakhiri perang di Ukraina. Usulan tersebut disampaikan Trump lewat Truth Social pada 13 September 2025 dan langsung mengundang berbagai reaksi.
Namun, langkah ini tidak bisa begitu saja dijalankan oleh Uni Eropa (UE) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Ada banyak hambatan, mulai dari masalah ekonomi, politik, hingga hukum yang membuat rencana tarif Trump tampak tidak realistis. Berikut empat fakta penting yang menjelaskan mengapa NATO dan UE sulit menerapkannya.
1. Ketergantungan ekonomi Uni Eropa pada China

Dilansir dari Al Jazeera, UE punya hubungan dagang sangat erat dengan China, yang membuat penerapan tarif jadi langkah penuh risiko. Pada 2024, perdagangan barang kedua pihak mencapai sekitar 732 miliar euro (setara Rp14,1 kuadriliun) dengan defisit 305,8 miliar euro (setara Rp5,8 kuadriliun). Dari total itu, sekitar 40 persen berupa elektronik konsumen dan sebagian lainnya mesin industri penting.
Jika tarif 50–100 persen benar diterapkan, dampaknya bisa langsung dirasakan masyarakat. Biaya produksi akan melonjak, harga barang ikut naik, dan inflasi berpotensi menghantam ekonomi.
Selain itu, keputusan tarif di UE hanya bisa dijalankan bila disetujui semua anggota. Dengan 27 negara yang punya kepentingan berbeda, kesepakatan sangat sulit tercapai. Di sisi lain, China sudah memperingatkan akan mengambil tindakan tegas jika tarif diberlakukan, yang bisa memicu krisis dagang global baru.
NATO juga tidak punya mekanisme perdagangan karena perannya murni militer. Jadi, usulan Trump pada akhirnya sangat bergantung pada konsensus politik UE yang justru semakin sulit diraih. Kompleksitas ini membuat rencana tarif lebih tampak sebagai wacana ketimbang kebijakan nyata.
2. Turki yang sulit dikendalikan NATO dan Uni Eropa

Turki menjadi faktor lain yang membuat usulan Trump semakin rumit. Negara ini adalah anggota NATO tetapi bukan bagian dari UE, sehingga tidak tunduk pada aturan Brussels. Menurut Centre for Research on Energy and Clean Air, Turki merupakan pembeli minyak Rusia terbesar ketiga setelah China dan India, dilansir dari DW.
Ketergantungan Turki begitu besar karena beberapa kilang minyaknya memakai hingga 90 persen minyak mentah Rusia. Dengan harga yang lebih murah, minyak itu justru memberi keuntungan besar bagi ekonomi mereka. Mengalihkan pasokan ke sumber lain berarti biaya tambahan dan perubahan infrastruktur kilang yang memakan waktu lama.
Selain persoalan energi, hubungan politik Turki dengan NATO juga tidak mudah ditekan. Tidak adanya kendali langsung UE atas Turki melemahkan kemungkinan penerapan tarif secara menyeluruh. Bisa dibayangkan betapa sulitnya mengajak Turki untuk patuh pada skema Trump ini.
3. Resistensi Hungaria dan Slovakia

Dua negara anggota UE sekaligus NATO, Hungaria dan Slovakia, terang-terangan menolak ide penghentian impor minyak Rusia. Keduanya masih mengandalkan pasokan dari pipa Druzhba, yang dianggap vital untuk menjaga keamanan energi nasional. Menteri Luar Negeri Hungaria, Peter Szijarto, bahkan menegaskan bahwa langkah ini bisa mengancam stabilitas negara, dilansir dari Radio Liberty.
UE memang punya target menghentikan ketergantungan energi Rusia pada 2027. Namun, Hungaria dan Slovakia belum memperlihatkan kesiapan untuk mencari sumber alternatif. Situasi ini semakin rumit karena Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban, dikenal punya hubungan dekat dengan Trump.
Jika Orban meminta pengecualian, bukan tidak mungkin langkah Trump kehilangan daya tekan. Resistensi dari dua negara ini menjadi penghambat serius bagi rencana tarif yang digagas dari Washington.
4. Tantangan hukum tarif Trump di AS

Masalah juga datang dari dalam negeri Trump sendiri, yaitu hukum di AS. Upaya presiden memberlakukan tarif dengan dasar Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA) sudah digugat di pengadilan perdagangan. Pada Mei 2025, pengadilan menyatakan tarif tersebut melebihi kewenangan presiden, dan putusan banding Agustus lalu menegaskan hal yang sama.
Kini kasus ini menuju Mahkamah Agung dengan keputusan yang dijadwalkan keluar November 2025. Jika Mahkamah Agung menolak, maka otoritas Trump untuk memimpin penerapan tarif otomatis hilang. Hal ini tentu melemahkan tekanan kepada NATO maupun UE untuk mengikuti kebijakan yang bahkan belum sah di negaranya sendiri.
Dengan berbagai hambatan mulai dari ketergantungan ekonomi, resistensi politik, hingga tantangan hukum di AS, jelas bahwa usulan tarif 50–100 persen ala Trump bukan perkara mudah untuk diwujudkan. NATO dan UE berada di persimpangan rumit antara menjaga stabilitas ekonomi dan merespons tekanan geopolitik. Situasi ini memperlihatkan betapa sulitnya membangun konsensus global ketika kepentingan nasional masing-masing negara saling berbenturan.