Korsel Bakal Akhiri Skema Adopsi Anak Luar Negeri pada 2029

- Sistem adopsi publik beralih ke negara
- Agenda kesejahteraan anak pada pemerintahan Presiden Lee
- Korsel meratifikasi Konvensi Den Haag tentang Adopsi Antarnegara
Jakarta, IDN Times - Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea Selatan (Korsel) mengatakan bahwa negaranya sedang bersiap untuk mengakhiri adopsi luar negeri pada 2029. Rencana tersebut telah disetujui oleh komite koordinasi pemerintah yang diketuai oleh perdana menteri.
"Pemerintah Korsel telah menyetujui cetak biru kesejahteraan anak lima tahun, yang secara resmi berjudul Rencana Dasar Ketiga untuk Kebijakan Anak, yang memprioritaskan adopsi domestik dan merencanakan penghentian bertahap adopsi luar negeri," kata kementerian tersebut pada Jumat (26/12/2025), dikutip dari Korea Herald.
Dalam kerangka kerja baru tersebut, pemerintah akan mengawasi seluruh proses adopsi. Ini mulai dari keputusan penempatan hingga pemantauan usai adopsi, dengan Kementerian Kesejahteraan bertindak sebagai otoritas pusat.
1. Sistem adopsi publik beralih dari swasta ke negara
Korsel secara resmi beralih ke sistem adopsi publik pada Juli, dengan mentransfer pengelolaan dari lembaga swasta ke negara melalui pemerintah pusat dan daerah sebagai langkah memperkuat perlindungan anak. Pemerintah provinsi akan diwajibkan untuk secara berkala menilai rumah-rumah pengasuhan, keluarga adopsi, dan fasilitas penitipan anak, sementara dukungan untuk penyatuan kembali dengan keluarga kandung akan diperluas.
Adopsi luar negeri hanya diizinkan dalam kasus-kasus luar biasa. Prosedurnya pun ditangani langsung melalui koordinasi dengan pemerintah asing.
Rencana ini juga merombak sistem pengasuhan anak asuh, memindahkan penempatan anak ke bawah manajemen negara sepenuhnya dan mengakui keluarga asuh sebagai kategori keluarga formal dengan kewenangan hukum yang diperluas.
2. Agenda kesejahteraan anak pada pemerintahan Presiden Lee

Skema baru tersebut merupakan komitmen Presiden Lee Jae Myung terhadap agenda kesejahteraan anak. Ia menggambarkan sejarah adopsi luar negeri di Korea sebagai kegagalan nasional. Lee juga berjanji bahwa negara akan bertanggung jawab atas anak-anak adopsi.
"Negara ini pernah menyandang label memalukan sebagai pengekspor anak-anak," kata Lee pada Oktober.
Anak-anak migran tanpa dokumen akan diberikan izin tinggal sementara hingga Maret 2028. Hal ini untuk memastikan akses ke pendidikan, sementara para pejabat mempelajari pengenalan pendaftaran kelahiran secara umum.
Wakil Menteri Kesehatan Lee Seu-ran mengatakan langkah-langkah tersebut bertujuan untuk membangun sistem, di mana anak-anak diperlakukan sebagai pemegang hak dan negara memikul tanggung jawab utama atas perlindungan mereka.
3. Korsel meratifikasi Konvensi Den Haag tentang Adopsi Antarnegara pada Oktober

Dilansir Korea JoongAng Daily, pada Oktober 2025, Korsel resmi bergabung dengan Konvensi Den Haag tentang Perlindungan Anak dan Kerja Sama dalam Hal Adopsi Antar Negara. Tindakan ini untuk memperkuat pengawasan negara dan perlindungan bagi anak-anak dalam proses adopsi, termasuk peninjauan nasional wajib dan visa adopsi dengan prinsip utama memprioritaskan kepentingan terbaik anak.
Konvensi Adopsi Den Haag mulai diterima pada 1993 dan diberlakukan sejak 1995. Perjanjian tersebut bertujuan untuk melindungi hak-hak dasar anak dan mencegah penculikan, perdagangan, atau penjualan dalam konteks adopsi internasional. Saat ini, terdapat 107 negara yang menjadi bagian dalam perjanjian tersebut, termasuk Amerika Serikat dan China.
Seoul pertama kali menandatangani konvensi tersebut pada 2013. Namun, pihaknya butuh 12 tahun untuk meratifikasinya karena keterlambatan dalam memberlakukan undang-undang domestik yang diperlukan.
Dilaporkan, Korsel telah mengirim sekitar 170 ribu anak ke luar negeri untuk diadopsi selama 70 tahun terakhir. Alhasil, negara tersebut menuai kritik sebagai negara pengekspor bayi terbesar di dunia.


















