Menlu AS Peringatkan Rusia Tak Ikut Campur Politik Mali

Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Antony Blinken, pada Sabtu (20/11/2021) menghimbau sebuah perusahaan militer bayaran Wagner, yang memiliki koneksi ke Kremlin untuk tidak ikut campur dalam upaya pemulihan demokrasi di negara Mali, Afrika Barat.
Pernyataannya itu dilontarkan setelah ia berkunjung ke negara-negara Afrika baru-baru ini. Blinken menuturkan bahwa akan sangat disayangkan jika grub Wagner menjadi aktif di Mali dimana ada rencana yang didukung dunia internasional untuk mengadakan pemilihan demokratis pada bulan April mendatang.
“Mali akan tetap menjadi kunci bagi kestabilan di wilayah Sahel dan kami memiliki keprihatinan mendalam tentang stabilitas itu dan keprihatinan mendalam tentang ekstremisme dan terorisme yang menyebarkan pengaruhnya di kawasan itu,” kata Blinken pada konferensi pers dengan menteri luar negeri Senegal, Aissata Tall Sall, dikutip dari AP News.
“Akan sangat disayangkan jika aktor luar terlibat dan membuat segalanya menjadi lebih sulit dan lebih rumit,” lanjut Blinken dalam pernyataannya.
1. Kelompok Wagner dituduh melakukan pelanggaran HAM
Melansir AP News, kelompok militer Wagner, yang dimiliki oleh orang kepercayaan Presiden Rusia Vladimir Putin, telah dituduh oleh pemerintah Barat dan petinggi PBB atas pelanggaran hak asasi manusia di Republik Afrika Tengah dan keterlibatannya dalam konflik di Libya.
Prancis dan Jerman keberatan dengan kehadiran tentara bayaran Wagner di Mali, dan Uni Eropa pekan lalu mengatakan akan mempertimbangkan sanksi terhadap siapa pun yang mengganggu transisi demokrasi Mali.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan bahwa perusahaan memiliki hak sah untuk berada di Mali karena diundang oleh pemerintah transisi, dan dia bersikeras bahwa pemerintah Rusia tidak terlibat dalam aktifitas kelompok itu.
2. Gejolak pemberontakan di Mali

Dilansir VOA, Mali telah berjuang untuk menahan pemberontakan ekstremis Islam sejak tahun 2012. Pemberontak ekstremis dipaksa mundur dari wilayah yang dikuasainya di kota-kota utara Mali dengan bantuan operasi militer yang dipimpin Prancis, tetapi mereka kembali bersatu untuk melancarkan serangan terhadap tentara Mali dan sekutunya.
Pada bulan Juni, Kolonel Assimi Goita dilantik sebagai presiden pemerintahan transisi setelah melakukan kudeta keduanya. Mali menghadapi blokade internasional atas perebutan kekuasaan junta. Pemilihan dijadwalkan pada bulan Februari namun Uni Eropa khawatir pemilihan akan tertunda.
Sejak Juli lalu, pemerintah Prancis telah mengurangi jumlah pasukannya di wilayah Sahel dari 5 ribu menjadi 3 ribu personel saja. Hal inilah yang ditakutkan pemerintah Mali karena ketidakmampuannya dalam melawan ekstremis jika tanpa bantuan negara Barat dan itu pula yang menyebabkan mereka menyewa tentara Wagner dari Rusia.
France24 melaporkan bahwa salah satu pangkalan militer Prancis di Kidal, Tessalit dan Timbuktu, di utara negara itu, akan ditutup pada akhir tahun dan diserahkan sepenuhnya kepada tentara Mali.
3. Kunjungan Blinken ke Afrika

Pada pekan lalu, Blinken melakukan kunjungan kerja pertamanya ke negara-negara Afrika. Sejak menjabat pada bulan Januari, beberapa pengamat berharap pemerintahan Biden akan memberikan penekanan baru pada wilayah Sub-Sahara Afrika dalam kebijakan luar negeri AS.
Dalam kunjungan kerjanya itu, dia mengunjungi Kenya, Senegal, dan Nigeria. Salah satu yang dibahas dalam pertemuan itu adalah mengenai kerja sama dalam bidang keamanan di wilayah Afrika. Kenya merupakan salah satu anggota dewan keamanan di wilayah itu, sehingga dia memiliki peran besar dalam hal keamanan regional di kawasan Afrika terutama masalah Ethiopia dan Sudan yang memanas akhir-akhir ini.
Di Dakar, Blinken mendorong proyek infrastruktur buatan Amerika, termasuk inisiatif untuk memproduksi vaksin COVID-19 di Senegal, yang pertama di Afrika. Dia juga mempromosikan pembangunan berkelanjutan, pemberdayaan perempuan dan inisiatif hak asasi manusia lainnya untuk mendukung demokrasi.