Peluang Kerja dari Kematian di Tengah Krisis Kesepian Korea Selatan

- Kesepian di Korea Selatan menciptakan peluang kerja baru bagi anak muda
 - Pembersihan jadi misi kemanusiaan, meski harus menghadapi tantangan
 - Generasi muda yang tak takut mati mengambil peluang kerja ini
 
Jakarta, IDN Times - Di sebuah ruang kelas di Universitas Sains dan Teknologi Busan, deretan peti mati tersusun rapi seperti alat praktikum. Namun, ini bukan latihan medis, melainkan pelatihan bagi calon direktur pemakaman di Korea Selatan.
Negara itu tengah menghadapi kenyataan pahit, populasinya menua cepat, sementara angka kelahiran terus menurun hingga jadi salah satu yang terendah di dunia. Kini, di tengah perubahan demografis besar itu, semakin banyak anak muda memilih pekerjaan yang dulu dianggap tabu: mengurus kematian.
Jang Jin-yeong, 27 tahun, salah satu mahasiswa jurusan administrasi pemakaman, mengaku memilih profesi ini karena melihat peluang besar.
“Dengan masyarakat yang menua, saya pikir permintaan untuk pekerjaan seperti ini akan terus tumbuh,” ujarnya, dalam kisahnya yang dibagikan The Straits Times, Selasa (4/11/2025).
Sementara, bagi mahasiswa lain, Im Sae-jin, 23 tahun, keputusan memilih pekerjaan ini datang dari pengalaman pribadi.
“Saat nenek saya meninggal, saya melihat betapa indahnya para petugas pemakaman menyiapkannya untuk perpisahan terakhir. Saya merasa sangat berterima kasih,” katanya.
1. Kesepian menciptakan peluang baru

Korea Selatan dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat ‘kesepian’ tertinggi di dunia. Kini, hampir 42 persen rumah tangga hanya dihuni satu orang.
Fenomena itu menciptakan pekerjaan baru yang tak kalah unik, yaitu pembersih rumah orang yang meninggal sendirian, atau dalam istilah lokal disebut godoksa cheongsoui.
Cho Eun-seok, 47 tahun, mantan musikus klasik, kini bekerja sebagai pembersih rumah bagi mereka yang wafat sendirian—sering kali baru ditemukan berbulan-bulan kemudian.
“Rumah mereka seperti potret hidupnya,” kata Cho, mengenang sisa-sisa kehidupan yang ditinggalkan, seperti ratusan botol soju, hadiah-hadiah yang tak pernah dibuka.
Tingkat bunuh diri di Korea Selatan juga yang tertinggi di antara negara maju. Banyak dari ‘kematian sunyi’ ini berasal dari mereka yang mengakhiri hidup sendiri tanpa keluarga di sisi mereka.
2. Pembersihan jadi misi kemanusiaan

Pekerjaan Cho bukan sekadar bersih-bersih. Ia juga sering menghadapi cerita memilukan di setiap rumah yang ia singgahi.
Dalam satu kasus, Cho dipanggil perusahaan sewa mobil untuk membersihkan kendaraan, yang ternyata menjadi tempat klien mengakhiri hidupnya. Bau, serangga, dan sisa-sisa kehidupan sering kali menempel begitu lama, hingga satu rumah harus dikosongkan seluruhnya.
“Bau itu menyebar cepat di musim panas. Dan ketika itu terjadi, tidak ada satu pun barang yang bisa diselamatkan,” seru dia.
Ia bahkan sedang mengembangkan alat pendeteksi kematian tak terurus untuk mencegah kerusakan lingkungan dan infeksi hama.
“Ini tentang memberi martabat terakhir pada seseorang yang bahkan tak punya siapa-siapa,” katanya pelan.
3. Generasi muda yang tak takut mati

Di tengah semua kesunyian itu, justru muncul gelombang baru pekerja muda yang menekuni bisnis kematian. Kim Doo-nyeon, veteran di industri pemakaman, mengatakan kini semakin banyak anak muda mendaftar jadi direktur pemakaman.
“Ketika orang hidup bersama, mereka berbagi barang dan kenangan. Tapi saat seseorang mati sendirian, semuanya harus dibersihkan,” katanya.
Namun, di balik semangat itu, rasa takut tetap ada. “Saya takut. Tak peduli seberapa siap kita, menghadapi jenazah tetap menakutkan,” aku Im Sae-jin, mahasiswa pemakaman itu.
Bagi sebagian orang, pekerjaan ini mungkin suram. Tapi bagi mereka, ini adalah cara baru memahami hidup melalui kematian, sebuah profesi yang menuntut empati, bukan sekadar keberanian.


















