Pidato di UNGA, Menlu Rusia Singgung Standar Ganda Barat

- Rusia soroti konflik Israel-Palestina dan ketegangan Timur Tengah
- Rusia kritik sanksi PBB terhadap Iran
- Rusia desak reformasi PBB dan soroti hubungan dengan AS
Jakarta, IDN Times – Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, menegaskan dalam sidang ke-80 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) pada Sabtu (27/9/2025) bahwa Moskow tidak memiliki rencana menyerang Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO) maupun Uni Eropa (UE).
Ia menekankan bahwa setiap bentuk agresi terhadap Rusia akan dibalas dengan keras. Lavrov juga menyebut tuduhan yang diarahkan ke Rusia semakin sering meski Presiden Rusia, Vladimir Putin, sudah berulang kali membantah klaim tersebut.
Dilansir dari ABC News, Lavrov menyinggung insiden terbaru di Eropa yang menimbulkan ketegangan dengan NATO. Estonia melaporkan pesawat tempur Rusia masuk ke wilayahnya selama 12 menit, sedangkan NATO menembak jatuh sebuah drone di atas Polandia. Rusia membantah tuduhan itu dan mengklaim drone masuk secara tak sengaja akibat gangguan sinyal dari Ukraina, menurut sekutunya Belarus.
1. Rusia soroti konflik Israel-Palestina dan ketegangan Timur Tengah

Dalam pidatonya, Lavrov mengutuk serangan militan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel dan menyebabkan 251 orang disandera. Ia menyatakan bahwa tidak ada pembenaran untuk tindakan Israel yang menewaskan lebih dari 65 ribu warga sipil Palestina, termasuk anak-anak, serta menghancurkan rumah sakit dan sekolah di Gaza, berdasarkan data Kementerian Kesehatan Gaza.
Lavrov juga mengkritik rencana aneksasi Tepi Barat yang disebutnya sebagai bentuk hukuman kolektif terhadap rakyat Palestina. Lavrov menuding negara-negara Barat sengaja menunda pengakuan Palestina meski sebelumnya sudah mengumumkan niatnya.
“Tampaknya, mereka berharap segera tidak akan ada apa pun dan siapa pun untuk diakui,” katanya, dikutip BBC.
Ia memperingatkan bahwa serangan Israel, termasuk terhadap negara lain di Timur Tengah seperti Qatar, bisa memicu instabilitas di kawasan.
Lavrov menilai tindakan Israel merupakan coup d’etat yang bertujuan untuk mengubur resolusi PBB tentang pembentukan negara Palestina. Ia menilai dukungan internasional terhadap solusi dua negara kian terancam oleh kebijakan Israel. Menurutnya, pembagian wilayah Tepi Barat hanya akan menghancurkan peluang berdirinya negara Palestina.
2. Rusia kritik sanksi PBB terhadap Iran

Mengenai isu nuklir Iran, Lavrov mengkritik keputusan Barat yang menolak usulan Rusia dan China untuk menunda penerapan sanksi. Usulan tersebut gagal disetujui dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB pada Jumat (26/9/2025). Ia menilai keputusan yang membuat sanksi berlaku mulai Minggu (28/9/2025) pukul 00:00 GMT itu tidak dapat diterima dan bahkan ilegal.
Lavrov menuduh negara-negara Barat sengaja menghalangi solusi konstruktif melalui Dewan Keamanan. Ia menyebut mereka menggunakan pemerasan dan tekanan untuk memaksa Iran memberikan konsesi sepihak. Menurutnya, langkah ini hanya akan memperburuk kebuntuan diplomatik.
3. Rusia desak reformasi PBB dan soroti hubungan dengan AS

Lavrov juga menyerukan reformasi menyeluruh di PBB dan tata kelola global, termasuk penambahan anggota tetap Dewan Keamanan dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin, khususnya Brasil dan India. Ia menekankan perlunya mengakhiri ketidakadilan historis terhadap Afrika serta mendemokratisasi lembaga global seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Menurutnya, upaya Barat mengganti Piagam PBB dengan tatanan berbasis aturan patut diwaspadai. Dalam pidatonya, Lavrov menegaskan sikap Rusia mendukung tatanan multipolar yang berlandaskan kesetaraan.
“Rusia tidak menganjurkan revolusi melawan siapa pun … Kami hanya meminta negara-negara anggota dan kepemimpinan Sekretariat untuk benar-benar mematuhi semua prinsip Piagam PBB tanpa standar ganda,” katanya, dikutip dari Anadolu Agency.
Ia menuduh Barat menerapkan standar ganda dalam menangani konflik global maupun pengelolaan dunia. Lavrov juga membicarakan hubungan Rusia dengan Amerika Serikat (AS), terutama setelah pertemuan antara Putin dan Presiden AS, Donald Trump, di Alaska pada awal Agustus 2025.
Ia menyebut usulan Putin untuk memperpanjang Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis Baru (New START) hingga setahun setelah berakhir pada Februari 2026 sebagai langkah mencegah perlombaan senjata, dengan syarat AS mematuhinya. Lavrov melihat ada sinyal positif dari pemerintahan Trump untuk menjalin kerja sama pragmatis.
Sementara itu, Trump, setelah bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, menyatakan keyakinannya bahwa Ukraina bisa merebut kembali seluruh wilayah yang hilang, sebuah perubahan dari sikap sebelumnya yang mendorong kompromi.