Protes RUU Kontroversial, Legislator Maori di Selandia Baru Menari Haka

- Ketegangan di parlemen Selandia Baru mencapai puncaknya saat anggota parlemen Maori melakukan Haka sebagai protes terhadap RUU yang dianggap merugikan hak-hak pribumi.
- Hikoi, pawai damai sepanjang 1.000 kilometer, diselenggarakan untuk menunjukkan solidaritas terhadap hak-hak Maori dan mendapat dukungan massif dari berbagai kalangan.
- RUU ini diprakarsai oleh Partai ACT dengan tujuan mempersempit interpretasi hukum terhadap prinsip-prinsip Perjanjian Waitangi, namun banyak pihak menilai hal ini merugikan hak-hak Maori.
Jakarta, IDN Times - Perdebatan tentang Revisi Undang-Undang Perjanjian Waitangi di Selandia Baru telah memicu protes besar-besaran dari masyarakat, khususnya Suku Maori.
RUU ini dianggap mengancam hak-hak pribumi yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun. Selain itu, RUU tersebut juga dianggap Suku Maori akan merugikan penduduk asli dari Selandia Baru.
Hana-Rawhiti Maipi-Clarke, anggota parlemen yang berasal dari suku Maori, kemudian melakukan Haka sebagai bentuk protes terhadap pembahasan RUU yang kontroversial.
Berikut beberapa hal penting dari peristiwa tersebut.
1. Menari tarian Haka di parlemen sebagai bentuk perlawanan

Ketegangan memuncak di parlemen ketika anggota parlemen Maori dari Te Pati Maori, Hana Rawhiti, melakukan Haka, tarian tradisional yang mencerminkan semangat perjuangan.
Tindakan ini dilakukan untuk memprotes RUU yang dianggap membatasi hak-hak pribumi Maori. Aksi tersebut menghentikan sidang parlemen sementara waktu.
2. Masyarakat menggelar aksi Hikoi sebagai bentuk dukungan terhadap Suku Maori

Salah satu bentuk protes terbesar adalah Hikoi, sebuah pawai damai sepanjang lebih dari 1.000 kilometer menuju Wellington.
Ribuan orang dari berbagai kalangan ikut serta, termasuk keluarga dengan anak-anak. Para peserta melintasi kota-kota besar dan kecil untuk menunjukkan solidaritas terhadap hak-hak Maori.
Di Auckland, lebih dari 5.000 orang memadati Jembatan Pelabuhan selama dua jam, menunjukkan dukungan masif terhadap aksi ini. Peserta membawa bendera Maori dan mengenakan pakaian tradisional, mempertegas pentingnya simbol budaya dalam perjuangan ini.
3. Polemik politik dan kritik terhadap RUU

RUU ini diprakarsai oleh Partai ACT, yang ingin mempersempit interpretasi hukum terhadap prinsip-prinsip Perjanjian Waitangi. Namun, banyak pihak menilai hal ini merugikan hak-hak Maori.
“Kami ingin Aotearoa (Selandia Baru) menjadi bangsa yang terhormat dan inklusif untuk tamariki mokopuna kami—anak-anak dan cucu kami,” ujar Juliet Tainui-Hernández, anggota suku Maori Ngāi Tahu, dilansir BBC.
Mahkamah Waitangi juga mengkritik keras RUU ini, menyebutnya melanggar prinsip kemitraan antara Mahkota dan Maori. Perdana Menteri Christopher Luxon bahkan menyebut RUU ini “memecah belah,” meskipun partainya mendukung pembacaan pertama.