Rusia Siapkan Draf Perdamaian Usai Tukar Tahanan dengan Ukraina

- Rusia akan serahkan draf perdamaian ke Ukraina setelah pertukaran tahanan perang selesai.
- Pertemuan di Istanbul menghasilkan kesepakatan pertukaran 1.000 tahanan, menjadi pertukaran terbesar sepanjang perang.
- Kedua negara masih berbeda pandangan mengenai syarat gencatan senjata, dengan Ukraina mendesak penghentian perang segera dan Rusia mengajukan sejumlah ketentuan.
Jakarta, IDN Times - Rusia akan menyerahkan draf perdamaian kepada Ukraina usai menyelesaikan pertukaran tahanan perang, kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov. Pernyataan ini muncul setelah pertemuan langsung antara delegasi Rusia dan Ukraina di Istanbul pada Jum'at (16/5/2025), yang menghasilkan kesepakatan pertukaran 1.000 tahanan dari masing-masing pihak.
Langkah ini memberi harapan baru di tengah konflik yang berkecamuk sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022. Namun, kedua negara masih berbeda pandangan mengenai syarat gencatan senjata, dengan Ukraina mendesak penghentian perang segera dan Rusia mengajukan sejumlah ketentuan.
1. Kesepakatan pertukaran tahanan di Istanbul
Pertemuan di Istanbul, yang dimediasi Turki, menjadi kontak langsung pertama sejak Maret 2022. Meski hanya berlangsung dua jam, kedua pihak sepakat menukar 1.000 tahanan, menjadikannya pertukaran terbesar sepanjang perang. Proses awal pertukaran dimulai Jum'at (23/5/2025), dengan masing-masing negara membebaskan 390 tahanan, terdiri dari 270 personel militer dan 120 warga sipil.
Menteri Pertahanan Ukraina Rustem Umerov menyebut pertukaran ini sebagai langkah awal membangun kepercayaan.
“Kami juga membahas gencatan senjata dan pertemuan antarpresiden, namun belum ada komitmen konkret dari Rusia,” kata Umerov, dikutip dari Time.
Ukraina menekankan pembebasan seluruh tahanan, termasuk lebih dari 16 ribu warga sipil yang masih ditahan Rusia.
Al Jazeera menyebut kedua negara telah menyerahkan daftar tahanan masing-masing. Kremlin mengonfirmasi telah menerima daftar dari Kiev pada Kamis (22/5/2025). Pertukaran ini diperkirakan akan berlanjut dan membuka peluang untuk negosiasi lebih lanjut.
2. Draf perdamaian Rusia dan tantangannya
Lavrov menyatakan Rusia tengah merampungkan draf perdamaian yang akan diserahkan setelah proses pertukaran selesai.
“Kami terbuka untuk dialog. Draf ini memuat prinsip-prinsip penyelesaian konflik dan jadwal perjanjian damai,” ujar Lavrov, dikutip dari The Star.
Namun, Ukraina dan sekutunya meragukan niat Rusia. Moskow tetap menuntut Ukraina menarik pasukan dari empat wilayah yang diklaim—Luhansk, Donetsk, Zaporizhzhia, dan Kherson—serta mengakui aneksasi Crimea. Menteri Luar Negeri Ukraina Andrii Sybiha menyebut tuntutan itu tidak dapat diterima karena melanggar kedaulatan negaranya, dikutip dari ABC News.
Analis Universitas Bremen, Nikolay Mitrokhin, menilai Rusia menggunakan proses perdamaian untuk mengurangi tekanan internasional.
“Putin ingin menciptakan kesan bahwa negosiasi berlangsung agar bantuan militer ke Ukraina berkurang,” ujarnya, dilansir Al Jazeera. Sementara itu, Moskow menuding Ukraina menggunakan serangan drone untuk mengganggu proses perdamaian.
3. Diplomasi Trump dan respons global
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump turut mendorong pertemuan Istanbul meski belum berhasil mewujudkan gencatan senjata. Pada Senin (19/5/2025), Trump menelepon Presiden Rusia Vladimir Putin selama dua jam. Putin kemudian menyatakan kesiapan Rusia menyusun memorandum perdamaian dengan Ukraina.
“Selamat kepada kedua pihak atas negosiasi ini,” tulis Trump di Truth Social.
Namun, The Guardian melaporkan usulan perdamaian dari AS yang bocor ke publik ditolak Ukraina karena mengharuskan pengakuan atas aneksasi Crimea dan kendali Rusia di wilayah timur.
“Ini bukan perdamaian, tapi penyerahan diri,” ujar Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, pada Senin (19/5/2025).
Pemimpin Eropa pun menyuarakan keraguan terhadap itikad Rusia. Menurut NBC News, mereka menilai Putin sengaja memperpanjang negosiasi sambil memperkuat posisi militernya. Lavrov menegaskan Rusia tetap berupaya mencapai solusi damai, meski menghadapi serangan drone Ukraina yang disebutnya didukung negara-negara Uni Eropa.