Trump Teken Perintah Penurunan Harga Obat AS hingga 90 Persen

Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif pada Senin (12/5/2025) untuk menurunkan harga obat resep di AS hingga 90 persen. Kebijakan ini menerapkan model "negara paling diuntungkan" yang menyamakan harga obat di AS dengan harga terendah di negara maju lain.
Saat ini, harga obat di AS dua hingga tiga kali lebih mahal dibanding negara lain, bahkan mencapai 10 kali lipat untuk beberapa negara tertentu. Trump menyalahkan negara asing, bukan perusahaan farmasi, atas masalah ini. Ia berpendapat bahwa AS selama ini telah mensubsidi harga obat murah di negara lain.
"Kami akan menyamakan harga. Warga AS akan membayar harga obat yang sama dengan di Eropa," ujar Trumpa.
1. Trump beri waktu 30 hari untuk menerapkan kebijakan
Pemerintah AS diberi waktu 30 hari untuk menetapkan target penurunan harga obat. Kebijakan ini awalnya bersifat sukarela, namun jika gagal, pemerintah akan membuat aturan lebih ketat. Trump juga mengarahkan kementerian terkait untuk menindak negara asing yang terlalu menekan harga obat.
Kebijakan ini menyasar obat-obat dengan perbedaan harga terbesar antara AS dan negara lain. Fokus utamanya adalah obat penurun berat badan dan diabetes seperti Zepbound dan Wegovy yang dijual jauh lebih murah di Eropa.
Kebijakan baru ini juga menargetkan para perantara dengan memfasilitasi penjualan langsung dari produsen ke pasien. Tujuannya mengurangi biaya tambahan yang selama ini membebani warga AS. Badan Pengawas Obat AS juga diminta memperluas izin impor obat murah dari berbagai negara.
"Kami akan memotong perantara dan memudahkan penjualan obat langsung dengan harga terbaik kepada warga AS. Harga obat akan turun antara 59 persen hingga 80 persen, bahkan hingga 90 persen," kata Trump, dikutip dari CNBC.
2. Tanggapan industri farmasi
PhRMA, kelompok industri farmasi AS, mengkritik kebijakan Trump ini. Mereka khawatir pengambilan harga dari luar negeri akan merugikan pasien dan pekerja AS. Meski begitu, PhRMA mendukung upaya Trump mendesak negara asing membayar harga wajar untuk obat-obatan.
CEO PhRMA, Steve Ubl, menyatakan masalah tingginya harga obat di AS bukan pada industri farmasi, tapi pada negara asing dan perantara. Industri farmasi menolak mengikuti sistem harga dari negara lain yang dianggap kurang mendukung inovasi.
Pasar justru merespons positif kebijakan ini. Saham perusahaan farmasi naik setelah pengumuman, dengan Merck naik lebih dari 4 persen, Pfizer dan Amgen naik lebih dari 2 persen. Analis menilai kebijakan ini tidak seberat yang ditakutkan industri farmasi.
Berbeda dengan Trump, Senator Bernie Sanders mengkritik pendekatan ini.
"Masalah sebenarnya bukan harga obat yang terlalu rendah di Eropa dan Kanada. Masalahnya adalah keserakahan industri farmasi yang meraup keuntungan lebih dari 100 miliar dolar AS (sekitar Rp1.652 triliun) tahun lalu dengan merampok rakyat Amerika," ujar Sanders, dikutip Al Jazeera.
3. Keraguan terhadap efektivitas kebijakan
Para ahli meragukan klaim Trump soal penurunan harga obat secara drastis. Mereka mempertanyakan wewenang hukum pemerintah tanpa persetujuan Kongres. Rachel Sachs dari Universitas Washington menilai rencana ini hanya meminta produsen menurunkan harga secara sukarela tanpa target jelas.
Melansir NPR, kebijakan serupa pernah gagal di masa jabatan pertama Trump. Pengadilan federal memblokir upaya tersebut yang saat itu hanya menyasar 50 jenis obat. Alasannya, pemerintah melompati beberapa tahap penting dalam proses pembuatan kebijakan.
Pemerintahan Joe Biden sebelumnya berhasil menegosiasikan harga 10 obat Medicare pertama pada 2024 dengan diskon 38 hingga 79 persen yang berlaku Januari 2026. Mehmet Oz dari Medicare and Medicaid Services menyatakan bahwa harga obat yang sudah dinegosiasi masih tiga kali lebih mahal dari negara lain.
"Perintah ini hampir hanya seperti, kami akan meminta harga lebih rendah dan lihat hasilnya. Tanpa tindakan lebih nyata, saya tidak yakin harga harga obat akan turun dalam waktu dekat," ujar Stacie Dusetzina, profesor kebijakan kesehatan di Universitas Vanderbilt, dilansir New York Times.