Apa Kabar Elektabilitas Ahok-Djarot Usai Kontroversi Al-Quran?

Sebuah pepatah mengatakan, "Sepandai-pandainya Tupai melompat, pasti jatuh juga". Istilahnya, sehebat-hebatnya orang yang bisa tampil baik, ujung-ujung akan ada masalah yang menjatuhkannya. Hal ini tampaknya jadi masa yang dialami oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.
Calon petahana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 ini membuat sebuah blunder yang sudah banyak kita tahu. Ya, penyebutan sebuah ayat suci dalam Al-Quran saat pertemuan dengan warga Kepulauan Seribu.
....kan bisa saja dalam hati kecil, bapak, ibu enggak bisa pilih saya karena dibohongi pakai surat Al Maidah ayat 51 macam-macam itu.
Pernyataan adalah penggalan yang heboh di internet. Namun, pria dengan sapaan Ahok ini juga akhirnya mengungkapkan maafnya. Ahok pun secara terbuka menyampaikan permintaan maafnya kepada umat Islam atau pihak yang tersinggung. Ahok mengatakan tidak ada maksud melecehkan Al Quran.

Oke. Ahok sudah minta maaf, tapi apakah tidak ada efek lainnya? Yah, sebut saja sebuah 'efek domino' yang bisa saja terjadi.
Elektabilitas Ahok-Djarot dalam Pilkada 2017.

Ahok sendiri memang telah dipastikan maju Pilkada melalui jalur partai. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) secara sah menunjuk Wakil Gubernur petahana, Djarot Saiful Hidayat untuk mendampingi mantan Bupati Belitung Timur itu. Satu masa jabatan lagi bagi pasangan yang terbentuk 2014 silam.
Namun, sebuah survei dari Populi (Public Opinion and Policy Research) Center menunjukkan kalau masih ada 15,2 persen pemilih yang belum tentukan pilihan. Sementara masing-masing pasangan diperkirakan telah memiliki porsi pemilihnya. Akan tetapi, 15,2 persen masyarakat Jakarta ini tidak bisa ditinggalkan. Mereka juga berperan dalam terpilihnya atau tidak para calon DKI 1.
Bagaimana langkah Ahok-Djarot sejauh ini? Kasus ini bisa saja jadi batu sandungan di awal masa persiapan kampanye dan debat Cagub. Pada akhirnya, Ahok juga harus dapat mengontrol diri dan menghentikan 'efek domino' yang sekarang mulai bermunculan.
'Efek domino' seperti apa? Rakyat yang terkejut Ahok dapat dengan santainya mengutip ayat suci sampai kata-katanya yang 'ceplas-ceplos'. Itu bisa jadi halangan baginya untuk meraih 15,2 persen pemilih tanpa keputusan itu.
Akan tetapi, apakah kontroversi berbau SARA semacam ini masih laku?
Tingkat kerasionalan rakyat DKI Jakarta sudah tinggi.

Pengamat politik yang dihubungi oleh tim IDNtimes, Iding Rosyidin punya pendapat lain. Iding mengatakan kalau isu SARA yang terus bergulir di Indonesia sudah mulai tidak ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. Bhinneka Tunggul Ika yang sudah berdiri sejak lama nampaknya telah kembali dipegang teguh sebagian besar lapisan masyarakat.
Memang, belum seluruh lapisan masyarakat, tapi paling tidak rakyat Jakarta cenderung rasional sekarang. Serasional apa? Mereka tidak lagi dengan mudah setuju dengan kata 'si A' atau 'si B' terkait masalah SARA. Bukan hanya SARA, tapi juga masalah politik yang pada akhirnya akan memengaruhi pemilih nantinya.
15,2 persen pemilih tanpa keputusan inilah yang benar-benar diharapkan dapat menggunakan logika ketimbang mendengar pendapat salah.
Jadi elektabilitas tidak menurun gara-gara kasus ini
Iding sendiri meyakini elektabilitas Ahok-Djarot tidak akan turun gara-gara kasus ini. Pada akhirnya, Indonesia bukan lagi sebuah negara kecil dengan masyarakat yang mudah percaya. Kekuatan media dan literasi media yang sudah mulai terbentuk di masyarakat bisa jadi harapan baru atas pemilih yang lebih dewasa. Namun, masing-masing Cagub dan Cawagub DKI Jakarta pun harus bersikap lebih hati-hati, karena media sendiri dapat jadi back fire atas tindakan mereka.