Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menakar Good Governance di Balik Penundaan Pengangkatan CPNS 2025

Ilustrasi - Pelaksanaan tes SKD CPNS Pemprov NTB 2024 di Asrama Haji Embarkasi Lombok, Minggu (27/10/2024). (IDN Times/Muhammad Nasir)

Di tengah harapan para kandidat yang lolos seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk memulai karier baru, pengumuman penundaan pengangkatan CPNS dari Maret 2025 ke Oktober 2025 oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB) menghadirkan gelombang kekecewaan yang mendalam. Keputusan ini, yang salah satunya tersurat dalam Surat MenPAN RB Nomor B/1043/M.SM.01.00/2025 tertanggal 7 Maret 2025, bertujuan untuk memastikan penataan yang cermat dan menyeluruh atas Aparatur Sipil Negara (ASN), sebagaimana disampaikan dalam konsultasi dengan Komisi II DPR RI. Namun, di balik alasan resmi tersebut, narasi yang berkembang di media sosial, khususnya platform X, mengungkapkan ketidakpuasan publik yang signifikan, menyoroti celah dalam komunikasi politik pemerintah dan praktik tata kelola institusi yang baik.

Sebagai salah satu jalan utama menuju stabilitas karier di sektor formal di Indonesia, proses CPNS menarik ribuan kandidat yang lolos seleksi setiap tahunnya, yang sering kali mengorbankan banyak hal demi memenuhi persyaratan ketat. Di platform X, cerita pribadi seperti yang dibagikan oleh @maharatri_eki menjadi cerminan nyata dari dampak penundaan ini: “Saat persiapan buat ujian, full belajar dan doa ga pernah putus. Bela-belain ngurus administrasi sampe nyeberang pulau. Resign kerjaan dan udah balikin aset kantor. Dituntut tepat waktu untuk submit2, eh di tunda 7 bulan kemudian. Sakit ati banget ya Allaah.” Narasi ini hanya salah satu dari puluhan keluh kesah serupa. Ini tidak hanya menggambarkan pengorbanan finansial dan logistik, tetapi juga luka emosional yang mendalam, yang diperkuat oleh respons kekecewaan dari kandidat yang lolos seleksi lain, menandakan perasaan ketidakadilan yang kian meluas.

Dari perspektif komunikasi politik, penundaan ini menjadi ujian nyata bagi pemerintah dalam mengelola krisis publik. Prinsip komunikasi krisis yang efektif—termasuk komunikasi yang tepat waktu, transparan, penuh empati, dan melibatkan rencana tindakan—terlihat kurang optimal dalam hal ini. Pengumuman pada 5 Maret 2025 mungkin dianggap tepat waktu jika dilihat dari proses finalisasi kebijakan, namun kandidat yang lolos seleksi merasa kurang mendapat pemberitahuan dini. Salah satunya terungkap dalam unggahan @seungcheryyy yang menyoroti betapa “santai”nya Pemerintah menyampaikan penundaan ini tanpa adanya kejadian kahar yang memaksa (force majeure). Berkembangnya informasi dan narasi ini melalui platform media sosial, alih-alih informasi langsung secara privat kepada para kandidat yang lulus seleksi, memunculkan tanda tanya akan praktik tata kelola komunikasi publik dan politik yang berjalan. Yang terkini, bahkan antara DPR dan Pemerintah, Menpan dan RB dalam hal ini, terkesan memiliki penafsiran yang tidak serempak pada isu ini.

Ketidakhadiran komunikasi proaktif sebelumnya memperburuk persepsi bahwa pemerintah abai terhadap dampak kebijakannya pada kehidupan individu. Transparansi memang menjadi kekuatan pemerintah dalam kasus ini, dengan alasan penundaan—yaitu untuk memastikan penataan ASN yang akurat dan adil—disampaikan melalui surat MenPAN RB diatas dan dalam konsultasi DPR (pernyataan MenPAN RB, 2025). Namun, penjelasan tersebut bersifat umum dan tidak cukup mendalam untuk membangun kepercayaan publik. Kandidat PNS berhak mendapatkan informasi detail yang lebih konkret mengenai tantangan administratif atau kebijakan yang menyebabkan penundaan. Namun yang terjadi justru memperluas kesenjangan komunikasi.

Lebih memprihatinkan lagi, pemerintah tampak kurang menunjukkan empati terhadap kandidat yang lolos seleksi yang telah mengorbankan pekerjaan, menanggung utang, dan mengalami tekanan emosional. Misalnya unggahan seperti @Nuhinainuinainu, “Condolences to those, the sandwich generation, family heads, breadwinners, who have already resigned and have to think hard for the next 7 months,” menyoroti beban psikologis yang luput dari perhatian Pemerintah dalam konteks ini. Bahkan beberapa unggahan lain, seperti pada akun @jadisayaisi, adalah respon kemarahan yang sangat dalam.

Dalam konteks tata kelola yang baik, prinsip-prinsip seperti akuntabilitas, responsivitas, dan partisipasi menjadi ujian bagi pemerintah. Konsultasi dengan DPR menunjukkan akuntabilitas formal, tetapi luputnya perhatian Pemerintah pada beban yang muncul karena penundaan ini menunjukkan sikap yang kurang responsif, setidaknya kurangnya empati terhadap para kandidat yang mengorbankan banyak hal. Selain itu, tidak adanya mekanisme partisipasi publik, melemahkan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, yang justru memperburuk persepsi negatif. Sangat bisa dipahami kalau media sosial kemudian menjadi media menumpahkan kekecewaan. Jangan lupakan bahwa kekecewaan masyarakat akibat kasus Patra Niaga belum juga pulih.

Namun di platform media sosial yang sama, ada sisi menarik yang muncul dari krisis ini: solidaritas komunitas. Beberapa respon berupa reply menunjukkan refleksi kolektif dan empati antar kandidat yang lolos seleksi maupun warganet secara umum. Hal ini seharusnya bisa ditangkap oleh Pemerintah sebagai peluang untuk membangun dialog.

Untuk memperbaiki komunikasi politiknya, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih proaktif, transparan, dan penuh empati. Komunikasi dini melalui platform media sosial, penjelasan rinci tentang penundaan, serta langkah konkret seperti bantuan finansial atau peluang kerja sementara dapat sedikit mengurangi ketidakpuasan. Selain itu, membuka ruang dialog dengan kandidat yang lolos seleksi akan memperkuat tata kelola yang baik dan memulihkan kepercayaan publik.

Penundaan CPNS 2025 bukan sekadar isu administrasi, melainkan cermin penting tentang bagaimana pemerintah mengelola krisis dan berkomunikasi dengan rakyatnya. Dengan memperhatikan pelajaran dari narasi yang berkembang di media sosial, pemerintah dapat menangani dengan tepat celah komunikasi yang terjadi. Memastikan kebijakan tidak hanya efektif tetapi juga manusiawi, sehingga menegaskan komitmen terhadap tata kelola yang baik di Indonesia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Muhammad Hasanudin
EditorMuhammad Hasanudin
Follow Us