Menang Pemilu Ketiga Kali, PM Modi Harus Mawas Diri

Pemilihan Umum di India yang berjalan cukup lama, dari April sampai 1 Juni yang lalu akhirnya selesai dengan hasil terpilihnya Perdana Menteri Narendra Modi dari Bharata Janatha Party (BJP), untuk ketiga kalinya. Namun kemenangan tersebut tidak dibarengi dengan kemenangan BJP di Lok Sabha, dan partai PM Modi harus berkoalisi dengan partai kecil, the National Democratic Alliance (NDA).
Sementara itu, partai koalisi lawan yang menguasai Lok Sabha adalah aliansi baru menamakan diri the INDIA (Indian National Democratic Inclusive Alliance). Dan, dengan ini yang menyebutkan bahwa Mister Narendra Modi itu tokoh yang tidak terkalahkan ternyata tidak benar. Meskipun masih satu-satunya sebagai Perdana Menteri India yang terpilih sampai tiga kali.
Terus terang saja, buat kacamata pengamat politik, ada bagusnya suatu partai berkuasa terlalu lama, yang mendasarkan perjuangannya atas kepercayaan satu agama, yang sepak terjangnya sering dicela sebagai kurang mempunyai tegang rasa kepada yang lain menjadi kurang popular. BJP yang berbasis Hindu sering diberitakan bersitegang dengan misalnya golongan muslim yang di India merupakan minoritas, meskipun mempunyai penganut sekitar 170 orang.
Di berbagai negara bagian yang menunjukkan PJB demikian popular telah menyebabkan PM Modi terlalu percaya diri dan menjadi lengah, tidak membaca adanya kecenderungan
semacam anti pejabat yang terlalu lama berkuasa, ditambah beban ekonomi yang
meningkat karena tingginya pengangguran, telah menyebabkan menurunnya popularitas
BJP di sementara negara bagian yang akhirnya menyebabkan kekalahannya. Meskipun
demikian, kebanyakan masih percaya bahwa PM Modi akan melanjutkan program
reformasi administrasinya dan pembangunan ekonomi India.
Tetapi bagi PM Modi tantangan untuk meningkatkan status dan peran negara terbesar di dunia dalam besarnya penduduk dengan tingkat GDP per kapita US$2.400 ini di kancah dunia, G-20, dan BRICS tentu saja, Di mana dalam waktu singkat G-20 akan menyelenggarakan konperensi Summit di Brazil. Dalam konperensi tersebut presiden baru Indonesia Prabowo Subianto yang mewakili ASEAN juga akan tampil pertama kalinya dalam forum ini. Dan saya tahu beliau tentu akan melaksanakan tugas ini seperti biasanya, secara profesional dan berhasil bagus.
Bagaimana pun juga, keberhasilan India dalam menyelenggarakan pemilu untuk mempertahankan sistem demokrasi yang berjalan dengan mulus tersebut perlu kita sambut bersama, disamping keprihatinan mendalam yang harus kita jalani mengamati serangan IDF terhadap Gaza dan Rafah dan secara umumnya conflik senjata antara Israel dengan Hamas dan Iran yang tak kunjung reda. Konflikmasih terus berjalan dan semua pihak semoga tidak berhenti mencari jalan penyelesaian menuju perdamaian yang abadi.
Inisiatif perdamaian baru Presiden Biden, meskipun belum memberi jaminan untuk bisa dilaksanakan karena tuntutan Hamas agar terjadi genjatan senjata segera sebagai prasyarat perundingan, yang bertentangan dengan garis keras kanan Pemerintahan PM Netanyahu, yang tidak ingin menghentikan serangan sebelum menghabiskan Hamas, harus terus diusahakan agar bisa diterima kedua belah pihak. Sementara sayap kiri Israel menunjukkan itikat mendukung rencana perdamaian Presiden Biden tersebut.
Pemerintahan PM Netanyahu yang semakin terisolir tentu merasa memperoleh dukungan baru dengan undangan untuk menyampaikan pidato pada sidang gabungan kongres dan senat di Washington DC. Ya, di satu pihak PM Netanyahu tentu merasa terisolasi, tetapi di pihak lain memperoleh dukungan baru dari sekutu terkuatnya AS.
Dan ini diluar apa yang dihadapinya, perintah penahanan oleh ICC Bersama Menteri Pertahanan Joav Gallnt dan juga ketiga pimpinan Hamas dalam serangan 7 Oktober, Mohammad Deif dan Yahya Sinwar, dan ancaman kriminalisasi karena pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap Palestina oleh Mahkamah Internasional Den Haag yang mendengarkan tuntutan yang diajukan Presiden Ceryl Ramaphosa dari Afrika Selatan yang juga didukung oleh Pemerintah Indonesia.
Dan bagaimana dengan Presiden Putin? Tentu Presiden Putin menikmati masa jabartan
Presiden ketiga, dan bantuan dari China dengan pembelian minyak dan gas yang mengisi tiga koper keuangan yang diperlukan untuk membiayai operasinya di Ukraina. Tetapi apakah Presiden Putin bisa merealisasikan impiannya mencaplok Ukraina sebagaimana dengan Crimea tahun 2014 lalu untuk mendirikan Uni Soviet, tetap belum jelas.
Dengan bantuan AS dan sekutu-sekutunya Presiden Zelensky tentu tambah percaya untuk bisa bertahan terhadap invasi Russia. Juga dengan EU yang terus memperkuat diri, NATO juga bertambah tenaga termasuk dalam dukungannya kepada Ukraine. Jadi menurut analisa murahan saya Ukraina justru semakin kuat untuk mempertahankan negaranya, dan Presiden Putin boleh meneruskan mimpinya mendirikan Uni Soviet. Dradjad, 13/06/2024.
Guru Besar Ekonomi Emeritus, FEBUI, Jakarta, dan Guru Bear Tamu Ekonomi Internasional, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapore.