[OPINI] Benarkah Age Gap Relationship Memengaruhi Keutuhan Pernikahan?

Belakangan ini saya tertarik dengan apa yang tersembunyi dibalik age gap relationship atau perbedaan usia yang terjadi pada suatu hubungan, dalam arti khusus pernikahan. Hal inilah yang kemudian mengantarkan saya pada suatu bacaan renyah lagi epik berjudul "Rumah Tangga yang Bahagia" karya Leo Tolstoy.
Tolstoy dengan luwesnya mencoba mengilustrasikan romansa klasik antara Sergei Mikhailich dan Marya Alexandrovna yang mana keduanya terpaut usia cukup jauh. Meski pada mulanya Mikhailich dan Marya tidak jauh beda dengan sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara, keadaan mulai berubah tatkla Marya telah dipersunting Mikhailich.
Marya yang menikah saat belia mewakili citra pemudi yang haus akan dahaga jiwa serta petualangan. Sementara Mikhailich yang sudah lebih dulu kenyang akan asam pahit kehidupan, berkehendak untuk menjalani rumah tangga yang tenang dari hingar bingar dan orang-orang baru.
Demikian, diakui atau tidak pasangan suami istri yang jarak usianya jauh ternyata berpeluang lebih tinggi untuk menemui beragam krisis rumah tangga. Walaupun begitu, kita tahu bahwa tantangan dalam sebuah pernikahan pasti datang entah itu bentuknya apa.
Mungkin kamu sudah banyak membaca atau barangkali baru hendak mencari tahu, baik itu dari perspektif psikologi, agama, maupun lainnya bahwa ada jarak usia tertentu yang dianggap ideal. Sebagian lagi menyebut jika beda usia antar pasangan berkaitan erat dengan kemungkinan tidak berhasilnya suatu pernikahan.
Argumentasi di atas bukan tanpa dasar, dalam artikel yang dimuat Fatherly, "What Is the Ideal Age Gap for a Happy Marriage?", Laura Vinopal mengemukakan bahwa pasangan dengan beda usia 1 tahun berpeluang 3% untuk berpisah. Sedang mereka yang terpaut usia 10 tahun memiliki peluang lebih tinggi untuk bercerai atau berkisar 39%. Ringkasnya, makin besar perbedaan usia antara suami dan istri, maka makin terbuka lebar pula kemungkinan untuk mengalami ketidakpuasan di kemudian hari.
Nah, sebagai disclaimer patut kita sepakati bersama bahwa kebahagiaan dalam pernikahan sudah lazimnya diusahakan para anggota keluarga, utamanya suami sebagai kepala rumah tangga dan di lain pihak ada seorang istri. Masalahnya, seiring berjalannya waktu romantisme khas pengantin baru belum tentu bisa awet dan menjamin keharmonisan rumah tangga dalam jangka waktu yang lama.
Sebab di balik kehangatan ikatan pernikahan, akan ada masa di mana sejumlah masalah mesti dicarikan solusi, percekcokan dan egoisme individu perlu diredam. Terlebih jika suami kebetulan lebih matang secara usia sementara istri masih tergolong muda.
Anggap saja satu pernikahan terjadi saat istri baru berusia awal 20-an dan suami sudah memasuki akhir 30-an. Dalam hal kecocokan seksual, awalnya ketertarikan fisik mungkin terasa begitu kental. Namun, tahun demi tahun yang berganti perlahan akan menguras vitalitas suami. Di saat yang sama, letupan gairah istri masih berada di puncak. Oleh karenanya hal ini bisa menyebabkan kekecewaan dan rasa bersalah antara satu sama lain.
Berikutnya, apabila berpaling pada masalah prinsip hidup maka penggalan percakapan Mikhailich kepada Marya dapat kamu simak.
"Kau benar-benar masih muda, sedangkan aku sudah tua!" kata Mikhailich, "Apa yang ada dalam diriku tak lagi seperti yang kamu cari, mengapa mau menipu diri sendiri?"
Pada awal usia likuran, sebagai pihak yang lebih muda pasangan kamu agaknya masih tertarik untuk meniti karier. Sementara kamu sendiri, dengan usia yang mulai menua menginginkan kestabilan urusan rumah tangga.
Harapanmu sesederhana untuk hidup menetap dan membesarkan anak di pinggiran kota. Namun, pasanganmu belum mau diajak settle down. Repot bukan? Jika hal ini tidak dikomunikasikan dengan cara baik-baik, tidak menutup kemungkinan cinta sebagai modal awal pernikahan akan luntur dengan sendirinya