Mengamati Perkembangan Paham Kapitalisme yang Menarik

Saya ingin berbagi dengan para pembaca tentang apa yang baru saja saya baca dalam suatu kolom menarik di Financial Times, 24 Mei yang lalu. Suatu kolom ditulis oleh Ruchir Sharma, seorang penulis FT, investor dan fund manager, yang diberi judul “Apa yang salah dalam Kapitalisme.”
Saya menilai tulisan ini sangat menarik, mengikuti perjalanan panjang paham ini. Karena itu saya berpendapat bahwa tulisan ini tidak hanya menarik, tetapi juga bermanfaat buat kita simak secara mendalam apa yang ditulisnya, untuk memahami kemudian memikirkan tentang kegunaannya, mempraktekannya atau menghindarinya dari tatanan ekonomi nasional kita sendiri. Jadi saya kira bermanfaat bahkan kalau hanya untuk membahas dan memahami makna sebenarnya. Ok mari kita bahas selain untuk mengagumi atau menolaknya.

Sharma memulai pembahasannya dengan menggambarkan kapitalisme, sebagai sistem yang diterapkan dengan konsisten di Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Presiden Ronald Reagan, mantan bintang film Hollywood –yang menurut saya, maaf, tidak hebat-hebat amat– kemudian masuk kancah politik, menjadi anggota Partai Republik. Beliau berhasil terpilih menjadi Gubernur negara bagian yang paling besar di AS, California, sampai dua periode, 1967-75, menolak untuk ikut maju ketiga kalinya, tetapi kemudian terpilih menjadi Presiden AS, juga untuk dua periode, 1981-89.
Paham ini juga dilaksanakan serupa di UK, dalam masa pemerintahan PM Margaret Thatcher, yang dikenal dengan julukan “the Iron Lady” karena ketegasannya menyelesaikan pemogokan yang berjalan waktu itu. Saya berkesempatan mengenal Ibu yang luar biasa ini, waktu beliau berkunjung ke Jakarta dalam program yang disponsori Citibank menyelenggarakan world tour buat sejumlah pemimpin dunia di tahun 1994 kalau saya tidak salah, waktu saya menjabat Gubernur BI.
Saya memang melihat PM Thatcher suatu pribadi yang sangat menarik, menjelaskan dengan secara menarik, penuh compassion, apa topik yang dibahasnya, sehingga buat yang mendengarkan menjadi sangat menarik, meskipun tidak harus setuju. Yang juga berkunjung ke Indonesia dalam program ini adalah mantan Presiden AS George H. Bush, ayah dari President George W. Bush. Beliau datang bersama mantan Ibu negara Barbara Bush, yang juga sangat menarik dan entertaining buat lawan bicaranya, beliau mantan guru taman kanak-kanak dan menyusun buku yang terkenal untuk anak-anak. Saya mengagumi mereka ini meskipun pertemuan hanya sekitar dua jam. Yang lain adalah mantan Perdana Menteri dan Senior Minister Singapura, Lee Kwan Yew yang juga sangat menarik dan brilian.
Sebelum ngelantur mari kembali ke pokok bahasan kita. Argumentasi yang mengemukakan bahwa dalam kapitalisme pemerintah yang baik itu adalah yang seramping mungkin, karena yang menjadi penentu adalah kekuatan pasar, jadi swasta, dan Pemerintah hanya bertindak sebagai wasit untuk menjadi agar aturan main ditaati semua. Tetapi rupanya hal ini tidak terbukti dimanapun. Yang terjadi justru sebaliknya, peran Pemerintah terus berkembang menjadi semakin lebih besar, dan defisit anggaran negara juga terus membengkak, sebagaimana terlihat di AS, baik dalam pemerintahan kepresidenan dari Parti Republik maupun Demokrat. Jadi adagium bahwa mekanisme pasar akan menghasilkan keseimbangan atau ekuilibrium, dimana semua pihak memperoleh bagian yang sepadan dan adil, tidaklah sesuai kenyataan, bahkan dalam perekonomian AS, negara yang paling kapitalis sekalipun.
Lebih lanjut, pengakuan ‘neoliberal’ dengan kebijakan liberalisme dan deregulasi, tidak berakhir dengan menghasilkan sebagaimana mereka menjanjikan dalam teori. Peraturan semakin banyak dan beragam, dan pemerintah semakin besar bukannya sebaliknya sebagaimana mereka menjanjikan. Di AS, pengeluaran Pemerintah telah meningkat delapan kali lipat sejak tahun 1930, mulai kurang dari 4 persen, menjadi 24 persen, bahkan 36 persen kalau termasuk anggaran negara bagian. Yang terjadi dalam pemerintahan Presiden Reagan adalah bahwa belanja naik terus sedangkan penerimaan pajak mandeg, dan pembiayaan dilakukan dengan pinjaman Pemerintah melalui emisi bonds dan obligasi. Defisit anggaran berkembang dari suatu kelangkaan menjadi rutin, dan kemudian membengkak sehingga mencapai 120 persen dari GDP.
Menurut jajak pendapat yang diselenggarakan oleh Pew, kepercayaan terhadap capitalism telah sangat menurun, utamanya diantara para anggota Partai Demokrat. Dalam kenyataannya dewasa ini diantara para anggota Partai Demokrat yang berusia 30 tahun kebawah, 58 persen mempercayai dan menganggap socialism lebih menarik, dan hanya 29 persen tetap bertahan percaya pada capitalism. Karena itu, menurut pendapat saya, kritik terhadap “neoliberalisme atau neolib” itu menjadi kurang relevan, karena bahkan di AS, negara yang ekonominya paling capitalist, tidak juga mempraktekannya. Jadi, kembali menurut pendapat saya, kalau di negara dengan perekonomian yang paling kapitalistik seperti di AS saja ‘neolib’ tidak ada atau tidak popular, apalagi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Untuk Indonesia, bilamana ‘neolib’ itu digunakan untuk memberikan karakter para ekonom, yang pada era Orde Baru dulu, secara sinis dan kurang tepat, oleh seorang penulis di majalah ‘Rampart’ sebagai ”Berkeley Mafia”, jelas tidak tepat. Sebutan ini jelas tidak cocok untuk menggambarkan karakter Profesor Sumitro Djojohadikusumo, dengan sejumlah mantan para mahasiswanya, termasuk Widjojo Nitisastro, Sarbini Sumawinata, Moh Sadli, Ali Wardhana, Barli Halim, Subroto, Saleh Affif, Emil Salim, Suhadi Mangkusuwondo, Sumarlin, dan kami-kami generasi adik-adik mereka di FEB UI.
Tidak tepat karena meskipun beberapa benar belajar di UC Berkeley, yang lain tersebar di mana-mana, dari Wisconsin, Pittsburg, UCS, Oregon, MIT, Harvard, Boston, Pennsylvania, NYU, Columbia, NYU Albany, ANU Canberra, dan Suhunya, dari Rotterdam, Negeri Belanda,dibawah ekonom kenamaan Jan Tinbergen, menulis disertasi tentang Kredit Pedesaan di masa Depresi. Pokoke bagaimana mungkin cinta sama “neolib”?
Saya tidak segan untuk maju menunjukkan mengapa demikian. Prof Widjojo Nitisastro, yang menyelesaikan studi doktornya di UC California, Berkeley, mengambil spesialisasi dan menulis disertasi mengenai permasalahan penduduk di Indonesia. Orang yang mempelajari masalah penduduk Indonesia rasanya tidak mungkin tanpa mempunyai compassion terhadap nasib mereka yang demikian melarat dan menderita.
Apakah orang demikian akan percaya paham neolib menjadi jawabannya? Tidak, menurut pendapat saya. Saya mengenal almarhum lama sebagai pegawai Bappenas, kemudian kolega di Kabinet Pembangunan era Orde Baru. Profesor Emil Salim menstudi perencanaan Mesir dan menggagas bagaimana kalau diterapkan di Indonesia. Idem, susah dipercaya beliau percaya neolib obatnya. Professor Saleh Affif, doctor ekonomi pertanian dari University Oregon, sama saja. Professor Sumarlin belajar Public Administration dari Pittsburgh University, idem, and so on, and so forth. Saya melihat mereka semua patriot Indonesia, mengabdi kepada negara dan bangsa yang mereka cintai, Indonesia.
Saya sendiri? Saya belajar Ekonomi Moneter dengan minor, Ekonomi Internasional dan Ekonomi Pembangunan, dan sebelumnya belajar Public Finance, serta Political Economy. Dengan latar belakang semua pendidikan post-graduate di AS (Univ of Wisconsin, Rice Univ dan Boston Univ). Buku-buku karya Prof Milton Friedman dari Univ of Chicago, bapak kapitalisme di AS dengan pemikiran konservatifnya seperti diuraikan dalam bukunya “Free Choice” saya pernah pelajari semua. Saya merasa paham dengan politik dan ekonomi negara tersebut, tetapi nggak pernah tertarik sama yang namanya ‘neolib’ juga. Bagaimana mungkin orang yang sekolah tidak pernah bayar karena ikatan dinas bisa jatuh cinta pada paham yang tidak masuk akal tersebut.
Rasanya saya akan tetap ada di depan untuk mempertahankan integritas dari para senior saya yang disebut Berkeley Mafia tersebut, itu bagian dari penghargaan dan rasa hormat serta terima kasih saya terhadap kontribusi dari bapak-bapak dan kakak-kakak saya di Fakultas Ekonomi dan Business, Universitas Indonesia. Saya sendiri bangga menekuni profesi saya sebagai guru dan pendidik di Perguruan Tinggi di tanah air maupun di luar negeri, kebetulan masih saya jalani dalam umur yang semakin lanjut ini, berhubung NTU tidak pernah minta saya berhenti mengajar. Sekian dan terima kasih atas perhatian bagi yang sudi membaca tulisan ini. Tuhan memberkati Anda sekalian.
Penulis adalah Guru Besar Ekonomi Emeritus FEB UI, Jakarta dan Guru Besar Tamu Ekonomi Internasional, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapore