Miskin itu Seksi: Mengapa Prioritas Kemiskinan Salah Kaprah?

Di balik gemerlap statistik dan janji-janji manis pengentasan kemiskinan, tersembunyi ironi yang menyayat hati: mereka yang paling rentan, yang terperosok dalam jurang kemiskinan terdalam, justru kerap kali terlupakan. Seolah ada seleksi alam yang kejam, yang memprioritaskan mereka yang sudah setengah jalan menuju kesejahteraan, sementara jeritan mereka yang terpuruk tenggelam dalam sunyi. Ini bukan sekadar tentang angka, tapi tentang wajah-wajah yang terabaikan, hati yang terluka, dan keadilan yang dipertanyakan.
Logika Semu di Balik Angka Statistik
Logika sederhana, bukan? Bantu mereka yang sedikit lagi keluar dari jurang kemiskinan, dan angka statistik pun meroket. Tapi, tunggu dulu. Apakah pengentasan kemiskinan hanya soal angka-angka cantik? Nyatanya, prioritas sering kali melenceng. Mereka yang terperosok paling dalam, yang berjuang di palung kemiskinan ekstrem, kerap kali terabaikan. Seolah kemiskinan itu sebuah kontes, siapa yang hampir menang, dialah yang layak dibantu.
Wajah-Wajah yang Terlupakan
Dalihnya klise: efisiensi, dampak cepat. Tapi, di balik itu, ada wajah-wajah putus asa yang tak tersentuh. Penyandang disabilitas yang tak berdaya, lansia renta yang sendirian, keluarga di pelosok yang terisolasi. Mereka ini bukan sekadar angka, tapi manusia dengan hak yang sama. Program pengentasan kemiskinan yang adil seharusnya menyentuh mereka yang paling membutuhkan, bukan hanya yang paling mudah diangkat.
Menggeser Paradigma: Kemanusiaan di Atas Segala
Kita perlu menggeser paradigma. Kemiskinan bukan sekadar masalah ekonomi, tapi juga soal kemanusiaan. Prioritas harus berpihak pada mereka yang terpinggirkan, yang suaranya tak terdengar. Bukan sekadar mengejar angka, tapi membangun masyarakat yang inklusif dan berkeadilan. Sudah saatnya kita bertanya, kemiskinan siapa yang sebenarnya ingin kita entaskan?