Perubahan Iklim, Plastik, dan Pentingnya Kesadaran Masyarakat

Ayo, kurangi penggunaan plastik demi iklim yang lebih baik!

Pergantian musim yang semakin tidak menentu, suhu udara yang semakin panas, dan adanya penyakit-penyakit baru yang muncul dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir menjadi bukti nyata bahwa perubahan iklim merupakan masalah penting yang tidak bisa diabaikan lagi.

Merujuk pada buku Sisi Lain Perubahan Iklim, sebenarnya perubahan iklim bukanlah sesuatu yang baru, karena sejak jutaan tahun lalu iklim global memang selalu berubah. Umumnya, perubahan tersebut merupakan perubahan alamiah yang disebabkan fluktuasi radiasi matahari ataupun letusan gunung berapi. Sayangnya, perubahan iklim sekarang ini lebih banyak dikarenakan aktivitas manusia daripada alam.

Sejak revolusi industri di tahun 1800-an, manusia mulai menggunakan bahan bakar fosil berupa batu bara, minyak, dan gas bumi secara besar-besaran untuk kebutuhan industri. Hal inilah yang menjadi penyebab utama perubahan iklim, karena pembakaran bahan bakar fosil tersebut mampu menimbulkan emisi gas rumah kaca seperti CO2, metana, dan lain sebagainya. Emisi gas rumah kaca ini bekerja dengan cara memerangkap panas dari sinar matahari yang masuk menembus atmosfer bumi dan membuat bumi menjadi semakin panas.

Seiring meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil, emisi gas rumah juga semakin tinggi dan mengakibatkan suhu permukaan global semakin meningkat. Bahkan, sejak 1980-an suhu bumi selalu lebih panas setiap dekadenya. Lebih lanjut, Indonesia.un.org menyebutkan bahwa dekade terakhir yakni 2011-2020 menjadi dekade terpanas dalam catatan sejarah. Jika dibandingkan, suhu bumi saat ini kurang lebih 1,1°C lebih hangat daripada akhir tahun 1800-an.

Bagaimana keterlibatan plastik pada perubahan iklim?

Sejauh ini, permasalahan plastik yang sering dibahas hanya sebatas sampah plastik yang mencemari lingkungan. Namun, permasalahan plastik sebenarnya lebih daripada itu. Plastik dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab utama perubahan iklim, sebab, sepanjang proses produksi, hingga pembuangannya menghasilkan emisi gas yang sangat tinggi.

99% plastik di dunia ini menggunakan minyak dan gas bumi sebagai bahan bakunya. Secara singkat, proses pembuatan plastik dimulai dari pengambilan minyak dan gas alam dari perut bumi, kemudian minyak tersebut dibawa ke kilang minyak untuk proses pemurnian. Dari proses pemurnian inilah dihasilkan berbagai produk petrokimia, termasuk nafta yang merupakan bahan dasar pembuatan plastik. Tahap selanjutnya, nafta diolah sedemikian rupa hingga menjadi pelet plastik atau bijih plastik, lalu dikirim ke industri-industri untuk dicetak menjadi berbagai produk siap pakai seperti botol, kantong plastik, dan lain sebagainya.

Sebagian besar produk plastik adalah kemasan sekali pakai yang biasanya hanya digunakan beberapa menit saja. Karena tidak dapat terurai secara alami, sampah plastik memerlukan penanganan khusus, diantaranya adalah dibakar dengan insinerator dan didaur ulang untuk dijadikan produk plastik kembali.

Namun kenyataannya, membakar sampah menggunakan insinerator dapat menimbulkan polusi udara berupa zat-zat kimia seperti dioxin dan furan yang membahayakan kesehatan serta menambah emisi gas rumah kaca. Daur ulang plastik pun juga membutuhkan energi yang besar, sehingga mampu memicu tingginya jumlah emisi karbon.

Merujuk pada Sustaination.id berdasarkan laporan “Plastic & Climate: The Hidden Costs of a Plastic Planet” yang diterbitkan oleh the Center International Environmental Law, emisi karbon yang dihasilkan oleh plastik sejak proses produksi hingga pembuangannya semakin meningkat. Jumlahnya mencapai 2.8 Juta Metric Ton CO2, sebanding dengan hasil emisi 500 Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara di tahun 2050. Inilah mengapa plastik disebut-sebut turut berkontribusi menyebabkan perubahan iklim.

Kesadaran masyarakat untuk mengurangi plastik adalah kunci utama

Meskipun keterlibatan plastik pada perubahan iklim nyata adanya, tetapi manusia seakan tidak bisa lepas dari penggunaan plastik, terutama plastik sekali pakai. Memang sudah banyak orang yang semakin sadar untuk mengurangi penggunaan plastik. Namun, dari orang-orang yang memiliki kesadaran tersebut, tidak semuanya melakukan tindakan nyata dengan beralih pada produk ramah lingkungan atau produk yang dapat dipakai berulang kali (reusable).

Jika diamati, sebenarnya terdapat penyebab mengapa masyarakat tidak mau beralih pada produk ramah lingkungan atau produk reusable. Penyebab yang paling umum adalah masalah harga. Produk ramah lingkungan dan reusable memiliki harga yang masih relatif mahal. Jika dibandingkan, sedotan kaca atau stainless steel tentu saja lebih mahal dari sedotan plastik biasa, begitu pun dengan bioplastic yang masih tergolong mahal dibanding kantong plastik biasa. Sedangkan sebagian besar masyarakat lebih mementingkan harga di atas kepeduliannya pada lingkungan, terutama kalangan menengah ke bawah. Jadi, selama produk ramah lingkungan masih lebih mahal, orang-orang akan tetap setia menggunakan plastik sekali pakai.

Penyebab lainnya adalah tentang efiensi alias gak mau ribet. Misalnya, karena gak mau repot bawa tumbler minuman ke mana-mana, jadinya lebih memilih membeli air mineral kemasan atau minuman yang menggunakan gelas plastik sekali pakai.

Di sisi lain, ada pula masyarakat yang mengabaikan masalah plastik bukan karena mereka tidak peduli pada perubahan iklim, tetapi lebih karena mereka tidak punya waktu untuk memahami masalah tersebut. Ini adalah hal yang umum terjadi di kalangan masyarakat pelosok, pinggiran dan masyarakat dengan ekonomi rendah. Alasan mereka lebih memilih plastik sekali pakai biasanya dilihat dari manfaatnya, harganya, dan kepraktisannya.

Dalam upaya menangani masalah plastik ini, peran pemerintah sangatlah penting. Hal dasar yang harus ditanamkan adalah kesadaran untuk beralih dari gaya hidup yang bergantung pada plastik sekali pakai. Presidensi G-20 Indonesia yang berlangsung tahun ini menjadi momen tepat untuk memulainya sebagai langkah nyata.

Untuk pertama kalinya, Indonesia memang menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang puncaknya akan dilaksanakan di Bali pada November 2022 nanti. Tema yang diusung pada G20 kali ini adalah “Recover Together, Recover Stronger” dengan tiga isu prioritas, yaitu arsitektur kesehatan global, transformasi digital dan transisi energi berkelanjutan. Permasalahan iklim sendiri menjadi salah satu hal penting yang dibahas pada pertemuan KTT G20.

Adanya agenda G-20 bisa menjadi ajang bagi pemerintah untuk menegaskan masyarakat supaya mengurangi penggunaan plastik dan beralih pada produk reusable. Ini merupakan kunci awal yang sangat penting, meskipun sudah mulai ada inovasi plastik ramah lingkungan dan inovasi-inovasi sejenisnya. Sebab, dengan bergantung pada inovasi tersebut secara tidak sadar masyarakat akan berpikir bahwa tidak masalah menghasilkan banyak sampah plastik karena pada akhirnya plastik-plastik itu dapat terurai secara alami. Pola ini akan memicu bertambahnya produksi sampah plastik, padahal masalah utamanya adalah jumlah pemakaian plastik yang masih terlalu banyak.

Untuk menumbuhkan kesadaran tentang pengurangan plastik sekali pakai dapat dimulai dari masyarakat perekonomian atas. Orang-orang kaya memiliki keuangan yang lebih baik, sehingga lebih mudah beralih pada produk ramah lingkungan dan reusable yang harganya mahal. Sedangkan untuk masyarakat dengan tingkat pendidikan dan perekonomian bawah dapat diawali dari proses edukasi sederhana, misalnya memberi pembinaan untuk tidak membuang sampah di sungai beserta dampaknya, dan sejenisnya. Pendekatan yang dilakukan sesuai dengan tingkat pendidikan dan ekonomi seperti ini tentu akan lebih adil bagi semua kalangan dan tidak membebankan salah satu sisi.

Upaya melepaskan diri dari penggunaan plastik sekali pakai memang sangat sulit. Menanamkan kesadaran pada masyarakat akan pentingnya hal tersebut juga bukan perkara mudah. Untuk itu, 1000 Aspirasi Indonesia Muda diperlukan guna membantu mengatasi masalah ini melalui tindakan nyata yang diterapkan di berbagai lapisan masyarakat.

Baca Juga: Jadi Presidensi G20, Ini Harapan Indonesia ke Negara Berkembang

Nurul Fatin Sazanah Photo Verified Writer Nurul Fatin Sazanah

-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Dimas Bowo

Berita Terkini Lainnya