[OPINI] Ketika Kulit Gelap Sedikit Dibilang Aura Maghrib

- Standar kecantikan Indonesia diskriminatif dan rasis, memunculkan stigma dan ejekan terhadap perempuan dengan kulit sawo matang atau gelap.
- Sejarah kolonialisme dan media massa memainkan peran besar dalam mempromosikan standar kecantikan sempit yang meremehkan warna kulit gelap.
- Dampaknya berbahaya, menyebabkan perempuan merasa tidak aman, menggunakan produk pemutih kulit berbahaya, serta mengalami diskriminasi fisik dan mental.
Di balik gemerlapnya budaya dan kekayaan alam Indonesia, tersembunyi luka mendalam yang terus menganga: standar kecantikan yang diskriminatif dan rasis. Stereotip kulit putih sebagai simbol kecantikan masih mendominasi, mengantarkan perempuan dengan kulit sawo matang atau gelap pada stigma dan ejekan.
Meskipun kulit kuning langsat atau tan adalah warna kulit asli mayoritas penduduk Indonesia. Istilah seperti "aura magrib" atau "mukanya magrib banget" menjadi senjata tajam yang melukai rasa percaya diri dan harga diri mereka.
Ironisnya, ejekan ini tak jarang datang dari sesama perempuan. Di tengah budaya patriarki yang kental, perempuan terinternalisasi untuk bersaing dan saling menghakimi. Standar kecantikan yang dipaksakan ini menjadi alat untuk menjatuhkan dan merendahkan, menciptakan hierarki dimana kulit putih diposisikan di puncak dan kulit gelap di dasar.
Munculnya standar kecantikan
Standar kecantikan yang meremehkan kulit gelap tidak muncul begitu saja. Sejarah kolonialisme meninggalkan jejak yang mendalam pada persepsi masyarakat tentang kecantikan. Kulit putih dianggap sebagai simbol status sosial yang lebih tinggi dan keindahan, sementara kulit gelap dikaitkan dengan kelas pekerja dan rendahnya status sosial. Penjajahan Belanda selama berabad-abad telah menanamkan mindset bahwa kulit putih lebih superior dan menarik, memicu rasa minder dan tidak percaya diri bagi mereka yang berkulit gelap.
Selain itu, media massa dan iklan produk kecantikan juga memainkan peran besar dalam mempromosikan standar kecantikan yang sempit ini. Iklan-iklan produk pemutih kulit menggambarkan perempuan dengan kulit putih sebagai cantik, sukses, dan diinginkan, sementara perempuan dengan kulit gelap seringkali diabaikan atau direpresentasikan secara negatif.
Dampaknya terhadap kesehjateraan mental
Dampak dari stereotip ini amatlah berbahaya. Perempuan berkulit sawo matang dan gelap terjebak dalam lingkaran rasa tidak aman. Mereka merasa perlu memutihkan kulitnya dengan berbagai cara, demi mendapatkan validasi dan penerimaan dari masyarakat. Produk pemutih kulit yang berbahaya marak digunakan, mengorbankan kesehatan demi memenuhi standar kecantikan yang semu.
Lebih parah lagi, diskriminasi ini tak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga mental. Perempuan berkulit gelap kerap mengalami intimidasi, pelecehan verbal, dan bahkan cyberbullying. Harga diri mereka terinjak-injak, rasa percaya diri hancur, dan depresi mengintai.
Di sisi lain, stereotip ini juga membahayakan persatuan perempuan. Alih-alih saling mendukung dan membangun, perempuan terpecah belah oleh standar kecantikan yang rasis. Persaingan dan kebencian tumbuh, menghambat kemajuan kolektif dan memperkuat sistem patriarki.
Padahal, keanekaragaman warna kulit adalah salah satu kekayaan budaya Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia memiliki beragam suku dan etnis dengan warna kulit yang bervariasi. Kecantikan sejati seharusnya tidak diukur dari warna kulit, tetapi dari karakter, kemampuan, dan keunikan individu. Merayakan dan menghargai keanekaragaman ini akan membantu mengurangi diskriminasi dan membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil.
Mengubah paradigma kecantikan
Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu mengubah pola pikir dan persepsi masyarakat tentang kecantikan. Pendidikan adalah kunci utama. Mengajarkan anak-anak sejak dini bahwa semua warna kulit itu indah dan berharga adalah langkah awal yang penting.
Selain itu, media massa dan industri kecantikan juga harus berperan dalam mempromosikan keanekaragaman kecantikan. Menghadirkan lebih banyak perempuan dengan kulit gelap dalam iklan, film, dan acara televisi akan membantu mengubah persepsi masyarakat tentang kecantikan.
Kampanye kesadaran dan program edukasi juga sangat penting dalam mengubah paradigma ini. Sekolah, komunitas, dan keluarga harus terlibat aktif dalam mempromosikan inklusivitas dan penghargaan terhadap keanekaragaman. Diskusi terbuka tentang efek negatif dari standar kecantikan yang sempit dapat membantu memperluas pemahaman dan mengurangi diskriminasi.
Setiap individu juga memiliki peran dalam mengubah standar kecantikan ini. Kita harus mulai dengan diri sendiri, menghargai dan menerima warna kulit kita apa adanya. Dengan demikian, kita dapat menjadi teladan bagi orang lain dan membantu mengubah pandangan masyarakat.
Mari kita bersama-sama merajut kembali persatuan perempuan dan membangun Indonesia yang bebas dari diskriminasi. Ingatlah, perempuan dengan kulit sawo matang dan gelap sama cantiknya dengan perempuan berkulit putih. Kecantikan sejati datang dari dalam, dari rasa percaya diri, dan dari kekuatan untuk menjadi diri sendiri.