Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Marlina dan Segala yang Salah dengan Patriarki di Indonesia

medium.com

Setelah rilis secara gerilya di berbagai festival film independen di belahan dunia lain lewat "What They Don't Talk about When They Talk About Love", Mouly Surya kembali ke khalayak mainstream lewat "Marlina: The Murderer in Four Acts", alias Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak.

Seperti layaknya jalur kejayaan filmmaker Indonesia yang idealis dan mencari cerita yang berani sekaligus gesit menonjolkan sisi ke-Indonesia-an lewat sinematografi yang indah, karya Mouly Surya yang satu ini juga populer di festival-festival film dunia. Setelah diputar keliling dunia, barulah Marlina pulang ke tanah air dengan segudang pujian untuk semua aktor yang terlibat. Terutama heroines yang dengan berani menyelusuri tanah gersang Sumba sebagai buronan. Karena begitulah nasib perempuan di Indonesia ketika jadi korban: dipertanyakan keabsahannya. 

Tanpa bermaksud merusak imaji pembaca yang belum menonton. Marlina yang diperankan secara tepat sasaran oleh Marsha Timothy adalah kisah seorang janda yang menyimpan mumi suaminya di dalam rumahnya. Selain itu dia juga menguburkan jasad anaknya yang mati ketika berusia 7 bulan dalam kandungan di halaman gubuknya yang sederhana.

Dari scene awal saja, bisa dilihat karakter Marlina yang kuat dan no-nonsense. Marlina melakukan apa yang dia mau lakukan dalam segala kerapuhan dan kesederhanannya. Satu hari yang sial bagi Marlina ketika Markus, yang tampaknya adalah preman lokal, mendengar kabar Marlina yang sebatang kara dan memang sudah diincarnya sejak lama kini tidak lagi berpengawal. Dengan terang-terangan Markus menyampaikan intensinya ingin merampok semua ternak Marlina dan memperkosa Marlina beramai-ramai dengan 6 orang kawannya yang segera datang. 

Markus jelas tidak sadar dia berhadapan dengan perempuan yang tidak pasrah. Marlina dengan cerdik mengikuti permainan dan permintaan Markus dkk dengan plot dalam otaknya sendiri, dan penonton dibuat mengikuti dinamika tekad Marlina yang ingin lepas dari kondisi sial yang mau tidak mau menghampiri karena dirinya bukan laki-laki.

Dari judulnya saja sudah bisa ditebak berhasil tidaknya Marlina menghabisi gerombolan pengecut yang beraninya ramai-ramai dari babak pertama. Meski demikian, tetap yang menarik adalah kisah Marlina yang dikembangkan hingga babak ke-4 untuk menghantarkan pesan krusial sejak zaman baheula dalam masyarakat namun lagi dan lagi berhasil ditepikan.

Kita semua yang bukan laki-laki dan besar serta berkarya di Indonesia adalah Marlina, dan Novi.

Novi, sosok yang menjadi sahabat tidak terduga dalam kepahitan Marlina dan momen-momen jagoannya juga menyisakan tempat di hati penonton yang menyimak. Novi muncul sebagai perempuan bersuami yang tengah hamil tua, sudah 10 bulan bahkan.

Novi menjadi korban stigma dan kepercayaan masyarakat yang absurd mengenai bayi sungsang adalah bukti sang ibu yang mengandung ada main gila dengan laki-laki selain suami, dan sialnya, suaminya, Umbu, percaya. Itulah mengapa Umbu absen dalam bulan-bulan terakhir kehamilan Novi dan Novi pun turun ke jalanan untuk menyusul Umbu di tempat kerjanya, dan bertemu dengan Marlina yang ia kenal secara kasual. 

Novi menjadi karakter yang menyegarkan dan membantu perempuan Indonesia untuk menyadari bahwa menginginkan seks bukan hal yang tabu. Bukan hal yang najis dibicarakan, pula. Dengan gamblangnya Novi menjelaskan betapa ia hanya menginginkan suaminya dan tidak ngidam hal lainnya. Sebuah potret yang masih jarang ditemui di tengah perempuan Indonesia yang masih malu-malu dan tersedak norma.

Padahal, seks adalah hal yang indah dan sepatutnya dibicarakan. Beberapa mungkin berargumen jika penggambaran komunitas kecil di Sumba ini mungkin kurang edukasi sehingga karakter Novi malah terkesan tidak tahu malu. Namun pada kenyataannya, seks adalah bagian alami dari kehidupan setiap manusia. 

Hal yang harus dipertanyakan adalah mengapa masih malu juga membicarakan apa adanya, sebagaimana terjadinya? Hal yang sama juga dimunculkan kembali dalam sosok seorang ibu dengan logat Sumba kental yang bertekad mengantarkan keponakannya untuk kawin.

Begitu juga dalam wawancara terakhir Emiliar Clarke dengan Harper's Bazaar, pemeran Daenerys Targaryen dalam Game of Thrones (GoT) ini masih saja kena imbas karena banyak beradegan syur di awal-awal season GoT. Saatnya kartu seks dibuka terang-terangan dengan mengakuinya sebagaimana adanya dan membungkusnya dengan edukasi yang fair, agar tak ada lagi Novi-Novi selanjutnya. 

Momen kerapuhan ditunjukkan dan lagi-lagi jadi tamparan ringan saat Marlina sampai ke kantor polisi untuk melaporkan perkosaan yang terjadi padanya. Para dickheads yang ignorant membiarkan Marlina menunggu lama demi satu set permainan pingpong dan ketika akhirnya mencatat laporan Marlina.

Ujung-ujungnya jadi mempertanyakan apakah yang ia alami benar terjadi serta meremehkan urgensi kondisi Marlina. Gambaran yang familiar dalam sistem hukum di Indonesia, terutama ketimpangan bagi perempuan, hadir dengan absennya polisi perempuan untuk menangani korban pemerkosaan seperti Marlina.

Kekuatan yang Marlina peroleh datang dari dinamit kecil bernama Topan, putri penjual sate di sebelah kantor polisi, meminjamkan bahunya pada Marlina tanpa judgment. Momen kecil seperti ini membuat film ini jadi pengalaman sinematik yang indah nan humanis, memanusiakan korban perkosaan yang hancur namun juga mampu kembali kuat. Meniadakan haru-biru berlebih dan menghadapi kenyataan ala karakter Isabelle Huppert dalam Elle, karena hidup bukan kisah tragis saja, hidup jalan terus.

Maka Marlina pun melanjutkan petualangan, kali ini menyelamatkan Novi yang hendak mencari bantuan untuk Marlina, yang berhasil lari hanya untuk menemukan suaminya siap meninggalkan dirinya, yakin sang istri berselingkuh. Jatuhlah ia kembali ke tangan kawanan penjahat perampas harta Marlina yang masih tersisa dan menjadi sandera. Akhir film tidak diduga-duga karena Novi pun muncul sebagai pahlawan, bahkan bagi Marlina. 

Tanpa pretensi dan berhasil merebut cukup atensi, Marlina menjadi pengingat bagi masyarakat banyak yang lebih memafhumkan laki-laki untuk segala tindak-tanduk yang bahkan tidak manusiawi. Marlina adalah breakout star of the year, bahkan melebihi film biopik macam Kartini, romansa Critical Eleven, tangan dingin Joko Anwar dalam Pengabdi Setan, dan film-film mainstream dengan cerita-ceritanya yang "main aman" (syuting di luar negeri, religius, standup comedian atau YouTuber jadi aktor dadakan, atau horor).

Dialog yang kesemuanya memberikan penghormatan pada dialek khas Indonesia bagian timur serta padang stepa Sumba yang kontras dengan warna primer pakaian aktornya meneriakkan indahnya Indonesia, namun kisah muram-nya juga tidak alpa mengingatkan terus nasib perempuan yang terlunta karena stigma semata.

Perempuan bisa dan sanggup; melindungi, menghidupi dan mengentaskan diri dari nasib. Perempuan bukan hanya makhluk kodrat, namun substansi relevan dengan hak-hak yang sama pentingnya dengan laki-laki.

Perempuan boleh marah, boleh galak ("Ga'ga tapi sangar," ujar Markus yang diterjemahkan sebagai cantik tapi galak, Markus yang maskulinitasnya dikendarai dan dipenggal secara harafiah oleh Marlina), boleh menegaskan apa yang ia mau dan tidak berhenti sampai yang dituju tercapai.

Perempuan boleh khilaf bahkan -seekstrem Marlina- gelap mata, kalau memang jalan itu jadi satu-satunya yang tersedia jika ia diinjak.

Melihat Marlina berjaya di tangan sutradara perempuan yang konsisten dan tidak dimakan tren macam Mouly Surya adalah triumphant moment untuk sinema Indonesia, dan perempuan di belahan dunia mana saja. 

 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Agustin Fatimah
EditorAgustin Fatimah
Follow Us