[OPINI] Mengapa Indonesia Mudah Percaya pada Hal yang Dikaitkan Agama?

- Indonesia adalah negara religius dengan masyarakat yang mudah menerima informasi berbalut agama tanpa kritis.
- Rendahnya literasi kritis dan ketergantungan pada figur otoritas keagamaan memperparah fenomena ini.
- Politik, media sosial, dan kultus individu juga turut mempengaruhi mudahnya masyarakat percaya pada narasi agama.
Indonesia adalah negara dengan populasi mayoritas beragama yang menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual. Tidak mengherankan jika berbagai aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, dan sosial, sering kali dikaitkan dengan agama. Sayangnya, kondisi ini juga membuka celah bagi berbagai pihak untuk membalut kepentingan tertentu dengan narasi agama agar lebih mudah diterima oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan sebagian besar orang cenderung percaya begitu saja tanpa mencari tahu lebih dalam mengenai kebenarannya.
Fenomena ini bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan hasil dari berbagai faktor, seperti budaya, pendidikan, dan akses informasi yang kurang merata. Dalam beberapa kasus, masyarakat lebih mudah menerima informasi yang dibungkus dengan agama tanpa mempertanyakan validitasnya. Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi, dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan bermasyarakat? Artikel ini akan membahas beberapa faktor yang membuat Indonesia begitu mudah percaya pada sesuatu yang dibalut dengan agama.
1. Kuatnya budaya religius di masyarakat

Indonesia dikenal sebagai negara dengan masyarakat yang religius. Sejak kecil, nilai-nilai agama sudah diajarkan di keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial. Hal ini membentuk pola pikir bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan agama harus diterima dengan penuh keyakinan. Akibatnya, ketika suatu informasi atau gagasan disampaikan dengan balutan agama, banyak orang cenderung menerimanya tanpa mempertanyakan lebih dalam.
Selain itu, di berbagai daerah, otoritas keagamaan memiliki pengaruh yang sangat kuat. Ucapan tokoh agama sering kali dianggap sebagai kebenaran mutlak, bahkan lebih dipercaya daripada sumber lain, termasuk ilmuwan atau pakar di bidang tertentu. Sikap ini membuat masyarakat lebih rentan terhadap hoaks atau manipulasi yang menggunakan narasi keagamaan.
2. Minimnya literasi kritis

Salah satu faktor utama yang membuat masyarakat mudah percaya pada sesuatu yang dibalut dengan agama adalah rendahnya literasi kritis. Banyak orang belum terbiasa untuk menganalisis informasi secara objektif, terutama jika informasi tersebut dikaitkan dengan nilai-nilai religius. Mereka lebih cenderung menerima informasi secara mentah tanpa melakukan verifikasi atau membandingkannya dengan sumber lain.
Kurangnya pemahaman terhadap prinsip dasar ilmu pengetahuan dan metode berpikir kritis juga memperburuk keadaan. Masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan membaca dan mencari tahu lebih dalam akan lebih mudah dipengaruhi oleh narasi yang dikemas secara emosional, apalagi jika narasi tersebut menyentuh aspek spiritual yang sangat personal.
3. Pengaruh media sosial dan Ustaz instan

Di era digital, informasi tersebar dengan cepat, terutama melalui media sosial. Sayangnya, tidak semua informasi yang beredar memiliki validitas yang jelas. Banyak orang yang mengaku sebagai ustaz atau pendakwah, tetapi tidak memiliki latar belakang keilmuan yang kuat. Mereka sering kali menyampaikan ajaran agama dengan sudut pandang yang bias atau bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Fenomena ini diperparah dengan algoritma media sosial yang cenderung memperkuat opini yang sudah dimiliki seseorang. Akibatnya, masyarakat hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan keyakinannya, tanpa mempertimbangkan perspektif lain. Hal ini menciptakan gelembung informasi yang semakin memperkuat kecenderungan untuk menerima narasi agama tanpa kritik.
4. Politisasi agama

Agama sering kali digunakan sebagai alat politik untuk menarik simpati masyarakat. Banyak politisi atau kelompok tertentu yang membalut kepentingannya dengan narasi keagamaan agar lebih mudah diterima oleh publik. Mereka memanfaatkan sentimen keagamaan untuk membangun dukungan, meskipun sebenarnya kebijakan atau tindakan mereka tidak selalu selaras dengan nilai-nilai agama yang sesungguhnya.
Fenomena ini membuat masyarakat semakin sulit membedakan antara ajaran agama yang murni dan kepentingan yang diselubungi oleh narasi religius. Jika tidak ada kesadaran kritis, masyarakat bisa dengan mudah dimanipulasi dan diarahkan untuk mendukung sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip kebenaran dan keadilan.
5. Ketergantungan pada figur otoritas

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih memiliki pola pikir yang bergantung pada figur otoritas, terutama dalam hal keagamaan. Mereka lebih mempercayai ucapan seorang tokoh agama dibandingkan melakukan riset sendiri. Kepercayaan ini sering kali membuat masyarakat sulit menerima pendapat lain yang berbeda, meskipun pendapat tersebut didukung oleh data atau logika yang lebih kuat.
Ketergantungan ini juga berkontribusi pada munculnya kultus individu, di mana seorang tokoh agama dianggap tidak bisa salah. Jika tokoh tersebut menyampaikan suatu ajaran, pengikutnya akan langsung menerimanya tanpa mempertanyakan keabsahannya. Akibatnya, manipulasi berbasis agama semakin mudah terjadi.
Mudahnya masyarakat Indonesia percaya pada sesuatu yang dibalut dengan agama bukanlah fenomena yang terjadi begitu saja. Faktor budaya religius, rendahnya literasi kritis, pengaruh media sosial, politisasi agama, serta ketergantungan pada figur otoritas menjadi beberapa penyebab utamanya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu berpikir kritis, mencari sumber informasi yang valid, dan tidak mudah terpengaruh hanya karena sesuatu dikemas dengan narasi keagamaan. Dengan begitu, kita bisa menjadi masyarakat yang lebih cerdas dan tidak mudah dimanipulasi. Bagaimana menurutmu, apakah kamu juga pernah mengalami situasi seperti ini?