Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Fakta Negara Korea Selatan, Negeri Hallyu yang Sebenarnya Konservatif

potret perempuan Korea Selatan (commons.wikimedia.org/KOREA.NET)
Intinya sih...
  • Norma sosial sangat dipengaruhi usia dan status, mempengaruhi cara berkomunikasi dan bersikap sehari-hari.
  • Dunia kerja yang kaku, dengan jam kerja panjang, loyalitas tanpa batas, dan budaya kerja lembur dianggap normal.
  • Pendidikan kompetitif namun penuh tekanan mental, menekankan prestasi akademik lebih dari apapun.

Korea Selatan sering dianggap sebagai negara yang modern, dinamis, dan terbuka karena pengaruh budaya pop-nya yang mendunia. Demam K-Pop, drama Korea, hingga tren fashion dari Seoul seolah menunjukkan wajah negara yang serba cepat dan progresif. Banyak orang membayangkan Korea Selatan sebagai tempat yang liberal, penuh kebebasan berekspresi, dan selalu selangkah lebih maju dalam urusan budaya dan teknologi.

Tapi di balik gemerlap panggung hiburan dan citra modernitas, Korea Selatan ternyata punya sisi konservatif yang sangat kuat. Banyak nilai tradisional yang masih mengakar dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Ada batasan-batasan sosial yang jarang disorot dalam dunia K-Drama, tapi nyata terasa di kehidupan sehari-hari. Berikut ini beberapa fakta menarik tentang bagaimana Korea Selatan menyembunyikan konservatisme dalam wajah modern yang sering ditampilkan ke dunia.

1. Norma sosial sangat dipengaruhi usia dan status

potret masyarakat Korea Selatan (commons.wikimedia.org/Korea.net)

Dalam kehidupan sehari-hari di Korea Selatan, usia dan status sosial punya pengaruh besar terhadap cara berkomunikasi dan bersikap. Seseorang yang lebih muda diharapkan menunjukkan rasa hormat kepada yang lebih tua, bahkan dalam pergaulan biasa. Cara berbicara, memanggil nama, hingga gerak tubuh sangat diatur oleh tatanan usia dan hierarki sosial. Ketika dua orang bertemu, pertanyaan tentang umur sering kali muncul lebih dulu sebelum pembicaraan lainnya.

Konsep “sunbae” (senior) dan “hoobae” (junior) juga sangat melekat, baik dalam dunia kerja maupun pendidikan. Dalam praktiknya, junior gak cuma diharapkan patuh, tapi juga sering kali harus menunjukkan rasa hormat dalam bentuk perlakuan khusus. Meskipun terlihat sebagai bentuk sopan santun, sistem ini kadang membuat hubungan sosial terasa kaku dan penuh tekanan. Banyak generasi muda menganggap sistem ini sudah gak relevan, tapi nyatanya masih sangat kuat tertanam.

2. Dunia kerja yang kaku dan sarat tekanan

ilustrasi pekerja Korea Selatan (freepik.com/freepik)

Kehidupan kerja di Korea Selatan sering dipuji karena etos kerjanya yang tinggi, tapi di sisi lain menyimpan tekanan yang luar biasa besar. Jam kerja panjang, loyalitas tanpa batas terhadap perusahaan, dan budaya kerja lembur adalah hal yang dianggap normal. Budaya "nunchi" atau membaca situasi membuat banyak pekerja merasa harus menyesuaikan diri terus-menerus tanpa benar-benar bisa jujur dengan perasaan mereka. Bahkan cuti pun jarang digunakan karena khawatir dianggap gak loyal.

Struktur kerja yang hierarkis dan penuh formalitas ini kadang menekan kreativitas dan kebebasan berekspresi. Karyawan baru jarang diberi ruang untuk menyampaikan ide, karena dominasi tetap dipegang atasan. Meskipun pemerintah sudah mulai menerapkan reformasi jam kerja, budaya konservatif di dunia kerja ini gak berubah secepat itu. Banyak yang akhirnya resign bukan karena gak mampu, tapi karena lelah secara mental.

3. Pendidikan yang kompetitif tapi penuh tekanan mental

ilustrasi mahasiswa Korea Selatan (unsplash.com/绵 绵)

Sistem pendidikan di Korea Selatan dianggap salah satu yang paling kompetitif di dunia. Siswa belajar sejak pagi sampai malam, ditambah dengan les tambahan di malam hari yang disebut “hagwon.” Orang tua berlomba-lomba memasukkan anak ke sekolah atau les terbaik demi masa depan yang lebih cerah. Namun di balik itu, tekanan mental dan angka stres di kalangan remaja sangat tinggi, bahkan sampai menimbulkan kasus depresi dan bunuh diri.

Budaya konservatif dalam dunia pendidikan ini menekankan prestasi akademik lebih dari apa pun, sampai-sampai hobi dan waktu istirahat jadi hal yang mewah. Kesuksesan seseorang masih sangat diukur dari nama universitas yang berhasil dimasuki. Sayangnya, hal ini membuat banyak remaja merasa gagal jika gak sesuai dengan standar tersebut. Dunia pendidikan yang terlihat maju dari luar ternyata menyimpan sisi gelap yang cukup mengkhawatirkan.

4. Ekspektasi sosial terhadap perempuan masih ketat

potret perempuan Korea Selatan (commons.wikimedia.org/KOREA.NET)

Meski Korea Selatan sudah maju secara ekonomi dan teknologinya diakui dunia, posisi perempuan di masyarakat masih berada dalam tekanan ekspektasi tradisional. Banyak perempuan mengalami tekanan untuk menikah sebelum usia 30, menjaga penampilan sesuai standar kecantikan tertentu, dan menjalani peran tradisional sebagai istri dan ibu. Perempuan yang memilih karier atau hidup mandiri sering kali dipandang aneh, bahkan dikritik oleh lingkungan sekitar.

Di tempat kerja pun, perempuan sering menghadapi hambatan struktural dan budaya. Kesempatan promosi lebih kecil dibandingkan pria, dan angka cuti melahirkan yang digunakan pun rendah karena khawatir berdampak pada posisi di kantor. Gerakan perempuan memang mulai tumbuh, tapi masih terhalang oleh nilai-nilai konservatif yang menilai keberhasilan perempuan berdasarkan status pernikahan atau peran domestik. Modernitas di ruang publik ternyata gak serta-merta menghapus bias tradisional di rumah dan tempat kerja.

5. Masih kuatnya budaya malu dan menjaga citra

potret masyarakat Korea Selatan (commons.wikimedia.org/by d'n'c)

Salah satu nilai tradisional yang masih sangat hidup di Korea Selatan adalah budaya menjaga citra atau “chemyeon.” Orang-orang berusaha tampil sempurna di mata publik, bahkan jika harus menekan perasaan atau pura-pura bahagia. Hal ini berkaitan erat dengan rasa malu yang dianggap bisa menjatuhkan harga diri keluarga atau kelompok sosial. Akibatnya, banyak orang memilih menyembunyikan masalah pribadi daripada mencari bantuan secara terbuka.

Budaya menjaga wajah ini membuat masyarakat cenderung menghindari konflik terbuka. Bahkan dalam lingkungan kerja atau pertemanan, kritik sering disampaikan secara tidak langsung karena takut menyinggung. Meskipun ini membuat interaksi terlihat damai, dalam kenyataannya banyak ketegangan yang tersembunyi. Tekanan untuk selalu terlihat baik di depan orang lain menjadikan kehidupan sosial di Korea penuh lapisan kepura-puraan.

Korea Selatan memang negara yang menarik dengan dua sisi yang saling bertolak belakang. Satu sisi modern dan penuh warna, sisi lain konservatif dan sarat nilai tradisional. Memahami lapisan budaya seperti ini membantu melihat Korea Selatan secara lebih jujur dan utuh. Daripada terpukau hanya dengan K-pop dan drama, lebih penting mengenal kenyataan sosial yang membentuk negeri ini.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ane Hukrisna
EditorAne Hukrisna
Follow Us