5 Fakta Sejarah Kyoto, Kota Kuno yang Jadi Pusat Budaya Jepang

- Kyoto pernah jadi Ibu Kota Jepang selama lebih dari seribu tahun
- Penetapan Kyoto sebagai ibu kota dilakukan pada tahun 794 oleh Kaisar Kanmu
- Kedudukan Kyoto berakhir pada 1869 ketika pusat pemerintahan dipindahkan ke Tokyo
- Rumah bagi lebih dari 1.600 Kuil Buddha
- Kyoto memiliki lebih dari 1.600 kuil Buddha yang menjadi pusat kegiatan spiritual masyarakat
- Beberapa kuil, seperti Kiyomizu-dera dan Kinkaku-ji, masuk dalam daftar Warisan Dunia UNESCO
- Lahirnya budaya geisha di Gion
- Gion adalah tempat lahirnya budaya geisha di Kyoto
- Keberada
Kyoto adalah salah satu kota tertua di Jepang yang punya pesona luar biasa. Dulu, kota ini menjadi ibu kota Jepang selama lebih dari seribu tahun sebelum akhirnya dipindahkan ke Tokyo pada 1869. Hingga sekarang, Kyoto masih mempertahankan jejak sejarahnya lewat ratusan kuil, istana, dan taman tradisional yang indah. Jalan-jalan di kota ini terasa seperti melangkah mundur ke masa lalu, apalagi jika melihat arsitektur klasiknya yang tetap terjaga dengan baik.
Meski sudah berkembang menjadi kota modern, Kyoto gak kehilangan sentuhan budaya tradisionalnya. Festival tahunan, kerajinan tangan, serta tata cara hidup masyarakatnya tetap mencerminkan warisan nenek moyang yang kental. Kota ini bukan hanya destinasi wisata populer, tapi juga menjadi pusat penelitian sejarah dan budaya Jepang. Setiap sudutnya menyimpan kisah masa lalu yang penuh makna, membuat Kyoto layak disebut sebagai salah satu harta karun Jepang yang tak ternilai.
1. Kyoto pernah jadi Ibu Kota Jepang selama lebih dari seribu tahun

Kyoto pertama kali ditetapkan sebagai ibu kota pada tahun 794 dengan nama Heian-kyo. Penetapan ini dilakukan oleh Kaisar Kanmu yang ingin menciptakan pusat pemerintahan dan budaya yang baru. Selama lebih dari seribu tahun, Kyoto menjadi tempat tinggal kaisar serta pusat politik, ekonomi, dan agama Jepang. Periode ini menjadi fondasi terbentuknya tradisi yang masih bisa ditemui sampai sekarang.
Kedudukan Kyoto sebagai ibu kota berakhir pada 1869 ketika Kaisar Meiji memindahkan pusat pemerintahan ke Tokyo. Meski begitu, statusnya sebagai pusat budaya gak pernah pudar. Justru, perpindahan ibu kota membuat Kyoto bisa lebih fokus mempertahankan warisan sejarahnya tanpa banyak intervensi modernisasi yang berlebihan. Sampai saat ini, identitas kota ini tetap erat dengan sejarah panjangnya sebagai pusat negeri Sakura.
2. Rumah bagi lebih dari 1.600 Kuil Buddha

Salah satu hal yang membuat Kyoto istimewa adalah jumlah kuilnya yang sangat banyak, mencapai lebih dari 1.600 kuil Buddha. Kuil-kuil ini dibangun sejak zaman kuno dan menjadi pusat kegiatan spiritual masyarakat. Beberapa di antaranya, seperti Kiyomizu-dera dan Kinkaku-ji, bahkan masuk dalam daftar Warisan Dunia UNESCO. Keberadaan kuil ini bukan hanya untuk beribadah, tapi juga menjadi simbol perjalanan sejarah agama di Jepang.
Setiap kuil punya cerita dan arsitektur yang unik, mencerminkan periode dan gaya tertentu. Misalnya, Kinkaku-ji yang dilapisi daun emas menggambarkan kemewahan zaman Muromachi, sementara Ryoan-ji terkenal dengan taman batu khas Zen. Masyarakat Kyoto masih rutin mengunjungi kuil untuk berdoa, merayakan festival, atau sekadar mencari ketenangan. Inilah yang membuat kuil-kuil di Kyoto tetap hidup dan relevan hingga sekarang.
3. Lahirnya budaya geisha di Gion

Gion, salah satu distrik paling terkenal di Kyoto, adalah tempat lahirnya budaya geisha. Pada awalnya, geisha hadir untuk menghibur para tamu di rumah teh dengan tarian, musik, dan percakapan yang elegan. Seni menjadi geisha membutuhkan pelatihan panjang dan disiplin tinggi, sehingga hanya sedikit yang mampu menekuninya hingga mahir. Tradisi ini sudah berjalan selama ratusan tahun dan masih bertahan sampai saat ini.
Meski jumlah geisha semakin sedikit, keberadaan mereka tetap menjadi daya tarik budaya yang kuat. Setiap tahun, Gion menggelar pertunjukan khusus yang memperlihatkan seni geisha kepada publik. Dengan kimono indah dan tata rias khas, geisha menjadi simbol kecantikan dan keanggunan Jepang tradisional. Kyoto berhasil menjaga warisan ini agar gak hilang di tengah arus modernisasi.
4. Kyoto selamat dari serangan bom di Perang Dunia II

Saat Perang Dunia II berlangsung, banyak kota di Jepang mengalami kerusakan parah akibat serangan udara. Namun, Kyoto nyaris tak tersentuh bom. Salah satu alasan utamanya adalah karena kota ini memiliki nilai historis dan budaya yang sangat tinggi, sehingga diputuskan untuk tidak dihancurkan. Keputusan ini membuat Kyoto tetap mempertahankan bentuk asli bangunan-bangunan tuanya.
Keberuntungan ini menjadikan Kyoto sebagai salah satu kota yang paling otentik dalam merepresentasikan Jepang kuno. Berjalan di jalanan Kyoto, banyak bangunan kayu berusia ratusan tahun yang masih berdiri kokoh. Inilah yang membuat pengalaman mengunjungi Kyoto terasa sangat berbeda dibanding kota-kota besar Jepang lainnya.
5. Festival Gion Matsuri yang sudah berjalan sejak abad ke-9

Gion Matsuri adalah salah satu festival terbesar di Jepang yang diadakan setiap Juli di Kyoto. Festival ini awalnya digelar untuk memohon perlindungan dari wabah penyakit pada abad ke-9. Seiring waktu, perayaan ini berkembang menjadi pesta budaya yang meriah dengan pawai, musik, dan kostum tradisional. Salah satu ciri khasnya adalah parade kereta hias raksasa yang disebut "yamaboko".
Festival ini bukan hanya hiburan, tapi juga bentuk penghormatan pada sejarah dan tradisi Kyoto. Persiapannya melibatkan banyak warga yang bekerja sama menjaga kemurnian acara. Gion Matsuri menjadi momen di mana masyarakat Kyoto dan pengunjung dari berbagai belahan dunia berkumpul untuk merayakan budaya Jepang. Keindahan dan kemegahan festival ini menjadi salah satu alasan banyak orang jatuh hati pada Kyoto.
Kyoto adalah kota yang mampu memadukan masa lalu dan masa kini dengan harmonis. Dari sejarah panjang sebagai ibu kota, ribuan kuil yang mempesona, budaya geisha yang elegan, keberuntungan selamat dari perang, hingga festival megah yang bertahan berabad-abad, semua membentuk identitas unik Kyoto. Mengunjungi kota ini bukan sekadar wisata, tapi juga perjalanan menelusuri jejak sejarah Jepang. Kyoto membuktikan bahwa warisan budaya bisa terus hidup dan relevan di tengah perkembangan zaman.