Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Fenomena Hujan Unik di Luar Angkasa yang Jarang Diketahui  

ilustrasi hujan berlian (space.com)
ilustrasi hujan berlian (space.com)

Pernah kebayang gak kalau di luar angkasa juga ada hujan? Tapi bukan hujan air seperti di Bumi yang bisa menenangkan dan menyejukkan, melainkan hujan yang jauh lebih ekstrem! Mulai dari hujan asam sulfat yang bisa membakar kulit kita, sampai hujan berlian yang turun di planet raksasa es. Alam semesta memang penuh kejutan, dan cuaca di beberapa planet bisa dibilang lebih dramatis dari film fiksi ilmiah mana pun.

Kalau di Bumi hujan deras bikin ribet karena lupa bawa payung, di luar angkasa payung pun tidak akan berguna. Bayangkan saja berdiri di bawah hujan batu permata atau metana yang turun dari langit. Fenomena ini memang terdengar gila, tapi semuanya benar-benar terjadi di luar angkasa sana. Yuk, kita intip enam fenomena hujan paling unik di luar angkasa yang mungkin belum banyak orang tahu!

1. Hujan asam sulfat di Venus

ilustrasi Venus (science.nasa.gov)
ilustrasi Venus (science.nasa.gov)

Kalau di Bumi kita mengeluh soal hujan asam yang bisa merusak bangunan dan lingkungan, di Venus hujan asamnya jauh lebih ekstrem. Meski tidak terlihat, faktanya atmosfer Venus terdiri dari karbon dioksida (96,5%) dengan sedikit nitrogen (3,5%) dan sedikit gas lainnya. Apalagi awan tebalnya itu bukan tetesan air seperti di Bumi, lho, melainkan sekumpulan sulfur dioksida dan asam sulfat yang sangat beracun.

Tapi tenang saja, karena suhu permukaan Venus sangat panas hingga bisa mencapai 475°C, jadi tetesan hujan asam sulfat akan menguap sebelum sampai di tanah. Jadi, hujan di Venus itu seperti ilusi, turun dari awan, lalu menghilang di tengah jalan.

2. Hujan elektron di Merkurius

ilustrasi Merkurius (starlust.org)
ilustrasi Merkurius (starlust.org)

Merkurius, planet terdekat dari Matahari, aslinya tidak memiliki atmosfer yang bisa mendukung fenomena cuaca seperti badai, awan, angin, atau hujan layaknya di Bumi. Istilah hujan elektron itu digunakan ketika angin matahari menghantam medan magnet lemah Merkurius, lalu elektron bermuatan tinggi membombardir permukaan planet tanpa ampun.

Efeknya mirip aurora di Bumi, tetapi lebih intens dan tanpa warna-warna cantik seperti di kutub. Hujan ini juga bisa menyebabkan pelepasan partikel dari permukaan Merkurius, yang mana itu akan menciptakan atmosfer tipis sementara.

3. Hujan batu permata di WASP-121b

ilustrasi WASP-121b (bgr.com)
ilustrasi WASP-121b (bgr.com)

WASP-121b adalah eksoplanet yang kerap disebut sebagai Jupiter versi panas karena suhunya lebih dari 2.500°C. WASP-121b begitu dekat dengan bintang induk hingga atmosfernya bergejolak seperti air mendidih. Bukan hanya itu, raksasa gas ini juga bisa menyelesaikan orbitnya dengan sangat cepat, yaitu hanya 30 jam untuk sekali putaran. Sebab itulah ia bisa menciptakan angin yang sangat kencang.

Di langit WASP-121b, sering kali turun hujan batu permata, terutama korundum, mineral yang membentuk safir dan rubi. Angin kuat bisa membawa batu permata tersebut ke sisi yang lebih panas, di mana mereka menguap sebelum turun kembali sebagai hujan di sisi yang lebih dingin. Bisa dibilang, ini planet di mana rubi dan safir jatuh dari langit!

4. Hujan metana di Titan

ilustrasi Titan (solarsystem.nasa.gov)
ilustrasi Titan (solarsystem.nasa.gov)

Titan, bulan terbesar Saturnus, adalah satu-satunya objek di tata surya selain Bumi yang memiliki siklus hujan, sungai, dan danau. Bedanya, yang turun di Titan bukan air, melainkan metana cair. Dengan suhu permukaan yang sangat dingin, sekitar -179°C, metana yang di Bumi berbentuk gas justru tetap dalam keadaan cair di Titan.

Namun, hujan di Titan sangat jarang terjadi. Di beberapa wilayah, badai metana bisa turun hanya sekali dalam beberapa dekade. Saat hujan akhirnya turun, tetesannya akan lebih besar dan jatuh lebih lambat karena gravitasi Titan yang lemah. Hujan ini nantinya mengisi danau dan sungai, lalu menguap kembali ke atmosfer, melanjutkan siklus cuaca Titan.

5. Hujan helium di Jupiter

ilustrasi Jupiter (pixabay.com/GustavoAckles)
ilustrasi Jupiter (pixabay.com/GustavoAckles)

Jupiter mengalami fenomena hujan helium di kedalaman atmosfernya karena tekanan dan suhu ekstrem. Pada lapisan dalam, di mana tekanan mencapai jutaan kali lipat dari Bumi dan suhu ribuan derajat Celsius, hidrogen berubah menjadi hidrogen metalik. Dalam kondisi itu, helium yang awalnya bercampur mulai terpisah dan membentuk tetesan cairan. Karena lebih berat, tetesan helium ini pun jatuh seperti hujan menuju inti Jupiter.

Salah satu dampak utama dari fenomena hujan ini adalah kontribusinya terhadap sumber panas internal Jupiter. Ketika tetesan helium jatuh ke dalam, ia melepaskan energi dalam bentuk panas, jadi dengan ini bisa menjelaskan kenapa Jupiter memancarkan lebih banyak panas daripada yang diterimanya dari Matahari.

6. Hujan berlian di Uranus dan Neptunus

ilustrasi Uranus dan Neptunus (astronomy.com)
ilustrasi Uranus dan Neptunus (astronomy.com)

Ya, benar-benar ada hujan berlian di Uranus dan Neptunus. Dua raksasa es ini sebagian besar terdiri dari banyak air, amonia, dan metana. Di bawah tekanan dan suhu ekstrem di dalam planet, metana akan terurai menjadi karbon, dan kemudian mengkristal menjadi berlian sebelum akhirnya turun menghujani planet.

Berlian yang jatuh tersebut tentunya bukan dalam bentuk kecil seperti serpihan kaca, melainkan bebatuan raksasa. Jadi walaupun terdengar mengagumkan tapi agak seram juga, ya.

Dari hujan asam sulfat di Venus hingga hujan berlian di Uranus dan Neptunus, fenomena cuaca di luar angkasa ternyata benar-benar tidak terbayangkan dan jauh berbeda dari yang kita alami di Bumi. Di samping menarik, penelitian ini juga membantu kita memahami lebih dalam tentang planet-planet lain. Siapa tahu, di masa depan manusia bisa menyaksikan sendiri hujan-hujan aneh ini dari dekat!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dinda Hamzah
EditorDinda Hamzah
Follow Us