7 Reptil yang Nyaris Punah di Dunia, Ketika Kulit Bersisik dan Cangkang Indah Terus Diburu!

- Gharial, buaya langsing dari sungai Gangga
- Chinese alligator, sang naga mini dari Tiongkok
- Philippine crocodile, sang penjaga air tawar dari Mindoro
Di tengah hiruk-pikuk perbincangan tentang panda, harimau, atau gajah, para reptil seakan terlupakan di sudut sejarah evolusi. Padahal, merekalah penjaga ekosistem purba yang sudah ada sejak masa dinosaurus. Namun kini, mereka menghadapi ancaman besar—dari hilangnya habitat hingga perburuan manusia.
Menurut laporan Nature, lebih dari 21% spesies reptil di dunia kini terancam punah, setara dengan satu dari lima spesies yang mungkin lenyap dari muka bumi jika kita tak bertindak. Mari kita lihat tujuh di antaranya yang sedang berjuang keras melawan kepunahan.
1. Gharial, buaya langsing dari sungai Gangga

Gharial atau Gavialis gangeticus adalah salah satu buaya paling unik di dunia, dengan moncong panjang dan sempit yang dirancang untuk menangkap ikan di sungai-sungai besar India dan Nepal. Menurut Zoological Society of London, populasi liar gharial kini tersisa kurang dari 650 ekor di alam.
Ancaman utamanya berasal dari pembangunan bendungan dan degradasi sungai. Habitat alami yang rusak membuat mereka kehilangan tempat berkembang biak. Selain itu, persaingan dengan manusia untuk ikan memperburuk keadaan.
Gharial adalah fosil hidup—saksi bisu jutaan tahun evolusi reptil air tawar. Jika spesies ini hilang, kita kehilangan bukan hanya predator alami sungai, tetapi juga fragmen penting sejarah kehidupan di bumi.
2. Chinese alligator, sang naga mini dari Tiongkok

Alligator Tiongkok sering dijuluki ‘naga sejati’ karena legenda Tiongkok kuno mungkin terinspirasi dari reptil ini. Namun, menurut IUCN Crocodile Specialist Group, spesies Alligator sinensis ini kurang dari 150 ekor tersisa di alam liar.
Penyebab utama kepunahan mereka adalah urbanisasi ekstrem di lembah Sungai Yangtze. Habitat rawa dan sungai mereka dikeringkan untuk pertanian dan pemukiman. Selain itu, perubahan iklim mempercepat hilangnya lahan basah yang menjadi tempat persembunyian alami mereka.
Untungnya, program konservasi di Anhui telah berhasil menetas-kan ratusan anak aligator di penangkaran. Namun tanpa habitat alami yang aman, upaya itu hanya menunda kepunahan, bukan menyelamatkan masa depan spesies.
3. Philippine crocodile, sang penjaga air tawar dari Mindoro

Buaya Filipina adalah salah satu predator air tawar paling langka di dunia. Populasi liar dari Crocodylus mindorensis ini diperkirakan kurang dari 250 individu, menurut International Zoo Yearbook. Spesies ini hanya hidup di sungai kecil dan rawa di beberapa pulau Filipina.
Sayangnya, mereka sering diburu karena dianggap berbahaya, padahal buaya air tawar ini lebih pemalu dibanding kerabatnya yang besar. Konflik manusia-buaya menjadi ancaman utama, diikuti oleh perusakan habitat dan polusi sungai.
Upaya edukasi dan konservasi berbasis komunitas kini menjadi kunci penyelamatan spesies ini. Masyarakat diajak melihat buaya bukan sebagai musuh, tapi penjaga keseimbangan ekosistem air tawar.
4. Asian giant softshell turtle, raksasa sungai yang hampir hilang

Kura-kura raksasa ini pernah tersebar luas di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Cangkangnya lunak, dan tubuhnya bisa mencapai panjang lebih dari satu meter, menjadikannya salah satu kura-kura air tawar terbesar di dunia.
Namun kini, IUCN Red List mencatat spesies Pelochelys cantorii sebagai Critically Endangered. Penyebab utamanya adalah perburuan untuk konsumsi, perdagangan satwa liar, dan rusaknya ekosistem sungai akibat polusi dan penambangan pasir.
Ironisnya, keberadaan spesies ini lebih sering terdengar dari legenda desa ketimbang pengamatan lapangan. Mereka menjadi hantu ekologis—pernah ada, tapi nyaris tak terlihat lagi di alam.
5. Saint lucia racer, ular paling langka di dunia

Bayangkan ular yang populasinya bisa dihitung dengan jari. Itulah nasib saint lucia racer, spesies endemik dari pulau kecil di Karibia. Komunitas pencinta lingkungan melalui kanalnya Fauna & Flora mengungkapkan kalau jumlah individu spesies Erythrolamprus ornatus ini hanya belasan ekor. Sementara, pada tahun 2016 Herpetology Notes telah memperbarui data yang telah berhasil dikonservasi dari spesies ini hingga berjumlah 50 ular dewasa.
Ancaman terbesar datang dari predator invasif seperti kucing dan musang yang dibawa manusia ke pulau itu. Ular ini tidak berbisa, kecil, dan sama sekali tidak berbahaya bagi manusia. Namun, ia justru kalah oleh makhluk yang seharusnya bukan bagian dari ekosistemnya.
Kini, para peneliti berusaha memperluas area konservasi di Pulau Maria Major agar populasi ular kecil ini bisa bertambah. Saint lucia racer adalah simbol perlawanan terhadap kepunahan yang disebabkan ulah manusia.
6. Radiated tortoise, permata kering dari Madagaskar

Kura-kura bercangkang indah ini berasal dari Madagaskar bagian selatan. Pola bintang pada cangkangnya menjadikannya salah satu reptil paling diburu di dunia. Menurut laporan Jurnal Oryx, setiap tahun ribuan radiated tortoise diselundupkan untuk perdagangan satwa eksotis.
Padahal, IUCN sejak 2008 telah menetapkan status spesies Astrochelys radiata sebagai Critically Endangered. Hilangnya habitat sabana kering dan perburuan liar menyebabkan populasinya menurun drastis hingga 80% dalam 30 tahun terakhir.
Selain indah, kura-kura ini memiliki peran penting dalam menyebarkan biji tanaman kering Madagaskar. Tanpa mereka, ekosistem setempat bisa runtuh secara perlahan.
7. Hawksbill turtle, si penjelajah laut yang diburu kulit dan cangkangnya

Hawksbill dikenal karena cangkangnya yang berwarna-warni. Hal ini menjadi ironi—membuatnya menjadi incaran perhiasan ‘tortoiseshell’. Menurut WWF Climate Change Programme, populasi globalnya turun lebih dari 80% dalam satu abad terakhir.
Spesies Eretmochelys imbricata ini tersebar di terumbu karang tropis seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ancaman utamanya datang dari perburuan, polusi laut, serta perubahan iklim yang merusak karang tempat mereka mencari makan.
Hawksbill bukan hanya ikon laut tropis, tetapi juga penjaga ekosistem karang. Tanpa mereka, keseimbangan laut bisa terganggu, dan keindahan tropis yang kita kenal bisa ikut memudar.
Reptil adalah saksi bisu perjalanan panjang evolusi, hidup lebih dulu dari burung dan mamalia. Jika mereka punah, kita kehilangan bukan hanya makhluk, tapi juga kisah tentang adaptasi dan ketahanan hidup.
Kini, saat banyak dari mereka tinggal menunggu waktu, satu-satunya cara untuk menyelamatkan masa depan reptil adalah dengan melindungi habitat dan menghentikan perburuan. Karena di balik kulit bersisik mereka, tersimpan rahasia kehidupan yang tak tergantikan.

















