Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

8 Tokoh Ini Sudah Jadi Pemimpin Militer di Usia Belia

tasteofcinema.com
tasteofcinema.com

Sebagai seorang anak laki-laki, pasti banyak di antara kalian yang suka berbaring di lantai dan bermain-main dengan tentara plastik. Mungkin juga banyak di antara kalian yang ingin menjadi seorang pemimpin militer, walau keinginan tersebut semakin memudar seiring dengan bertambahnya usia. 

Namun ada contoh nyata dalam sejarah, di mana para tokoh yang masih belia mampu mengubah keinginan itu menjadi kenyataan. Berikut 8 tokoh yang mampu menjadi pemimpin militer di usia belia.

1. Michael Asen II dari Bulgaria

commons.wikimedia.org
commons.wikimedia.org

Michael Asen II naik takhta pada usia tujuh tahun setelah kematian ayahnya, Constantine Tikh, dalam pertempuran. Karena masih sangat muda, mayoritas putusan itu dilakukan oleh ibunya, Maria Kantakouzene, yang merupakan putri kaisar Bizantium, Michael VIII.

Pada saat itu, kerajaan sedang berperang melawan para pemberontak yang menuntut takhta. Saat menjadi raja, Michael Asen II juga mengambil alih posisi ayahnya sebagai kepala militer. Dia tidak banyak memimpin, dan hanya berada di medan perang saat diizinkan, dalam sebuah aturan yang dibuat khusus untuknya.

Pada 1279, ketika dia baru berusia sembilan tahun, kaisar Bizantium memutuskan untuk menempatkan pemimpin yang lebih cocok di atas takhta. Pasukan Bizantium dengan mudah mengambil ibukota, sedangkan Michael Asen II dan ibunya dikirim ke pengasingan.

Hak atas takhtanya juga dicabut, jadi meskipun dia berusaha untuk kembali ke Bulgaria dengan pasukan di kemudian hari, dia tidak akan pernah bisa menyatakan dirinya sebagai raja Bulgaria.

2. Okita Soji

himasoku.com
himasoku.com

Meskipun bukan seorang pemimpin militer dalam arti yang sesungguhnya, Okita menjadi anggota dari pasukan polisi khusus selama periode shogun akhir di Jepang. Okita Sōji adalah seorang samurai yang mulai berlatih ilmu pedang sekitar usia sembilan tahun.

Ketika dia baru berusia 12 tahun, dia mengalahkan guru kenjutsu (ilmu pedang) di perguruan lain dan menjadi master dari gaya pedangnya pada usia 18 tahun. Dia menjadi pemimpin di sebuah dojo, lalu menjadi anggota pendiri Shinsengumi dan menjadi kapten pada usia 19 tahun.

Meskipun terkenal karena kebaikannya di kehidupan sehari-hari, Okita terkenal kejam di dalam pertempuran. Selama Insiden Ikedaya, ia menahan sekelompok pemberontak di sebuah hotel Kyoto sendirian. Akhirnya, Shinsengumi menjadi semakin terlibat dengan konflik militer shogun.

Seperti banyak pemimpin non-kerajaan lainnya, ia mati di umur yang sangat muda. Dia jatuh sakit pada tahun 1867 dan meninggal (mungkin karena tuberkulosis) pada bulan Juli 1868, saat berusia sekitar 24 tahun.

Dia dianggap sebagai satu dari 13 Kensei, atau "pendekar pedang suci", dan menjadi salah satu pendekar pedang terhebat dalam sejarah Jepang.

3. Henry IV dari Prancis

onthisday.com
onthisday.com

Henry IV adalah raja pertama cabang keluarga Bourbon dari dinasti Capetian di Prancis. Dia adalah seorang Protestan saat pertikaian agama di Prancis sedang berlangsung.

Saat remaja, Henry bergabung dan memimpin pasukan Huguenot selama periode perang. Dia dikenal sebagai pemimpin yang berani di usia yang cukup muda, dan memimpin langsung pasukan dalam beberapa pertempuran.

Pada usia 19 tahun, ia hampir terbunuh dalam Pembantaian Hari St. Bartholomew, dan hanya selamat jika ia berjanji untuk pindah agama menjadi Katolik. Dia ditahan oleh pasukan Katolik selama 4 tahun berikutnya, sebelum melarikan diri pada 1576 dan bergabung kembali dengan pasukan Protestan. 

Pada tahun 1587, di usia 24 tahun, ia mengalahkan pasukan kerajaan di Pertempuran Coutras, yang memberinya jalan ke takhta Prancis. Ia dimahkotai sebagai raja Prancis pada tahun 1589.

Henry IV dipuja oleh banyak orang, dan dikenal sebagai orang yang baik, berbelas kasih, dan memiliki selera humor. Sayangnya, ia dibunuh oleh seorang Katolik yang fanatik pada tahun 1610.

4. Augustus "Oktavianus" Caesar

thoughtco.com
thoughtco.com

Augustus lahir pada tahun 63 SM sebagai putra dari Gayus Octavius. Di awal masa remajanya, ia dikirim ke Apollonia, sebuah kota di Albania modern. Dia baru berusia 18 tahun ketika Julius Caesar terbunuh.

Augustus mengabaikan nasihat untuk mencari perlindungan di Makedonia, dan malah kembali ke Italia. Ia kemudian mengetahui bahwa Caesar memberi dua pertiga dari tanah miliknya dan, karena tidak memiliki anak sah yang masih hidup, ia menamainya sebagai putra dan pewarisnya.

Bersiap untuk mengikuti jejak ayah angkatnya, ia mulai mengumpulkan dukungan dari orang-orang yang setia kepada Julius Caesar dan menekankan statusnya sebagai pewaris yang sah.

Pada 6 Mei, 44 SM, Augustus yang berusia 18 tahun memimpin lebih dari 3.000 tentara veteran ke Roma. Hanya sedikit yang berani melawannya, karena sebagain besar masyarakat Roma bersimpati pada perjuangannya.

Dia berhasil mengusir pembunuh Caesar — yang sedang dalam perlindungan konsul saat itu, Mark Antony — keluar dari kota. Setelahnya, Augustus mendengarkan pendapat Senat tentang pengkhianatan Antony, dan mulai membangun pasukan militernya.

Setelah Antony melarikan diri dari Roma, Augustus dilantik ke dalam Senat pada usia 19 tahun dan diberikan imperium. Augustus pergi bersama dua konsul lain untuk mengalahkan Mark Antony.

Mereka berhasil mengalahkannya dalam pertempuran Forum Gallorum dan Mutina, memaksa Antony untuk mundur, meskipun kedua konsul itu terbunuh dalam pertempuran.

Kemenangan ini membuat Augustus, yang berusia 19 tahun, memegang kendali atas apa yang tersisa dari delapan legiun Romawi. Namun, ia dipanggil kembali ke Roma, dan pasukannya yang tersisa diberikan kepada komandan lain.

Dia akan berhasil menjadi pemimpin militer di kemudian hari, dan akhirnya menjadi kaisar pertama dari Kekaisaran Romawi. Dia meninggal pada 14 M di usia 75 tahun.

5. Scipio Africanus

allpainter.com
allpainter.com

Scipio adalah seorang jenderal selama Perang Punisia Kedua, dan terkenal karena menjadi komandan pasukan Romawi yang mengalahkan Hannibal pada Pertempuran Zama. Ayahnya, Publius Cornelius Scipio, juga seorang jenderal Romawi. 

Scipio diyakini telah masuk ke dalam medan perang bersama ayahnya pada usia sekitar 16 tahun. Dia menjadi komandan pada usia 18 tahun, dan mendapatkan sejumlah ketenaran di Pertempuran Ticinus pada 218 SM, ketika dia memimpin serangan bunuh diri terhadap pasukan musuh yang telah mengelilingi ayahnya.

Sejarawan Yunani, Polybius, mencatat keberaniannya yang luar biasa dan nekat dalam pertempuran di usia yang sangat muda. Meski begitu, pasukan ayahnya tidak pernah beruntung di medan perang dan terus mengalami kekalahan. 

Pengalaman ini sangat berperan dalam perkembangannya sebagai pemimpin. Begitu ia dipromosikan menjadi jenderal dan diberi pasukan sendiri pada usia 25 tahun, ia tidak pernah mendapat kekalahan lagi.

Setelah kekalahannya — yang sementara — atas Hannibal, orang-orang Romawi meminta Scipio agar menjadi diktator mereka. Namun ia tidak ingin terlibat dalam politik Romawi dan menolak tawaran itu. Dia terus memimpin pasukan Romawi sampai pensiun pada tahun 187 SM.

Dia meninggal empat tahun kemudian pada usia 53 tahun dan dianggap sebagai salah satu jenderal terhebat dalam sejarah dunia.

6. Muhammad bin Qasim

flickr.com
flickr.com

Muhammad bin Qasim adalah seorang jenderal yang memperjuangkan Kekhalifahan Umayyah. Dia adalah anggota suku Thaqeef, mempelajari seni kepemimpinan dan perang dari pamannya, yang menjadi gubernur Umayyah pada saat itu.

Setelah membuktikan dirinya di medan perang pada usia yang sangat muda, ia diberi komando pasukan saat usianya baru menginjak 17 tahun. Dengan pasukan inilah dia memulai penaklukan daerah Singh dan Punjab di sepanjang Sungai Indus, Pakistan.

Kampanyenya adalah upaya yang ketiga untuk menaklukkan wilayah itu, di mana dua yang pertama adalah kegagalan besar. Namun, di saat orang lain gagal, Qasim berhasil meraih kesuksesan yang luar biasa.

Bersama pasukannya, ia mengambil kota demi kota. Berita kemenangannya memberinya banyak sekutu, dan pasukannya yang terdiri dari 6.000 dengan cepat bertambah menjadi sekitar 25.000 orang.

Dia dikenal sebagai pemimpin militer yang kejam, bahkan di usia yang begitu muda. Dia akan membunuh para pejuang dan memenjarakan keluarga mereka, tetapi menunjukkan belas kasihan kepada mereka yang menyerah dan menolak untuk berperang.

Setelah penaklukannya, ia mendirikan pemerintahan yang sukses di wilayah tersebut. Dia sedang mempersiapkan tentaranya untuk penaklukan lain ketika ada perubahan dalam kepemimpinan Umayyah.

Khalifah baru memanggil para jenderal, dan menunjuk seorang gubernur baru yang menyimpan dendam terhadap Qasim. Qasim pun ditangkap dan mati muda. Usianya saat itu tidak lebih dari 20 tahun.

7. St. Joan of Arc

longreads.com
longreads.com

Walau memiliki banyak kekurangan dalam kecakapan militer, Joan mampu memimpin pasukan pada masa ketika perempuan sama sekali tidak bisa bertempur di medan perang. Joan lahir di Domremy, Prancis, pada tahun 1412.

Pada usia 16 tahun, ia mampu membuat prediksi yang luar biasa tentang serangan balik yang akan terjadi di dekat Orleans. Terkesan, Raja Charles VII mengabulkan permintaannya untuk bepergian dengan tentara dan berpakaian sebagai ksatria.

Untuk menguji validitas klaimnya bahwa misinya memiliki sifat ilahiah, dia dikirim langsung untuk melakukan pengepungan di kota Orleans. Saat tiba pada April 1429, ia masih berusia 17 tahun.

Pada 7 Mei 1429, dia mengabaikan keputusan untuk menunggu penguatan pasukan dan memimpin serangan terhadap benteng utama Inggris, Les Tourelles. Meskipun terluka, ia berhasil memberikan kemenangan untuk pasukan Prancis.

Dengan kemenangan itu, Joan dipandang sebagai pahlawan. Dia mengajukan petisi untuk dan menerima komando pasukan Prancis dan mulai menyerang dan merebut kembali beberapa kota kecil Prancis dan jembatan utama.

Saat berusia 18 tahun, Joan melakukan perjalanan ke Compiegne untuk mempertahankan kota tersebut, namun ia dikepung dan berhasil ditangkap oleh pasukan Burgundi. Setelahnya, Joan diadili atas tuduhan bidah dan dibakar di tiang pancang saat berusia 19 tahun.

Saksi mata melaporkan bahwa dia tidak menunjukkan rasa takut saat eksekusinya. Pada 16 Mei 1920, Joan dikanonisasi sebagai orang suci di Gereja Katolik oleh Paus Benediktus XV, dan sejak saat itu menjadi salah satu pemimpin militer paling populer dalam sejarah Eropa.

8. Alexander Agung

biography.com
biography.com

Alexander lahir pada tahun 356 SM sebagai putra dari raja Makedonia, Philip II. Ketika dia berusia 13 tahun, dia dikirim ke Mieza untuk berguru dengan Aristoteles. Ketika dia berusia 16 tahun, Alexander kembali ke Makedonia untuk memerintah sebagai bupati saat ayahnya berperang melawan Bizantium.

Pada masa inilah, Alexander melakukan aksi militer pertamanya, dengan memimpin pasukan kecil melawan Thracian Maedi yang memberontak kepada takhta. Ketika berusia 17 tahun, ayahnya mengirimnya untuk menekan pemberontakan di Thrace selatan.

Pada bulan Oktober 336 SM, Philip dibunuh oleh kapten penjaga pribadinya. Para bangsawan dan tentara Makedonia mendukung Alexander sebagai raja yang sah saat usianya genap 20 tahun.

Dia memulai pemerintahannya dengan cukup kejam, dengan melenyapkan saingan potensial dari singgasananya. Ketika berita kematian Philip menyebar ke negara-kota Yunani, mereka pun bangkit untuk memberontak. Alexander, dengan 3.000 kavaleri Makedonianya, berhasil menjatuhkan mereka dengan cepat.

Pada usia 21 tahun, ia mempersiapkan kampanye pertamanya ke benua Asia. Dia dua kali kalah jumlah pasukan, setidaknya 2:1, saat melawan Kekaisaran Persia (Pertempuran Issus dan Gaugamela) namun berhasil memenangkan keduanya.

Pada saat kematiannya di usia 32 tahun, Alexander telah menaklukkan sebagian besar wilayah dunia kuno. Banyak sejarawan modern yang menganggapnya sebagai komandan militer terhebat sepanjang masa.

Nah, itu tadi 8 tokoh yang telah menjadi pemimpin militer di usia belia. Mereka mampu mencatatkan banyak prestasi di usia belia, dan berhasil mengukir nama mereka dalam catatan sejarah selama berabad-abad setelahnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Shandy Pradana
EditorShandy Pradana
Follow Us