Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apakah Salju Abadi di Puncak Jaya bisa Pulih seperti Semula?

potret indah dari Puncak Carstenzs di Pegunungan Jayawijaya
potret indah dari Puncak Carstenzs di Pegunungan Jayawijaya (commons.wikimedia.org/Enda Kaban)
Intinya sih...
  • Salju di Puncak Jaya terbentuk sejak periode LGM karena suhu global waktu itu jauh lebih dingin dan ketinggian puncaknya memungkinkan akumulasi es.
  • Salju di Puncak Jaya menyusut karena kombinasi pemanasan global, sensitivitas gletser tropis, dan fenomena El Niño.
  • Salju abadi Puncak Jaya hampir pasti tidak akan kembali dalam waktu dekat dan baru mungkin terbentuk lagi setelah ratusan hingga ribuan tahun jika suhu Bumi turun signifikan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Letak Indonesia yang berada di wilayah tropis yang sangat dekat dengan garis khatulistiwa membuat negara kita hampir mustahil dijatuhi salju. Sebab, letak geografis tersebut “memaksa” Indonesia untuk mengalami dua musim saja, yakni kemarau dan hujan. Namun, bukan alam Indonesia namanya kalau tidak menyuguhkan keajaiban yang memukau mata. Sebab, kita masih bisa menemukan bongkahan salju di negara kita, tepatnya di Pegunungan Jayawijaya, Papua.

Lebih spesifiknya, salju tersebut berada di Puncak Jaya atau Puncak Carstensz, Papua Tengah, dengan ketinggian sekitar 4.884 mdpl (meter di atas permukaan laut). Keberadaan salju di sana membuat Puncak Jaya mendapat julukan sebagai “salju abadi” di Indonesia karena eksistensinya yang sudah mencapai ribuan tahun tanpa pernah hilang sepenuhnya. Saking tersohornya fenomena salju di dataran tropis tersebut, Puncak Jaya jadi salah satu Seven Summit di Indonesia yang sangat populer di kalangan wisatawan dan pendaki gunung nasional maupun internasional.

Sayangnya, sekarang kita harus dihadapkan dengan kenyataan pelik terkait keberadaan salju abadi di Indonesia ini. Soalnya, sudah banyak ilmuwan yang mengonfirmasi kalau salju di Puncak Jaya akan hilang total pada 2026 mendatang. Berdasarkan rilis resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sejak 2016 saja, salju di Puncak Jaya secara rutin terus menipis sekitar 2,5 meter per tahun. Sebenarnya, penyusutan salju di sana bukan terjadi baru-baru ini, tapi sudah berlangsung secara perlahan dalam kurun waktu 2 abad terakhir.

Bayangkan saja, pada 1850, salju di Puncak Jaya masih terhampar seluas 19,3 km persegi. Akan tetapi, berdasarkan pengukuran terakhir yang dilakukan BMKG pada November 2024 silam, jumlahnya hanya tersisa 0,11—0,16 km persegi. Dengan sisa yang tak seberapa itu, wajar kalau para ilmuwan memvonis kalau salju abadi di Indonesia ini akan hilang sepenuhnya tahun depan.

Pastinya, ada banyak pertanyaan yang harus dijawab terkait hal ini, misalnya soal kenapa sejak awal ada salju yang muncul di daerah tropis seperti Indonesia? Kenapa salju di Puncak Jaya menyusut secara perlahan? Lalu, apakah ada potensi kembalinya si salju abadi ini pada masa yang akan datang? Yuk, kita ulas tiga pertanyaan tersebut lebih lanjut!

1. Kenapa bisa ada salju di Pegunungan Jayawijaya?

kondisi es di Puncak Jaya pada 1936
kondisi es di Puncak Jaya pada 1936 (commons.wikimedia.org/MONGO)

Sejak awal, keberadaan salju di Pegunungan Jayawijaya atau tepatnya Puncak Jaya itu sudah menimbulkan pertanyaan sendiri. Soalnya, salju itu identik dengan daerah subtropis atau dingin dan hampir pasti langsung mencair saat dibawa ke daerah tropis seperti Indonesia. Jawaban atas pertanyaan itu ternyata berkaitan dengan proses panjang yang memakan waktu puluhan ribu tahun.

Dilansir NASA, salju di Puncak Jaya itu sebenarnya tergolong gletser tropis yang berasal dari akumulasi air hujan yang berubah jadi kristal. Syarat yang harus dipenuhi agar jenis gletser ini dapat terbentuk ialah ketinggian yang sesuai, temperatur di bawah atau sekitar titik beku, dan tempatnya yang sangat terisolasi. Ada beberapa gunung tinggi di sepanjang daerah tropis yang memenuhi kriteria tersebut, termasuk Pegunungan Jayawijaya.

Mengutip jurnal EGUsphere karya David Ibel, dkk. yang berjudul “Brief communication: Tropical glaciers on Puncak Jaya (Irian Jaya/West Papua, Indonesia) close to extinction”, akumulasi gletser di Puncak Jaya sudah terjadi sejak periode Last Glacial Maximum (LGM). LGM sendiri terjadi setelah zaman es terakhir sudah usai sekitar 26—19 ribu tahun yang lalu. Akibat dari periode ini, muka air laut di seluruh dunia turun sekitar 120 meter dan lapisan es menutupi sekitar 8 persen permukaan Bumi.

Akibatnya, iklim di seluruh dunia berubah jadi lebih dingin, termasuk di daerah-daerah tropis sekitar 3—6 derajat celsius. Kalau melihat ketinggian Puncak Jaya yang sekitar 4.884 mdpl, kondisi saat periode LGM itu sangat sempurna untuk memicu akumulasi salju di puncaknya. Itu sebabnya, saat periode LGM berakhir, diperkirakan kalau Pegunungan Jayawijaya secara keseluruhan ditutupi salju atau gletser dengan radius 2 ribu—2.200 km persegi.

2. Penyebab menyusutnya salju di Puncak Jaya

potret es di puncak jaya pada 1972 yang sudah sangat menyusut
potret es di puncak jaya pada 1972 yang sudah sangat menyusut (commons.wikimedia.org/U.S. Geological Survey, U.S. Department of the Interior)

Secara alami, gletser atau salju yang muncul di zona tropis memang terus mengalami penyusutan pascaperiode LGM. Beberapa gunung di wilayah tropis yang memiliki salju saat LGM, misalnya, mulai menyusut saat periode Holosen atau zaman es terakhir sekitar 11 ribu tahun yang lalu. ABC melansir kalau hal tersebut sebenarnya wajar karena sedari awal salju yang terakumulasi di sana sangat sensitif pada perubahan iklim.

Alhasil, sekalipun curah hujan tetap stabil di wilayah tropis, kalau temperatur di sekitar tidak mendekati titik beku, air hujan tidak akan berubah menjadi es. Kondisi inilah yang terus terjadi pada Puncak Jaya dan semakin parah sejak 1850. Sebab, ada faktor pendorong lain yang mempercepat proses penyusutan salju di sana yang ada kaitannya dengan manusia.

Sejak Revolusi Industri berlangsung, manusia secara konstan melemparkan gas rumah kaca ke atmosfer dalam jumlah besar. Akibatnya, temperatur Bumi secara global sudah meningkat sekitar 1,35 derajat celsius sejak akhir abad ke-19, dilansir NASA. Selain perubahan iklim, masalah lain dari mencairnya salju di Puncak Jaya disebabkan fenomena El Niño.

Atas dasar tersebut, BMKG melaporkan kalau salju abadi Puncak Jaya bisa dipastikan sudah tak bisa diselamatkan lagi. Upaya monitoring dan dokumentasi terus dilakukan jelang menghilangnya salah satu ikon unik negara kita. Selain itu, dorongan untuk menumbuhkan kesadaran menjaga lingkungan supaya kita tidak kehilangan hal-hal penting lain juga terus diupayakan. Hal ini jadi penting karena kesadaran pada lingkungan itu menjadi kewajiban kolektif seluruh umat manusia, bukan hanya individu atau organisasi tertentu saja.

3. Apakah salju yang hilang pada 2026 nanti bisa kembali?

Puncak Jaya sudah kehilangan sebagian besar saljunya.
Puncak Jaya sudah kehilangan sebagian besar saljunya.(commons.wikimedia.org/Alfindra Primaldhi)

Sayangnya, kita sudah tidak dapat menghindari hilangnya salju abadi di Puncak Jaya. Suka tak suka, hamparan putih nan indah itu akan hilang hanya dalam hitungan tahun atau bahkan bulan. Namun, pasti ada satu hal lain yang membuat kita penasaran. Apakah mungkin salju di Puncak Jaya atau Pegunungan Jayawijaya bisa kembali lagi suatu saat nanti?

Kalau kita berharap salju tersebut kembali dalam waktu dekat, sayangnya jawabannya adalah mustahil. Mengingat suhu permukaan Bumi yang masih terus meningkat, air di sekitar Pegunungan Jayawijaya mustahil mencapai titik beku dan terakumulasi kembali. Namun, kalau kita berbicara jangka panjang, kemungkinan itu tetap ada meski butuh waktu yang amat panjang.

Berdasarkan simulasi yang dilakukan tim Universitas Bristol, Universitas Innsbruck, dan International Institute for Applied System Analysis (IIASA), ditemukan hal mengejutkan kalau sekalipun manusia mampu mengembalikan suhu permukaan Bumi sekitar 1,5—3 derajat celsius, masih butuh waktu sampai ratusan atau ribuan tahun sebelum gletser bisa terbentuk lagi. Namun, bukan berarti jalan menuju tumbuhnya gletser tropis itu bisa berjalan dengan mulus. Paling cepat, gletser-gletser kecil yang ada di wilayah tropis baru mulai muncul sekitar 2500. Upaya mengurangi emisi pun harus besar-besaran dan dimulai dari sekarang.

Simulasi itu menunjukkan betapa destruktifnya perubahan iklim yang terjadi saat ini yang pastinya tak hanya memengaruhi gletser tropis, tapi juga Bumi secara keseluruhan. Ini jelas jadi konsekuensi yang harus kita tanggung akibat eksploitasi sumber daya secara besar-besaran tanpa memperhatikan dampak masa depan. Jangan kira kenaikan suhu 1—2 derajat celsius itu remeh. Sebab, sekecil apa pun perbedaan suhu di permukaan Bumi, pasti ada begitu banyak makhluk yang akan terpengaruh secara langsung maupun tak langsung.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha ‎
EditorYudha ‎
Follow Us

Latest in Science

See More

Macam-Macam Alat Ukur pada Besaran Pokok dan Turunan, Simak!

23 Nov 2025, 07:05 WIBScience