Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apakah Memakai Outfit Sama Setiap Hari Bisa Membantumu Sukses?

ilustrasi kegiatan memilih pakaian (pexels.com/Ron Lach)
ilustrasi kegiatan memilih pakaian (pexels.com/Ron Lach)

Beberapa tokoh publik yang sangat berpengaruh seperti Mark Zuckerberg atau mendiang Steve Job, memiliki gaya berpakaian yang terkenal unik. Mereka memilih mengenakan pakaian yang identik sama setiap hari demi alasan kepraktisan. 

Gaya berbusana itu dikaitkan dengan rahasia kesuksesan mereka karena konon, ada alasan psikologis yang menyatakan kalau semakin sedikit keputusan yang dibuat untuk tugas-tugas mendasar (memilih makanan atau pakaian), maka semakin banyak kekuatan otak yang dimiliki agar bisa membuat keputusan yang lebih penting. 

Lalu apakah klaim tersebut benar terbukti menurut pandangan ilmiah? Apakah memotong keputusan sederhana tentang gaya berpakaian berdampak signifikan terhadap keseluruhan cadangan otak kamu selama seharian?

Mari kita explore bersama melalui konsep decision fatigue berikut. 

Mengenal decision fatigue

Ilustrasi mengambil keputusan/(pexels.com)
Ilustrasi mengambil keputusan/(pexels.com)

Decision fatigue (kelelahan mengambil keputusan) atau lebih tepatnya disebut cognitive fatigue (kelelahan kognitif) adalah fenomena psikologis yang telah dikenal secara luas. 

Diagnosis decision fatigue pertama kali ditemukan pada orang yang memiliki defisit kognitif karena kondisi neurologis, trauma, gangguan perkembangan, atau cedera otak.

Para psikolog menemukan bahwa orang yang mengalami decision fatigue seringkali lebih mudah cepat lelah daripada orang biasa, ketika dihadapkan pada keputusan sehari-hari. 

Namun, orang normal pada umumnya tidak menderita defisit kognitif tersebut. Pikiran yang sehat memiliki kemampuan untuk membuat ribuan keputusan dalam sehari dengan energi yang sedikit. 

Misalnya, rata-rata orang membuat sekitar 180 keputusan per menit saat mengemudi kendaraan. 

Kalau kamu sehat secara kognitif, mengurangi 1 atau bahkan 10 keputusan harian tidak akan berdampak pada tingkat energimu secara keseluruhan. Termasuk juga tidak memengaruhi kemampuan kamu untuk membuat keputusan baik di masa depan. 

Pandangan tentang decision fatigue dan gaya pakaian monoton

ilustrasi wanita sedang memilih pakaian (pexels.com/@olly)
ilustrasi wanita sedang memilih pakaian (pexels.com/@olly)

Salah satu orang yang mendukung gagasan kaitan decision fatigue terhadap fashion style adalah Vincent Carlos, penulis dan influencer di media sosial LinkedIn, yang menyatakan:

"Setiap keputusan yang kamu buat sesungguhnya menghabiskan energi mental kamu. Tindakah sesederhana memikirkan apakah kamu harus memilih A atau B akan membuatmu lelah dan mengurangi kekuatan otak kamu. Artinya, semakin banyak keputusan yang harus kamu buat sepanjang hari, semakin lemah proses pengambilan keputusan itu." 

Ide yang ditulis Vincent itu merujuk isi buku "Willpower" karya John Terney, yang lebih dulu mempropulerkan konsep decision fatigue. 

Dalam kesempatan berbeda, Presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama, juga pernah menyinggung  kaitan antara efisiensi pengambilan keputusan dan gaya berbusana monotonnya.

"Anda akan melihat saya hanya mengenakan jas warna abu-abu atau biru. Saya mencoba mengurangi keputusan. Saya tidak ingin membuat keputusan tentang apa yang saya makan atau kenakan. Karena saya memiliki terlalu banyak keputusan lain untuk dibuat. Anda perlu memfokuskan energi pengambilan keputusan Anda. Anda butuh membiasakan rutinitas itu sendiri. Anda tidak boleh melewati hari dengan terganggu oleh hal-hal sepele,” kata Presiden Obama dalam wawancaranya dengan Michael Lewis untuk Vanity Fair.

Menurut John Terney, energi yang terserap ketika membuat keputusan yang berturut-turut adalah konsekuensi biologis tubuh manusia. Tidak peduli seberapa rasional seseorang, kelelahan energi mental pada akhirnya akan dirasakan saat dihadapkan pada desakan pengambilan keputusan.

Ini yang disebut oleh John sebagai penyebab mengapa orang yang biasanya berakal sehat  bisa marah pada rekan kerja atau keluarganya, atau membuat keputusan impulsif untuk berbelanja pakaian secara royal, dan bahkan tidak bisa menolak tawaran yang tidak mendesak.

Benarkah memilih pakaian sehari-hari itu melelahkan?

ilustrasi decluttering pakaian (pexels.com/cottonbro)
ilustrasi decluttering pakaian (pexels.com/cottonbro)

Decision fatigue biasanya melanda orang yang dihadapkan dengan berbagai keputusan di mana tersedia pilihan yang tak ada habisnya. 

Misalnya orang yang ingin membeli mobil baru, merencanakan perayaan pernikahan, atau berbelanja pakaian baru yang cocok, kebanyakan orang tidak menyadari semua pilihan yang harus dibuat sebelum mengalami momen itu saat tiba. 

Dilansir Psych Central, itu diperkirakan sebagai efek kumulatif, di mana semakin lama kamu berada dalam proses mempertimbangkan keputusan, semakin upayanya terasa melelahkan. 

Namun, ketika harus memilih pakaian untuk dipakai di hari tertentu, itu tidak sama dengan kelelahan pengambilan keputusan yang dipelajari dalam penelitian. Lagi pula, kita sudah menentukan isi lemari pakaian kita sendiri, bukan?

Hal ini berarti bahwa pilihan busana yang akan dipakai memiliki batas, dan itu membuatnya berbeda dengan jenis keputusan yang dihadapi oleh orang yang mengalami decision fatigue, dalam banyak eksperimen psikologis pada fenomena tersebut. 

Kalau ingin memangkas waktu dalam memilih pakaian, mulailah dengan merampingkan isi lemari dan singkirkan barang-barang yang sudah tak terpakai selama lebih dari dua tahun. 

Proses decluttering itu bukan berarti akan membuatmu mengenakan jenis outfit yang sama setiap hari, hanya saja kamu perlu menyesuaikan jumlah pilihan dengan kebutuhan saat ini. Sehingga memilih pakaian tidak akan terasa melelahkan dan menguras pikiran. 

Decision fatigue harusnya tidak menjadi alasan untuk tak membuat keputusan harian

ilustrasi orang sukses (pexels.com/fauxels)
ilustrasi orang sukses (pexels.com/fauxels)

Jika decision fatigue disalahpahami sebagai alasan menghindari membuat keputusan, maka itu bisa membenarkan kapan pun saat kamu tidak ingin memutuskan sesuatu. 

Memang terkesan mudah untuk menunjuk beberapa orang sukses yang menerapkan gaya berpakaian senda setiap hari. Namun, bukti anekdotal semacam itu tidak dapat bertahan lama menurut pandangan sains. 

Sebuah survei sederhana terhadap para CEO dan eksekutif lain dari perusuhan Fortune 500, menunjukkan bahwa sebagian besar orang sukses tersebut tidak mengenakan pakaian yang sama persis setiap hari. Kecuali jika standar kesamaannya adalah jas dan dasi. 

Kebalikan dari hal di atas juga benar, di mana banyak orang yang belum sukses mengenakan pakaian yang sama setiap hari dengan memperoleh sedikit efek positif. 

Kita harus mengingat bahwa pakaian saja tidak akan membuat sukses atau berkontribusi dengan cara yang berarti bagi kesuksesan. 

Justru, menurut Dr. John Grohol dalam ulasannya di laman Psych Central, memilih untuk tidak membuat keputusan sederhana tentang pakaian atau makanan menunjukkan kemalasan kognitif.

Alih-alih membangun cadangan kognitif, itu bisa disalahgunakan sebagai alasan menghindari pengambilan keputusan. 

Bukan kesamaan yang menentukan kesuksesan, tetapi rutinitas dan kebiasaan

ilustrasi memilih pakaian (Pexels.com/ Ron Lach)
ilustrasi memilih pakaian (Pexels.com/ Ron Lach)

Orang-orang sudah lama sadar akan pentingnya memiliki rutinitas dan kebiasaan sehat dalam hidup. Melakukan rutinitas pagi yang sama setiap hari membuat kita terbiasa, dan memberi sinyal ke otak kita, "Ini waktunya bangun", "Ini waktunya bekerja", dll. 

Namun, mempercayai bahwa "kesamaan" akan membawa sebuah kesuksesan adalah tujuan yang hampa.

Ini ibarat orang yang mengejar kebahagiaan sebagai tujuan akhir dalam hidup, alih-alih memahami kalau kebahagiaan datang dengan mengajar hal yang membuat orang menjadi dirinya sendiri. 

Sebagaimana analogi yang mengatakan seekor capung akan mendarat di tanganmu kalau kamu tidak mengejarnya. Dengan cara yang sama, kebahagiaan datang bukan sebagai hasil dari pengejaran, melainkan sebagai buah dari menjalani dan mengalami hidup secara sepenuhnya. 

Membenarkan "kesamaan" dengan pseudosains tentang decision fatigue, membuat data ilmiah menjadi bagian-bagian komponen yang tidak masuk akal. Kebenaran sains adalah tentang bagaimana kemauan bekerja berhubungan dengan penipisan energi kognitif selama sehari. 

Itu bukan tentang menghapus keputusan harian (memilih pakaian) yang hampir tidak berdampak pada kemampuan atau cadangan kognitif kita.  

Jadi, decision fatigue (cognitive fatigue) adalah istilah yang lebih tepat digunakan pada orang yang mengalami penurunan kemampuan otak akibat trauma atau kondisi bawaan. 

Konsep itu tidak bisa diaplikasikan begitu saja pada gaya berpakaian monoton yang selama ini dikaitkan dengan rahasia sukses orang-orang besar.

Dari apa yang disampaikan oleh pakar kesehatan, memangkas keputusan hal-hal dasar tidak berpengaruh signifikan pada kesuksesan karena kemampuan kognitif manusia normal melampaui itu. 

Penulis: Dian Rahma Fika Alnina

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Achmad Fatkhur Rozi
Bunga Semesta Int
Achmad Fatkhur Rozi
EditorAchmad Fatkhur Rozi
Follow Us