1 Tahun Prabowo, MBG Perlukah Direm Dulu?
- Perencanaan dan pengawasan program MBG kurang memadai.
- Target penerima MBG 82 juta dengan anggaran Rp335 triliun terlalu ambisius.
- Peran sekolah, posyandu, dan puskesmas penting dalam kesuksesan program MBG.
- Perencanaan dan pengawasan program MBG kurang memadai.
- Target penerima MBG 82 juta terlalu ambisius.
- Peran sekolah, posyandu, dan puskesmas penting untuk suksesnya program MBG.
Jakarta, IDN Times - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang merupakan janji kampanye Presiden Prabowo Subianto masih menjadi kontroversi di masyarakat. Di satu tahun pemerintahan Prabowo, masalah terkait MBG datang tak berhenti.
Mulai dari kasus keracunan yang menelan ratusan ribu korban, anggota DPR dan DPRD punya dapur MBG, olahan hiu di dalam menu MBG, isu food tray mengandung minyak babi, hingga anggarannya yang direncakan terus mendapat suntikan.
Kemarahan publik meningkat saat kasus keracunan tak ditangani secara cepat. Desakan penghentian program MBG pun terus mencuat.
Menurut Head of Center Digital Economy and SMEs Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Izzudin Al Farras, penghentian sementara program itu harus segera dilakukan.
"Jadi, pemerintah harus menghentikan sementara program MBG untuk merancang desain kebijakan yang matang dan bertahap, baik bertahap secara waktu implementasi maupun secara cakupan wilayah penerima manfaat program MBG," ujar Farras saat dihubungi IDN Times, Kamis (16/10/2025).
1. Perencanaan dan pengawasan tak memadai

Farras menilai, permasalahan utama MBG adalah kurangnya persiapan dalam hal perencanaan, dan pengawasan.
"Permasalahan utama terletak pada ketiadaan perencanaan dan pengawasan yang memadai untuk melaksanakan sebuah program secara nasional yang melibatkan banyak pihak dan berdampak pada banyak aspek kehidupan masyarakat," kata Farras.
Hingga saat ini, Peraturan Presiden (Perpres) pengawasan program MBG pun belum kunjung terbit. Padahal, dalam Perpres itu, setiap kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (Pemda) akan punya peran dalam pengawasan MBG.
Pada Jumat, (10/10/2025) lalu, Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi mengatakan Perpres tata kelola MBG belum terbit karena masih meminta masukan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Dalam kesempatan itu, Prasetyo meminta semua pihak untuk bersabar. Sebab, pembuatan perpres tata kelola MBG masih dalam proses.
"Jadi, tunggu, sabar juga sebentar," kata Prasetyo.
Pada Senin, (6/10/2025) lalu, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana mengatakan Perpres tata kelola MBG dibuat untuk melibatkan instansi K/L dalam program MBG.
"Dalam regulasi itu, diatur peran, fungsi, dan tugas masing-masing instansi, mulai dari kementerian hingga pemerintah daerah, agar program dapat berjalan secara terpadu," ucap Dadan.
Minimnya sinergi antara BGN dengan lembaga lain untuk menyukseskan MBG sudah disuarakan sejumlah pihak. Misalnya dari Pemerintah Kota (Pemkot) Magelang, Jawa Tengah dan Aceh Utara.
Selain Perpres, diperlukan urunan tangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menghubungkan BGN dengan pemda, terutama pemerintah daerah kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
2. Target penerima MBG 82 juta terlalu ambisius

Prabowo sendiri menargetkan MBG bisa menjangkau 82,9 juta Warga Negara Indonesia (WNI) tahun ini, yang mencakup anak sekolah maupun ibu hamil. Per hari ini, jumlah penerima MBG sebanyak 35,6 juta orang, atau 42,9 persen dari target.
Seriring dengan penambahan target penerima manfaat, BGN pun meminta tambahan anggaran Rp28 triliun tahun ini, dari anggaran sebelumnya yang sebesar Rp71 triliun. Dengan demikian, total anggaran MBG tahun ini mencapai Rp99 triliun. Kemudian tahun depan, pemerintah direncanakan menggelontorkan total anggaran sebesar Rp335 triliun untuk MBG.
Farras mengusulkan agar target MBG tidak terlalu ambisius, dan dilaksanakan secara bertahap.
"Program MBG tidak bisa dilaksanakan secara langsung menjangkau 82 juta penerima manfaat di seluruh Indonesia hanya dalam waktu 1-2 tahun. Karena bervariasinya kapasitas institusi, SDM, dan geografis yang sangat kompleks," ucap Farras.
Indef merekomendasikan agar target 82,9 juta itu tak dikejar secara terburu-buru, dan dijadikan sebagai target 5 tahun.
"Kami merekomendasikan agar pemerintah membuat program MBG secara bertahap agar 82 juta penerima manfaat akan dicapai dalam jangka waktu 5 tahun atau pada tahun 2029 mendatang," ucap dia.
Menurut Indef, pemerintah sebaiknya fokus pada penyaluran MBG ke daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi dan prevalensi stunting tinggi, ketimbang hanya mengejar jumlah penerima.
"Dengan kedua kriteria tersebut, pemerintah harusnya mengutamakan 5 provinsi, yakni: Aceh, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya," tutur Farras.
3. Peran sekolah tak boleh dilupakan

Indef juga menekankan agar BGN melibatkan komite sekolah, posyandu, hingga puskesmas untuk menyukseskan MBG. Hal ini akan membantu dalam hal memastikan pasokan bahan pangan untuk MBG bisa berasal dari pangan lokal.
"PKK, dan kader lainnya pada pelaksanaan MBG di puskesmas, serta integrasi program MBG dan Koperasi Merah Putih agar penyediaan makanan dan minuma bisa bersumber dari bahan pangan lokal di daerahnya masing-masing," tutur Farras.
Menurut Indef, langkah-langkah di atas akan sangat menentukan keberhasilan MBG.
"Dengan adanya berbagai perbaikan tersebut, tujuan dan niat mulia program MBG dapat tercapai untuk menjadikan SDM unggul pada Indonesia Emas 2045," kata Farras.