Aktivitas Pabrik di China Merosot Tajam pada April 2025

Jakarta, IDN Times – Indeks manajer pembelian (PMI) resmi China turun menjadi 49,0, level terendah sejak Mei 2023. Penurunan ini menandai kontraksi pertama sejak Januari, mematahkan tren ekspansi di Maret 2025. Data ini dirilis Biro Statistik Nasional China pada Rabu (30/4/2025).
Angka itu meleset dari proyeksi analis yang memperkirakan PMI berada di 49,8 menurut survei Reuters. Penurunan tajam terjadi setelah ekspor China melonjak bulan lalu, menyusul upaya menghindari tarif baru dari Amerika Serikat (AS). Kini, tekanan eksternal akibat perang dagang memicu gejolak baru di sektor manufaktur.
“Kontraksi ini disebabkan perubahan tajam di lingkungan eksternal dan faktor lainnya,” kata Zhao Qinghe dari Biro Statistik Nasional, dikutip dari CNN Internasional, Rabu (30/4/2025).
1. Permintaan, produksi, dan ekspor China ikut melemah drastis

Subindeks produksi dan pesanan baru masing-masing jatuh ke 49,8 dan 49,2, mengindikasikan lemahnya permintaan. Sementara itu, harga bahan baku dan harga output ikut turun menjadi 47,0 dan 44,8. Tekanan ini menandakan hilangnya momentum pemulihan industri sejak awal tahun.
Pesanan ekspor baru anjlok ke 44,7, level terendah sejak akhir 2022 saat pandemik masih berlangsung. Lapangan kerja juga merosot di hampir semua sektor, kecuali jasa yang naik tipis namun masih berada di zona kontraksi dengan indeks 46,8. Sektor non-manufaktur pun tak luput, dengan PMI jasa dan konstruksi melemah ke 50,4.
Di sisi swasta, PMI Caixin/S&P Global juga melambat ke 50,4 dari 51,2 bulan sebelumnya. Meski tetap berada di atas ambang ekspansi, perlambatan ini mencerminkan tekanan yang meluas, bahkan dalam survei non-pemerintah.
2. Tarif Trump picu kekacauan dagang dan ancaman ke PDB China

Presiden AS Donald Trump telah menjatuhkan tarif tambahan sebesar 145 persen terhadap barang China, sebagian besar mulai berlaku April ini. Jumlah itu membuat tarif kumulatif atas beberapa produk melonjak hingga 245 persen. Sebagai balasan, China memberlakukan tarif balasan sebesar 125 persen dan menyebut tindakan AS sebagai “permainan angka yang tak berarti.”
Ekonom Morgan Stanley, Chetan Ahya, menyebut arus perdagangan China-AS telah “terganggu parah.” Ia mencatat penurunan tajam kapal kontainer dari China ke AS dalam beberapa minggu terakhir. Akibatnya, ekspor tahunan China ke AS mengalami kontraksi signifikan.
Nomura, grub jasa keuangan yang berpusat di Jepang, memperkirakan 2,2 persen PDB China langsung terdampak oleh tarif tersebut. Selain itu, sekitar 9 juta pekerjaan manufaktur berada dalam risiko. Para pemimpin China telah berjanji akan memberikan bantuan fiskal dan moneter untuk sektor-sektor yang paling terpukul.
3. China gencarkan stimulus terbatas, tapi belum sepenuhnya agresif

Wakil Ketua Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional, Zhao Chenxin, mengatakan China memiliki “cadangan kebijakan yang cukup.” Pemerintah disebut akan mempercepat pelaksanaan kebijakan ekonomi yang telah disusun. Namun, Beijing sejauh ini hanya menggelontorkan stimulus secara terbatas dan masih enggan meluncurkan dukungan berskala nasional.
Langkah yang telah diambil termasuk pelonggaran akses kredit untuk perusahaan kecil dan insentif konsumsi. China juga memberikan pembebasan tarif untuk beberapa barang AS seperti farmasi, peralatan antariksa, semikonduktor, dan etana. Di sisi lain, Trump juga menandatangani perintah eksekutif untuk membebaskan tarif tambahan atas mobil asing dan produk elektronik.
“Dampak kompensasi tarif mungkin akan membutuhkan stimulus dua kali lipat tahun ini,” kata Dan Wang, Direktur China di Eurasia Group, dikutip dari CNBC Internasional, Rabu (30/4/2025).
Ia memperkirakan ekspor China ke AS akan merosot hingga setengahnya akibat perang dagang yang belum mereda.