Atasi Utang hingga Underground Economy, Ini 4 PR buat Menkeu Purbaya

- Refocusing anggaran dan disiplin fiskal untuk APBN 2026
- Perbaikan manajemen utang negara terkait tingginya saldo anggaran lebih (SAL)
- Pemberantasan underground economy untuk meningkatkan penerimaan pajak
Jakarta, IDN Times - Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menyampaikan empat pekerjaan rumah (PR) yang harus segera dikerjakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk menjaga kredibilitas dan stabilitas ekonomi Indonesia.
Pertama, dia menekankan agar Purbaya berhati-hati mengeluarkan pernyataan. Menurutnya, setiap ucapan seorang Menkeu akan dicatat oleh investor dan bisa dianggap sebagai separuh kebijakan.
"Menteri Keuangan itu apa yang disampaikan itu dicatat oleh investor. Yang terucap itu separuh kebijakan. Tinggal diketik, ditanda tangan itu sudah menjadi kebijakan," katanya dalam diskusi daring pada Rabu (10/9/2025).
1. Refocusing anggaran dan disiplin fiskal

Usulan kedua yang disampaikan Wijayanto adalah agar Purbaya berani menerapkan disiplin fiskal. Dia menyarankan refocusing anggaran dilakukan untuk APBN 2026, bahkan jika perlu melalui APBN Perubahan (APBNP) 2026.
"Karena dari sekarang saja, kita melihat alokasinya banyak yang tidak tepat. Kemudian yang kedua, asumsi-asumsi penerimaan itu terlalu agresif," katanya.
Salah satunya terkait pemangkasan transfer daerah hingga 25 persen. Menurutnya, jika kebijakan itu dilakukan, pemerintah daerah berpotensi menaikkan berbagai jenis pajak seperti pajak kendaraan, pajak bahan bakar, pajak reklame, hingga pajak kos-kosan.
2. Perbaikan manajemen utang

Masukan ketiga berkaitan dengan manajemen utang negara. Wijayanto menyoroti masih tingginya saldo anggaran lebih (SAL) yang mencapai Rp600 triliun, padahal sumber dana tersebut berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN).
"Itu kan sebenarnya akumulasi utang berlebih yang uangnya terdistribusi ke mana-mana dan itu bukan uang gratis. Itu membayar bunga 6,5 sampai 6,8 persen. Karena intinya SAL itu adalah SBN yang diterbitkan secara berlebihan," paparnya.
Dia juga mempertanyakan mengapa imbal hasil obligasi Indonesia lebih tinggi dibanding negara lain dengan peringkat kredit yang setara, seperti Filipina, Malaysia, dan Thailand.
Menurutnya, hal tersebut bisa disebabkan oleh strategi penerbitan yang kurang tepat atau faktor lain yang perlu ditelusuri lebih dalam.
3. Pemberantasan underground economy

Usulan terakhir berkaitan dengan pemberantasan underground economy. Berdasarkan studi EY Global, perekonomian bayangan Indonesia mencapai 23,6 persen dari total produk domestik bruto (PDB).
Underground economy mencakup aktivitas penyelundupan barang, peredaran barang legal tanpa pajak, hingga perdagangan barang ilegal. Dia menekankan, jika sektor itu berhasil diformalkan, potensi penerimaan pajak bisa bertambah hingga sekitar Rp500 triliun.
"Produsen-produsen yang beroperasi secara legal itu akan mati. Karena yang underground memproduk sesuatu yang sama, di environment yang sama, kemudian mereka tidak membayar berbagai kewajiban," tambahnya.