Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bahlil Akui JK Benar soal Cuan Hilirisasi Larinya ke Luar Negeri

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam Opening Ceremony The 10th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2024 di JCC Jakarta, Rabu (18/9/2024). (YouTube/Kementerian ESDM)
Intinya sih...
  • Bahlil mengungkapkan teguran dari JK terkait investasi nikel yang keuntungan besar dinikmati luar negeri
  • Mayoritas izin tambang dimiliki oleh Indonesia, tetapi 85% industri hilirisasi masih dikuasai investor asing

Jakarta, IDN Times - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, dirinya pernah mendapat teguran dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) terkait investasi di sektor nikel.

Menurut Bahlil, JK menyoroti keuntungan besar dari investasi nikel lebih banyak dinikmati oleh pihak luar negeri, sementara nilai tambah yang dihasilkan juga cenderung mengalir ke luar negeri, bukan untuk kepentingan dalam negeri.

"Saya pernah disentil oleh Pak JK, 'Lil (Bahlil), itu investasi nikel itu jangan dibesarkan-besarkan karena yang dapat untung banyak kan bukan dalam negeri, luar negeri, nilai tambahnya itu luar negeri'," kata Bahlil dalam BNI Investor Daily Summit 2024, Rabu (9/10/2024).

1. Bahlil akui industri hilirisasi mayoritas dikuasai oleh asing

ilustrasi seseorang sedang bekerja di smelter nikel yang menjadi bagian dari hilirisasi SDA (freepik.com/fanjianhua)

Bahlil menyampaikan mayoritas izin tambang, sekitar 85 hingga 90 persen dimiliki oleh putra-putri Indonesia dan badan usaha milik negara (BUMN). Namun, dia juga mengakui 85 persen industri hilirisasi tambang di Indonesia masih dikuasai oleh investor asing.

"Untuk izin tambang 85 persen sampai 90 persen itu dalam negeri, dimiliki oleh putra-putri terbaik Republik Indonesia dan BUMN. Tetapi untuk industrinya itu, saya jujur mengatakan dikuasai 85 persen oleh asing," tuturnya.

2. Keuntungan hilirisasi lari ke luar negeri untuk bayar pinjaman

Ilustrasi dolar Amerika Serikat. (Pexels/Pixabay)

Bahlil menjelaskan, salah satu alasan industri hilirisasi tambang di Indonesia masih didominasi oleh asing karena perbankan luar negeri lebih berminat memberikan kredit investasi dibandingkan perbankan dalam negeri.

Menurutnya, meskipun ada bank lokal yang menawarkan kredit, persyaratan modal awal (equity) yang diminta terlalu besar, yakni 30 hingga 40 persen, yang sulit dipenuhi oleh sebagian besar pengusaha.

Bahlil juga menambahkan, ketika kredit diperoleh dari bank luar negeri, ada kewajiban bagi debitur untuk membayar pokok dan bunga pinjaman dari pendapatan ekspor, yang menghabiskan sekitar 60 persen dari pendapatan.

"Jadi apa yang disampaikan oleh Pak JK itu benar, 60 persen DHE (devisa hasil ekspor) kembali ke sana (bank luar negeri) dari hasil industri (hilirisasi). Tetapi itu terjadi karena memang membiayai pokok tambah bunga," tuturnya.

3. Butuh kolaborasi antara pemerintah, bank dan dunia usaha

Peresmian smelter milik PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur, Senin 23 September 2024. (IDN Times/Uni Lubis)

Menurutnya, untuk mengembalikan seluruh manfaat industri hilirisasi tambang ke dalam negeri, solusi utamanya adalah agar pembiayaan investasi sebesar-besarnya dilakukan oleh bank nasional, khususnya bank-bank milik negara (Himbara).

"Cuma kalau ditanya kenapa tidak dari bank dalam negeri? Pak Presiden itu nggak punya kewenangan untuk mengintervensi kedaulatan bank itu, nggak ada. Gubernur BI mana bisa kita intervensi," papar Bahlil.

Terlebih, persetujuan kredit harus didasarkan pada penilaian yang proper dari pihak perbankan untuk menjaga stabilitas keuangan. Oleh karena itu, Bahlil menekankan pentingnya kolaborasi antara antarpemangku kepentingan.

"Nah, di sini lah dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, perbankan, dan sektor usaha untuk apa? menuju kepada kedaulatan bangsa kita," ucapnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Trio Hamdani
EditorTrio Hamdani
Follow Us