Harga Minyak Anjlok, OPEC+ Percepat Kenaikan Produksi

- Harga minyak dunia turun lebih dari 2 dolar AS per barel setelah OPEC+ mengumumkan percepatan kenaikan produksi.
- OPEC+ sepakat menaikkan produksi sebesar 411 ribu barel per hari mulai Juni, menyusul kenaikan serupa pada Mei 2025.
Jakarta, IDN Times - Harga minyak dunia turun lebih dari 2 dolar AS (Rp32,9 ribu) per barel pada Senin (5/5/2025), setelah OPEC+ mengumumkan percepatan kenaikan produksi minyak. Keputusan ini muncul di tengah harga minyak yang melemah ke level terendah dalam empat tahun, memicu kekhawatiran akan banjir pasokan. Tekanan juga datang dari ketegangan internal OPEC+ terkait kepatuhan terhadap kuota produksi.
Organisasi yang dipimpin Arab Saudi dan Rusia itu sepakat menaikkan produksi sebesar 411 ribu barel per hari mulai Juni, menyusul kenaikan serupa pada Mei 2025. Langkah ini ditujukan untuk menekan anggota yang kerap melanggar kuota, seperti Kazakhstan dan Irak. Namun, peningkatan pasokan justru memperburuk penurunan harga minyak yang telah berlangsung sejak April.
Pada perdagangan Senin (5/5/2025), Brent melemah ke 66 dolar AS (Rp1 juta) per barel, sedangkan WTI turun menjadi 61,78. dolar AS (Rp1 juta). Investor kini menantikan pertemuan lanjutan OPEC+ untuk menilai dampak kebijakan ini terhadap keseimbangan pasar minyak global.
1. OPEC+ percepat kenaikan produksi
.jpg)
OPEC+ secara resmi mengumumkan percepatan produksi minyak untuk Juni 2025, tiga kali lipat dari rencana awal. Keputusan diumumkan pada Sabtu (3/5) melalui konferensi video yang dipimpin Arab Saudi dan Rusia. Langkah ini mengejutkan pasar, mengingat permintaan global diprediksi melambat.
Sumber OPEC+ mengatakan, percepatan ini bertujuan memberi tekanan pada anggota yang melanggar kuota produksi.
“Kepatuhan sangat penting untuk menjaga stabilitas. Beberapa anggota justru melemahkan upaya kolektif,” ujar pejabat OPEC+ yang tidak disebutkan namanya, dikutip dari Yahoo Finance.
Namun, tidak semua negara anggota mendukung langkah agresif ini. Rusia dan beberapa anggota lain menyarankan kenaikan lebih bertahap, sekitar 135 ribu barel per hari. Perbedaan pandangan ini memunculkan ketegangan internal yang bisa meningkatkan volatilitas harga minyak dalam waktu dekat.
2. Tekanan ekonomi global dan perang dagang
Selain pasokan berlebih, harga minyak juga tertekan oleh ketidakpastian ekonomi global, terutama akibat perang dagang Amerika Serikat (AS)-China. Pada Selasa (8/4), harga minyak turun 2 persen setelah Presiden Trump memberlakukan tarif tambahan terhadap produk China, memicu kekhawatiran resesi global.
“Permintaan minyak China bisa turun setengahnya tahun ini karena tarif baru,” kata Bjørnar Tonhaugen, Kepala Riset Pasar Minyak di Rystad Energy.
Tonhaugen juga mengatakan bahwa ketidakpastian kebijakan AS menjadi hambatan utama pemulihan permintaan. Meski sempat muncul harapan negosiasi baru pada Kamis (24/4), pernyataan Gedung Putih yang menegaskan tidak akan mengurangi tarif secara sepihak membuat pasar kembali pesimistis. Tekanan terhadap harga minyak pun terus berlanjut.
3. Dampak terhadap pasar dan Arab Saudi
Keputusan OPEC+ memperburuk tekanan harga, dengan Brent dan WTI mencatat penurunan mingguan terbesar sejak awal April. Analis UBS, Giovanni Staunovo, menyatakan bahwa pasar kini menghadapi risiko kelebihan pasokan yang nyata.
Bagi Arab Saudi, harga minyak di bawah 90 dolar AS (Rp1,4 juta) per barel menciptakan tantangan serius. IMF menyebut Riyadh butuh harga minimal 90 dolar AS (Rp1,4 juta) untuk menyeimbangkan anggaran.
“Kami siap menghadapi harga rendah dalam jangka panjang,” kata pejabat Kementerian Energi Saudi, menandakan pergeseran strategi dari menjaga harga ke dominasi pasar.
Tekanan juga datang dari AS menjelang kunjungan Trump ke Arab Saudi pada Mei 2025. Dorongan dari AS tampaknya turut memengaruhi keputusan OPEC+ untuk membuka keran produksi lebih lebar.
“Kami butuh harga energi yang rendah untuk menekan inflasi,” ujar Presiden Trump.