Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenalan dengan Gajah Putih, Aset yang Bikin Tekor dan Susah Dijual!

ilustrasi aset (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi aset (IDN Times/Aditya Pratama)
Intinya sih...
  • Investasi beban yang sulit untung
  • Sejarah hadiah raja dari Thailand
  • Dari gedung pencakar langit sampai arena olahraga mangkrak
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Istilah "Gajah Putih" atau White Elephant digunakan untuk menyebut sesuatu yang biaya perawatannya jauh lebih besar daripada manfaat atau nilai yang didapatkan. Dalam dunia investasi, konsep ini merujuk pada aset, properti, atau bisnis yang sangat mahal untuk dioperasikan dan dipelihara, sehingga sulit sekali mendatangkan keuntungan.

Aset yang digolongkan sebagai Gajah Putih ini juga punya sifat tidak likuid. Artinya, aset tersebut tidak bisa diuangkan atau susah dijual kembali dengan cepat dan mudah, hingga bisa membuat pemiliknya menderita kerugian besar.

1. Investasi beban yang sulit untung

ilustrasi aset tanah dan bangunan (Pix4free.com)
ilustrasi aset tanah dan bangunan (Pix4free.com)

Dilansir Investopedia, secara sederhana, Gajah Putih adalah kepemilikan yang membebani. Dalam konteks investasi, ini menggambarkan aset apa pun yang menghabiskan banyak biaya perawatan, tidak menghasilkan untung, dan hampir mustahil untuk dilepas.

Gajah Putih adalah julukan bagi investasi yang tidak menarik karena lebih banyak menimbulkan masalah daripada nilai yang diberikannya. Di tingkat korporasi, perusahaan biasanya menanamkan modalnya untuk aset seperti properti, pabrik, dan peralatan, dengan harapan bisa memperbaiki kinerja laba. Namun, jika kondisi ekonomi mendadak berubah, aset-aset ini berisiko berubah menjadi Gajah Putih.

Sebagai contoh, sebuah pabrik yang dibangun untuk memenuhi proyeksi permintaan produk baru bisa jadi Gajah Putih jika ternyata produk tersebut gagal laku di pasaran. Pabrik baru itu akan berubah menjadi properti mahal yang tidak mampu menghasilkan pendapatan memadai untuk menutup biaya perawatannya.

Selain itu, istilah Gajah Putih juga sering melekat pada proyek konstruksi berskala besar yang didanai oleh pemerintah. Proyek-proyek ini umumnya bertujuan memicu pertumbuhan ekonomi cepat dengan mengalirkan dana besar ke proyek infrastruktur dan pembangunan bersubsidi.

2. Sejarah hadiah raja dari Thailand

ilustrasi gajah yang memasuki area terbuka akibat hilangnya habitat, bagian dari faktor pemicu konflik
ilustrasi gajah yang memasuki area terbuka akibat hilangnya habitat, bagian dari faktor pemicu konflik (pexels.com/Elina Sazonova)

Istilah Gajah Putih memiliki akar sejarah di Asia Tenggara, tepatnya Thailand. Gajah Putih dianggap sebagai ikon yang langka dan suci pada masa lalu dan secara otomatis dihadiahkan kepada raja yang berkuasa. Menurut kisah yang beredar, raja akan memberikan gajah putih ini sebagai hadiah yang bisa membawa keberuntungan atau kesialan.

Jika raja menyukai si penerima, dia akan memberikan tanah agar biaya perawatan gajah bisa ditanggung. Namun, jika raja tidak menyukai seseorang, gajah itu akan diberikan tanpa tanah, menjadikannya 'lubang uang' yang menguras harta.

3. Dari gedung pencakar langit sampai arena olahraga mangkrak

Ilustrasi aset. (Dok. IDN Times)
Ilustrasi aset. (Dok. IDN Times)

Kasus Gajah Putih banyak ditemukan di sektor real estate, dengan beberapa contoh terkenal:

  1. Empire State Building: Awalnya, gedung ikonik The Empire State Building di New York terlihat seperti Gajah Putih yang tak terhindarkan. Gedung ini baru mulai menghasilkan keuntungan pada 1950-an, lebih dari dua dekade setelah pembangunannya selesai. Dibangun saat masa Great Depression, gedung yang seharusnya menjadi perkantoran ini kesulitan menarik penyewa. Kini, setelah dimiliki oleh real estate investment trust (REIT), gedung ini memiliki berbagai sumber pendapatan. Pada 2019, dek observasi saja menghasilkan sekitar 128,8 juta dolar AS, yang setara dengan hampir 39 persen dari total pendapatannya.
  2. The T-Mobile Center: Contoh lain adalah The T-Mobile Center (dulunya Sprint Center) di Kansas City. Arena serbaguna yang dibuka pada 2007 dengan biaya sekitar 276 juta dolar AS ini direncanakan menjadi markas tim olahraga besar. Meskipun Kansas City telah berdiskusi dengan tim dari National Basketball Association dan National Hockey League, hingga 2020, belum ada liga yang setuju untuk pindah ke arena tersebut.
  3. The Ryugyong Hotel: Terakhir, ada The Ryugyong Hotel di Pyongyang, Korea Utara. Gedung pencakar langit berbentuk piramida setinggi 105 lantai ini awalnya dirancang untuk menampung lebih dari 3.000 kamar hotel dan lima restoran berputar. Pembangunannya dimulai pada 1987, namun dihentikan lima tahun kemudian karena masalah dana. Pekerjaan sempat dilanjutkan pada 2008 dengan harapan dibuka empat tahun setelahnya. Namun, hingga 2020, gedung tersebut tetap belum selesai, membuatnya dijuluki hotel of doom dan menyandang predikat meragukan sebagai gedung tak selesai tertinggi di dunia.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Satria Permana
EditorSatria Permana
Follow Us

Latest in Business

See More

Rupiah Menguat Usai The Fed Pangkas Suku Bunga

11 Des 2025, 09:42 WIBBusiness