Ketua Banggar DPR: MBG Harus Dievaluasi, Bukan Dihentikan

- SPPG disarankan hanya melayani 1.500 porsi makanan agar kualitas terjaga
- Perlu deteksi dini terkait kelemahan dalam pelaksanaan MBG
Jakarta, IDN Times - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah tidak setuju program Makan Bergizi Gratis (MBG) dihentikan atau dibekukan sementara menyusul maraknya kasus keracunan yang menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di berbagai daerah.
Ia menilai, masalah keracunan yang terjadi di berbagai daerah seharusnya bisa dideteksi lebih dini dan dievaluasi, bukan dijadikan alasan untuk menyetop program yang belum genap setahun berjalan. Meski demikian, ia tak memungkiri telah terjadi banyak kasus keracunan yang perlu menjadi perhatian bersama.
"Program prioritas Presiden, Makan Bergizi Gratis itu sesuatu yang baik, yang harus kita dorong dulu. Jika di dalam perjalanannya ada yang seperti yang kita baca bersama di berbagai media, maka harus segera dilakukan deteksi oleh pemerintah," kata Said, dikutip Rabu (24/9/2025).
1. SPPG disarankan hanya melayani 1.500 porsi makanan agar kualitas terjaga

Ia menjelaskan, salah satu aspek krusial yang disorotnya adalah efektivitas Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), yang bertugas memasak dan menyalurkan makanan ke sekolah-sekolah.
Saat ini, satu SPPG dapat melayani hingga 3.000 porsi makanan setiap harinya. Menurut Said, jumlah tersebut terlalu besar dan berisiko terhadap kualitas serta kesegaran makanan yang disajikan kepada siswa.
“Karena satu SPPG melayani 3.000, apakah itu bisa diperpendek? Satu SPPG cukup 1.500, sehingga menu Makan Bergizi Gratis yang sampai di sekolah itu masih fresh from the oven,” ujarnya.
2. Perlu deteksi dini terkait kelemahan dalam pelaksanaan MBG

Said mengatakan, dalam pemberitaan yang menyebut ada 5.300 hingga 5.800 kasus keracunan yang disampaikan langsung oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) patut menjadi perhatian semua pihak. Namun, menurutnya, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk langsung menyimpulkan program MBG harus dihentikan.
“Nah, kesannya sekarang, kalau dari sisi pemberitaan sampai Kepala KSP yang menyampaikan ada 5.300 sampai 5.800 yang keracunan, kita semua kan wajib prihatin. Tapi tidak berarti ada konklusi harus disetop, jangan!” ujar Said.
Said menegaskan, setiap kebijakan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan publik, terutama anak-anak sekolah, harus dievaluasi secara hati-hati dan menyeluruh, bukan terburu-buru disetop.
Ia juga menyoroti perlunya deteksi dini terhadap titik-titik kelemahan dalam pelaksanaan MBG, termasuk dalam hal rantai pasok makanan dan manajemen dapur umum (SPPG). Menurutnya, perbaikan sistem dan pengawasan adalah langkah yang lebih bijak ketimbang menghentikan program yang baru berjalan kurang dari setahun ini.
3. Anggaran MBG baru terserap Rp13 triliun

Evaluasi lainnya mencakup jeda waktu antara proses memasak dan penyajian makanan. Misalnya, dari sebelumnya memasak pukul 02.00 untuk disajikan pukul 12.00 WIB, jeda tersebut bisa diperpendek.
“Jadi, perlu pola baru atau skemanya diubah. Misalnya, setiap sekolah memiliki satu SPPG. Itu akan lebih menarik dan memudahkan dari sisi pengawasan,” tutur Said.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyampaikan, hingga 8 September 2025, realisasi anggaran untuk program MBG mencapai Rp13 triliun. Angka tersebut baru 8,3 persen dari total pagu anggaran sebesar Rp71 triliun.
Program ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah dalam menjalankan program prioritas nasional yang bertujuan menurunkan angka stunting serta meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sejak usia dini.
“Hingga 8 September kemarin, anggaran yang telah direalisasikan mencapai Rp13 triliun dan digunakan untuk melayani lebih dari 22,7 juta penerima melalui 7.644 satuan pelaksana di lapangan,” ujar Suahasil dalam konferensi pers APBN KiTA, Senin (22/9).