Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Membakar Geliat Industri Manufaktur yang Sedang Bersinar

Ilustrasi (Pexels/chevanon)

Jakarta, IDN Times – Geliat industri manufaktur Tanah Air terus mengalami penguatan sejak awal tahun. Hal ini didorong permintaan baru dari pasar domestik yang mendongkrak kenaikan produksi.

Berdasarkan data dari S&P Global, indikator Purchasing Managers’ Index (PMI) sektor manufaktur Indonesia terus berada dalam fase ekspansif pada Februari 2024 yaitu berada di angka 52,7. Ekspansifnya ngka PMI ini reflektif dengan pertumbuhan produksi domestik bruto (PDB) Indonesia yang juga tumbuh secara positif.

Sejalan dengan kinerja positif industri manufaktur itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengaku optimistis ekonomi nasional masih cukup tangguh. 

Namun, di tengah penguatan ini, pengusaha meminta kepada pemerintah untuk tidak membiarkan mereka banting tulang sendirian. Pemerintah diminta menelurkan berbagai kebijakan yang mendukung pertumbuhan sektor industri yang berujung pada meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi nasional.

"Industri itu kan tidak bekerja sendiri, pasti dipengaruhi oleh kebijakan lainnya seperti perdagangan dan keuangan, dan yang paling penting adakah indikator ketenagakerjaan," ucap Ketua Bidang Ketenagakerjaan Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam dalam keterangannya, Jumat (29/3/2024).

1. Manufaktur Indonesia di tahap sunrise

Balai Besar Pengembangan Pelatihan Kerja (BBLPK) Bandung kembali mengirim instruktur di bidang manufaktur ke PT ATMI IGI CENTER Solo guna meningkatkan kemampuannya. (Dok. Kemnaker)

Laju PMI Manufaktur Indonesia telah berada di level ekspansif selama 30 bulan berturut-turut. Hal ini pun menandakan bahwa Indonesia telah benar-benar keluar dari pandemik COVID-19.

Capaian PMI Manufaktur Indonesia pada Februari 2024 bahkan mampu melampaui PMI Manufaktur berbagai negara maju lainnya yaitu China (50,9), Jerman (42,3), Jepang (47,2), Inggris (47,1), Amerika Serikat (51,5), Malaysia (49,5), Myanmar (46,7), Filipina (51,0), Taiwan (48,6), Thailand (45,3), dan Vietnam (50,4).

Pada periode 2014 hingga 2022, rata-rata pertumbuhan PDB industri manufaktur Indonesia mencapai 3,44 persen, lebih tinggi dari pertumbuhan dunia maupun OECD (data World Bank), dengan kontribusi mencapai 19,9 persen.

Tak hanya itu, nilai Manufacturing Value Added (MVA) Indonesia tahun 2021 yang mencapai 288 miliar dolar AS (data UNStats), menunjukkan Indonesia merupakan salah satu power house manufaktur dunia. 

Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (LPEM FEB) Universitas Indonesia, Kiki Verico, mengatakan data ini membuktikan Indonesia tidak ada pada fase deindustrialisasi. Artinya, sektor industri masih berperan sebagai basis pendorong utama perekonomian negara, dengan kontribusi terhadap PDB nasional yang positif. 

Kontribusi sektor manufaktur  terhadap PDB di Indonesia mencapai 19 persen di 2023. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor manufaktur juga masih menjadi penyumbang terbesar mencapai 16 persen dari total penyerapan tenaga kerja di Indonesia

Justru, kondisi manufaktur yang masih tetap di level ekspansi saat ini menunjukkan Indonesia adalah salah satu yang ada di tahap 'sunrise'. Hal ini berbeda dengan kondisi di sejumlah negara maju, yang sudah melewati fase majunya sektor manufaktur

"Setelah manufakturnya maju, lalu menurun atau sunset dan mulai digantikan negara lain yang manufakturnya baru take-off atau sunrise. Negara industri maju itu lalu bergeser backbone ekonominya dari industri manufaktur ke sektor jasa,” paparnya. 

2. RI punya dua modal besar yang bisa dituai dari manufaktur

ilustrasi tenaga kerja yang memiliki kemampuan berkelanjutan (freepik.com/Lifestylememory)

Terkait dengan keunggulan di sektor manpower ini, Apindo menyoroti pergeseran struktur ketenagakerjaan yang penting untuk disikapi dunia usaha dan pemerintah. Langkah ini penting agar tenaga kerja dapat berkontribusi positif terhadap pertumbuhan sektor industri manufaktur nasional.

"Jadi, PMI yang positif selama 30 bulan berturut berada di level ekspansi harus juga diikuti penyerapan tenaga kerja, ujungnya itu penyerapan tenaga kerja," kata Bob. 

Kontribusi sektor manufaktur  terhadap PDB di Indonesia mencapai 19 persen di 2023. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor manufaktur juga masih menjadi penyumbang terbesar mencapai 16 persen dari total penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

"Ini kan dua modal dasar yang tidak dimiliki negara lain, seharusnya Indonesia bisa ngebut ekonominya dibanding negara lain. Tapi bagaimana kita bisa seperti India yang terbentuk satu optimisme bersama antara dunia usaha dengan pemerintah bahwa ekonomi ke depan akan tumbuh dengan baik," tutur Bob.

Namun, dia mengingatkan optimisme itu harus dibuktikan dengan terciptanya lintasan yang menunjukkan pertumbuhan. "Nah, kalau ini sukses kita lakukan tentunya akan mendatangkan investasi," imbuhnya. 

3. Perlu dukungan kebijakan lintas sektor

Ilusteri perdagangan ekspor dan impor

Dengan berbagai kinerja impresif di tengah berbagai tantangan global, industri manufaktur perlu mendapat panggung. Namun, hal itu tidak mungkin terwujud jika tidak didukung kebijakan yang proindustri nasional. 

Apindo menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor seperti pajak, kemudahan perdagangan, arus barang, dan berbagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor riil di Indonesia. 

"Misalkan kita ingin produksi, tapi beberapa bahan baku impor sulit didapat, itu juga akan menghambat untuk tercipta sektor rill nya," ujar Bob.

Dukungan lintas sektor dinilai menjadi faktor penting agar kebijakan dapat berjalan dengan efektif dan tepat sasaran. Oleh karena itu, menurutnya, Kemenperin harus turut dibantu oleh Kemendag dan Kementerian Keuangan dalam mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan arus barang.

Senada, LPEM FE UI menilai kementerian lain dinilai perlu mendukung langkah yang dijalankan Kementerian Perindustrian dalam memperkuat sektor manufaktur.

Hal ini mengingat dampak positif dari peningkatan manufaktur terhadap perekonomian Indonesia. Menufaktur yang meningkat akan berdampak pada ekspor Indonesia yang terkerek dan berujung pada positifnya pertumbuhan ekonomi dan masuknya investasi ke dalam negeri. 

"Nah, di sini peran Kemenperin bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Investasi/BKPM harus harmonis, termasuk kebijakannya. Jangan sampai kebijakan perindustrian mendukung industri, sedangkan perdagangan dan investasinya tidak, kan repot," kata Kiki.

4. Menperin dorong perluasan HGBT

Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita. (dok Kemenperin)

Menperin pun sepakat bahwa performa sektor industri manufaktur dipengaruhi kebijakan-kebijakan yang strategis. Salah satu inisiatif kebijakan krusial yang telah diusulkan Menperin adalah pemberlakuan harga gas bumi tertentu (HGBT) dapat dimanfaatkan sektor industri secara lebih luas.

Menurutnya, HGBT 6 juta dolar AS  british thermal unit (MMBtu) saat ini, hanya menyasar di tujuh sektor industri. Adapun, tujuh sektor tersebut adalah industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Oleh sebab itu, Agus mendorong agar semua sektor industri bisa mendapatkan harga gas yang kompetitif. 

"Sebab, terdapat 24 subsektor industri yang membutuhkan gas sebagai bahan baku dan pendukung dalam proses produksinya. Saya minta perluasan karena itu yang kita inginkan, dan harga gas menjadi kunci bagi daya saing produk industri kita sehingga bisa bernilai tambah tinggi,” tegasnya.

Di samping itu, kebijakan harga gas murah menjadi instrumen daya tarik investasi asing dan domestik di tanah air khususnya bagi sektor industri. Melalui kebijakan HGBT ini diyakini akan  memberikan multiplier effect yang besar terhadap perekonomian nasional. 

Apabila penerapan kebijakan strategis tersebut berjalan baik dan tepat sasaran, Menperin yakin kinerja industri manufaktur nasional akan semakin gemilang.

Hal ini juga tercermin dari Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Februari 2024 mencapai 52,56 atau meningkat 0,21 poin dibandingkan Januari 2024.

4. Pemerintah bakal turunkan ongkos biaya logistik jadi 8 persen di 2045

Proses bongkar muat ekspor Aluminium Ingot Seri G-1 ke China (Dok.Inalum)

Di sisi lain, pengusaha pun menghadapi tantangan dari sisi biaya logistik yang kian mahal akibat konflik di berbagai negara. Hal ini berimbas pada kinerja ekspor dan impor yang dilakukan sejumlah industri di Indonesia. 

Untuk itu, pemerintah pun bertekad untuk menurunkan biaya logistik menjadi 8 persen pada 2045 dari posisi 14,29 persen pada 2022.

Apalagi Indonesia merupakan negara kepulauan yang besar, sehingga industri sangat membutuhkan infrastruktur konektivitas seperti jalan, pelabuhan, dan bandara. Kehadiran infrastruktur yang memadai, dapat membuat biaya logistik lebih efisien.

Hal ini adalah salah satu hal terpenting yang menjadi pertimbangan investor. Oleh karena itu, biaya logistik yang efisien bisa mendongkrak daya saing investasi di Indonesia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us