Menjaga Ketahanan APBN dari Harga Minyak Dunia yang Labil

Jakarta, IDN Times - Pergerakan harga minyak dunia masih tidak menentu, terlebih pasca OPEC dan mitranya mengumumkan akan memperdalam pengurangan produksi sepanjang tahun 2024 dengan memangkas 1,393 juta barel produksi minyak mentah setiap hari (BOEPD).
Kelompok negara produksi minyak yang dikenal sebagai OPEC+ menghasilkan sekitar 40 persen minyak mentah dunia, mereka akan memangkas produksi sebesar 3,66 juta barel per hari atau 3,6 persen dari permintaan global.
Alhasil kebijakan ini akan sangat berpengaruh secara global, termasuk Indonesia. Dalam hal ini, postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan terpengaruh.
1. Menkeu akui sulit proyeksi harga minyak

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dinamika harga minyak masih dipengaruhi sentimen geopolitik. Selain itu mulai banyaknya pengunaan energi terbarukan juga sangat memengaruhi harga minyak.
“Harga minyak agak sulit untuk diproyeksikan. Tren harga minyak memang menggambarkan adanya kekhawatiran terhadap outlook pertumbuhan ekonomi dunia," ucapnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (5/6/2023) lalu.
International Energy Agency (IEA) memperkirakan pada 2024 harga minyak mentah brent senilai 74,5 dolar AS per barel.
Sementara itu, Bloomberg dan Bank Dunia memperkirakan harganya sebesar 86 dolar AS per barel.
Berdasarkan outlook tersebut, Menkeu menganggap pertumbuhan ekonomi dunia cenderung mengkhawatirkan. Padahal, jika pertumbuhan perekonomian dunia membaik, maka harga minyak relatif akan membaik.
“Tren dari harga minyak terakhir ini memang menggambarkan adanya kekhawatiran terhadap outlook pertumbuhan ekonomi dunia,” ungkapnya.
2. Pergerakan harga minyak global pengaruhi APBN

Sri Mulyani memastikan berbagai perkembangan harga minyak dan komoditas lainnya akan terus dipantau dan diwaspadai. Sebab komoditas ini dapat memengaruhi kinerja APBN yang cukup besar dari sisi pendapatan negara hingga belanja negara.
"Karena terus terang (pergerakan) harga komoditas memang mempengaruhi dari sisi APBN cukup besar baik dari sisi penerimaan pajak Bea Cukai maupun sisi penerimaan negara bukan pajak di sisi lain subsidi juga terpengaruh," ucapnya.
Dalam RAPBN 2024, pemerintah mematok harga minyak mentah Indonesia (ICP) di kisaran 75 dolar per barel hingga 85 dolar per barel pada 2024.
Untuk pendapatan negara, perubahan harga minyak mentah akan memengaruhi penerimaan SDA migas dan PPh migas. Sementara dari sisi belanja negara tentunya akan berdampak pada besaran subsidi BBM dan subsidi listrik serta dana bagi hasil.
3. DPR wanti-wanti soal volatilitas harga minyak dunia

Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin mengimbau pemerintah untuk melakukan pemantauan berkala terhadap pergerakan harga minyak mentah dunia yang berpotensi meningkat, sejalan dengan pengetatan pasokan minyak mentah global oleh OPEC+.
"Kami pastinya imbau pemerintah untuk terus memantau dan mewaspadai perkembangan harga minyak mentah dunia," ujarnya kepada IDN Times.
Meskipun APBN tahun ini telah dirancang mampu menjaga fleksibilitas dalam mengelola gejolak perekonomian dan ketidakpastian global. Namun ia tak menampik bahwa kebijakan OPEC+ dapat memengaruhi anggaran negara.
"Karena hal ini memengaruhi anggaran subsidi dan kompensasi energi yang menjadi dasar penyesuaian harga BBM. Selain itu, pemerintah juga perlu terus menjalankan program biodiesel (B35) yang dapat mengurangi subsidi BBM," ungkapnya.
Untuk diketahui, tahun ini pemerintah kembali menerapkan mekanisme pencadangan belanja Kementerian/Lembaga (K/L) yang diblokir sementara pada Pagu Belanja K/L TA 2023 senilai Rp50,23 triliun yang berasal dari belanja K/L dalam bentuk rupiah murni (RM), dengan mempertimbangkan kinerja realisasi anggaran selama tiga tahun terakhir (tahun anggaran 2020-2022).
"APBN tahun ini, kembali menerapkan kebijakan automatic adjustment, untuk mengantisipasi risiko tersebut. Yang tujuannya untuk pencadangan anggaran dari belanja K/L yang belum prioritas sebagai upaya menjaga ketahanan fiskal," jelas Puteri.
4. APBN masih kuat hadapi gejolak

Plt Kepala Pusat Kebijakan APBN Kementerian Keuangan, Wahyu Utomo, menilai pemangkasan produksi minyak oleh OPEC+ belum akan memengaruhi asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2023.
Dengan demikian, BKF memastikan akan tetap mewaspadai berbagai gejolak global, khususnya mengenai harga minyak global.
"Perkembangan harga minyak dunia tentu kita akan cermati. Untuk sementara ini (asumsi ICP) masih diperkirakan di kisaran yang ditetapkan dalam APBN. Insya Allah masih dalam batas yang manageable," ujarnya kepada IDN Times.
Sebagai informasi, data Kementerian ESDM, harga Indonesia Crude Price (ICP) bulan April tahun 2023 sebesar 79,34 dolar AS per barel. Nilai ini, meningkat dibandingkan dengan Bulan Maret 2023 sebesar 74,59 dolar AS per barel.
kenaikan ICP Bulan April salah satunya dipengaruhi oleh kebijakan dari OPEC+ yang mengumumkan tambahan pemangkasan produksi sebesar 1,16 juta barel per hari, di luar ekspektasi pasar.
Sehingga total pemotongan produksi OPEC+ termasuk perpanjangan pemotongan produksi Rusia menjadi sebesar 3,66 juta bopd, setara dengan 3,7 persen dari permintaan minyak mentah global.
5. Kenaikan harga minyak dunia bakal bebani anggaran negara

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan kenaikan harga minyak dunia akan membebani anggaran negara untuk mensubsidi BBM jenis Pertalite dan Solar.
"Dengan kenaikan harga tadi, ini akan menambah beban APBN untuk pemberian subsidi karena kan kita masih punya subsidi untuk Pertalite dan Solar. Kalau (minyak impor) harganya naik maka itu akan menambah beban bagi APBN," ujarnya saat dihubungi.
Oleh karena itu, ia tak menampik bahwa kebijakan OPEC+ dapat mengerek harga minyak Internasional yang berimplikasi pada harga minyak dalam negeri. Sebab, Indonesia adalah negara net importir, yakni lebih banyak mengimpor ketimbang ekspor.
"Jadi, kalau harga (minyak dunia) naik, impor BBM-nya akan jadi lebih mahal," ucapnya.