Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sri Mulyani: Pelemahan Rupiah Bukan Cerminan Fundamental Ekonomi RI

ilustrasi rupiah melemah (IDN TImes/Aditya Pratama)
ilustrasi rupiah melemah (IDN TImes/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi belakangan ini lebih disebabkan oleh dinamika global. Ia menegaskan bahwa kondisi tersebut tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia.

Sri Mulyani menjelaskan, pergerakan nilai tukar rupiah secara year to date atau tahun berjalan (Januari–Maret 2025) berada di kisaran Rp16.443 per dolar AS. Namun, pada akhir Maret, kurs rupiah tercatat melemah hingga menyentuh level Rp16.892 per dolar AS. Angka ini meleset dari target nilai tukar yang tercantum dalam asumsi makro APBN 2025, yakni Rp16 ribu per dolar AS.

"Pergerakan nilai tukar rupiah yang melemah mencerminkan dinamika global dan tidak selalu identik dengan fondasi fundamental Indonesia," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita, Rabu (30/4/2025).

1. Kehati-hatian The Fed turunkan suku bunga picu aliran modal asing keluar

ilustrasi The Fed (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi The Fed (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Salah satu faktor global yang memengaruhi pergerakan rupiah adalah kebijakan suku bunga acuan Bank Sentral AS (The Fed) yang belum diturunkan seperti yang sebelumnya diantisipasi. Hal ini dipicu oleh data ketenagakerjaan dan inflasi AS yang belum menunjukkan perbaikan signifikan.

Kehati-hatian The Fed dalam menurunkan suku bunga menyebabkan arus modal kembali mengalir ke AS, yang pada akhirnya mendorong penguatan signifikan terhadap indeks dolar.

"Ini menyebabkan capital flow ke AS dan, dalam hal ini, menyebabkan penguatan indeks dolar," jelasnya.

2. Kebijakan perdagangan Trump beri sentimen ke rupiah

Amerika Serikat menciptakan perang dagang dunia (unsplash.com/ Igor Omilaev)
Amerika Serikat menciptakan perang dagang dunia (unsplash.com/ Igor Omilaev)

Situasi global juga diperburuk oleh kebijakan perdagangan yang agresif dari Presiden Donald Trump, yang kembali menjabat pada awal tahun ini. Trump menerapkan tarif impor tinggi terhadap 70 negara mitra dagang, sehingga memicu sentimen negatif di pasar keuangan global.

“Tindakan drastis Trump dalam bentuk tarif memengaruhi sentimen dan dinamika sektor keuangan secara signifikan. Gejolak besar terjadi di pasar keuangan pada kuartal I tahun ini,” ujarnya.

Akibat dari kondisi global tersebut, pelemahan mata uang terhadap dolar AS juga terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. 

“Indonesia tidak terkecuali. Oleh karena itu, pergerakan nilai tukar yang berada di kisaran Rp16.443 secara year to date juga mencerminkan dinamika global, dan tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi fundamental Indonesia,” tambahnya.

3. Investor masuk ke pasar keuangan RI

Menteri Keuangan, Sri Mulyani (IDN Times/Ilman Nafi'an)
Menteri Keuangan, Sri Mulyani (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Lebih lanjut, Sri Mulyani menyatakan bahwa stabilitas ekonomi Indonesia tetap terjaga di tengah ketidakpastian global menjadi salah satu faktor yang menarik minat investor asing.

“Dalam suasana ketidakpastian dan dinamika global, investor di seluruh dunia mencari tempat yang dianggap aman dan stabil. Saat ini, Indonesia dengan pengelolaan ekonomi, APBN, serta kondisi makro yang stabil menjadi salah satu pilihan utama,” kata dia.

Optimisme investor terhadap perekonomian Indonesia tercermin dari sejumlah indikator, salah satunya adalah stabilitas yield atau imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang tetap terjaga. Hal ini menjadi sinyal positif yang perlu dipertahankan di tengah tekanan global.

Dalam APBN 2025, yield SBN tenor 10 tahun dirancang sebesar 7 persen. Hingga Maret 2025, yield tersebut tercatat pada level 6,98 persen secara year to date.

“Ini sesuatu yang perlu kita pandang sebagai hal positif karena mencerminkan kepercayaan dan ketenangan dari para investor pemegang SBN. Mereka percaya bahwa perekonomian Indonesia akan terus dikelola dengan baik, dengan pertumbuhan yang relatif tinggi, inflasi yang rendah, serta APBN yang tetap terjaga,” tegasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us