PHK Massal Ancam Pertumbuhan Produksi Minyak AS 2025

- PHK besar-besaran di perusahaan minyak AS, termasuk ConocoPhillips dan Chevron
- Aksi pemangkasan belanja modal dan produksi minyak AS memperparah tekanan finansial
- OPEC+ menyetujui kenaikan produksi minyak mulai Oktober 2025, menggantikan pemotongan sejak 2023
Jakarta, IDN Times - Industri minyak dan gas Amerika Serikat (AS) menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pemangkasan belanja modal yang signifikan. Fenomena ini didorong oleh harga minyak yang melemah serta aksi konsolidasi terbesar dalam beberapa dekade terakhir.
Di sisi lain, negara-negara anggota OPEC+ sepakat untuk meningkatkan produksi minyak mulai Oktober 2025, memicu persaingan baru dalam perebutan pangsa pasar global.
1. PHK besar-besaran di perusahaan minyak AS
ConocoPhillips, salah satu produsen minyak terbesar di AS, mengumumkan pada Rabu (3/9/2025), rencana pemutusan hubungan kerja hingga 25 persen dari total pekerjanya, yaitu sekitar 3.250 orang.
“Kami terus menilai cara untuk meningkatkan efisiensi sumber daya kami,” ujar juru bicara ConocoPhillips, Dennis Nuss.
PHK ini terjadi tak lama setelah perusahaan menyelesaikan akuisisi Marathon Oil senilai 17 miliar dolar AS (Rp279,5 triliun) pada 2024, simbol dari tren konsolidasi besar di sektor ini.
Pada Sabtu (6/9/2025), sejumlah perusahaan besar lain juga mengonfirmasi pemangkasan tim, termasuk Chevron yang memangkas 15–20 persen staf global, serta BP dengan 7 ribu PHK di seluruh dunia. Penurunan harga minyak dunia tahun 2025 memaksa industri untuk merestrukturisasi organisasi dan membatasi ekspansi.
“Sebagian besar pengurangan ini akan dilakukan sebelum akhir 2025,” kata perwakilan ConocoPhillips.
Imbas berita ini, harga saham perusahaan besar migas seperti ConocoPhillips anjlok lebih dari 4 persen pada hari pengumuman PHK.
2. Aksi pemangkasan belanja modal dan produksi minyak AS
Dilansir Global Banking and Finance, perusahaan-perusahaan migas global, khususnya di AS, memangkas miliaran dolar anggaran belanja modal sepanjang 2024-2025. Penurunan harga minyak setelah OPEC+ meningkatkan produksi sejak April 2025 turut memperparah tekanan finansial.
Dalam laporan laba kuartalan per 7 Agustus 2025, ConocoPhillips melaporkan laba 1,97 miliar dolar AS (Rp32,3 triliun), turun dari 2,33 miliar dolar AS (Rp38,3 triliun) pada periode yang sama tahun lalu, sambil mengidentifikasi lebih dari 1 miliar dolar AS (Rp16,4 triliun) penghematan.
“Kami secara aktif mengelola biaya dan fokus pada margin perusahaan,” kata manajemen ConocoPhillips dalam pengumuman tersendiri.
Halliburton, SLB, dan OMV juga mengumumkan restrukturisasi dan pemangkasan pekerja di seluruh dunia, pada Sabtu (6/9/2025). Para pelaku industri sepakat, era pertumbuhan eksplosif produksi minyak AS kemungkinan besar telah berakhir.
“Kenaikan output AS yang membuat negara ini jadi produsen nomor satu kini terancam stagnan,” kata analis energi, dilansir Economic Times.
3. OPEC+ tingkatkan produksi minyak mulai Oktober 2025
Delapan negara anggota OPEC+ pada Minggu (7/9/2025), menyetujui kenaikan produksi minyak sebanyak 137 ribu barel per hari mulai Oktober 2025, sebuah keputusan yang diumumkan melalui pertemuan daring.
“Peningkatan barel ini mungkin kecil, namun implikasinya besar,” kata Jorge Leon, analis OPEC+.
Kenaikan produksi OPEC+ sejak April 2025 telah mencapai total 2,5 juta barel per hari, atau sekitar 2,4 persen dari permintaan global, menggantikan pemotongan yang diberlakukan sejak 2023.
“Kurang lebih, OPEC+ menggeser strategi dari menjaga harga menjadi memperbesar pangsa pasar, meski risikonya harga tetap rendah,” kata sumber OPEC+ dalam wawancara dengan Financial Times.
Para anggota juga menyatakan kemungkinan besar kenaikan produksi berlanjut dua belas bulan ke depan.
“OPEC+ mempertahankan fleksibilitas penuh untuk menunda atau membalikkan kenaikan sesuai kondisi pasar,” menurut pernyataan bersama dari OPEC+.