Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Roadmap Pasar Karbon Belum Sinkron, Pajak Karbon Bakal Tertunda?

Ilustrasi Pajak Karbon (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengindikasikan pemerintah belum siap menerapkan pajak karbon pada 1 April 2022. Hal itu lantaran pemerintah masih berupaya mensinkronkan peta jalan pasar karbon.

"Di dalam Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pelaksanaan pajak karbon seharusnya dilakukan pada 1 April. Namun, kita harus melakukan koordinasi untuk mensinkronkan roadmap dan sekaligus juga menjaga agar pelaksanaan bisa berjalan baik dan tentunya tidak mendisrupsi pertumbuhan ekonomi kita," tutur Sri Mulyani, dalam pidatonya di PPATK 3rd Legal Forum, Kamis (31/3/2022).

Road map atau peta jalan tersebut menjadi penting mengingat pada Bab IV UU HPP Pasal 13 ayat 2, pengenaan pajak karbon yang dikenakan atas emisi karbon dengan dampak negatif bagi lingkungan hidup dilakukan dengan memperhatikan roadmap atau peta jalan pasar karbon.

1. Peta jalan pasar karbon

Ilustrasi Pajak Karbon (IDN Times/Aditya Pratama)

Peta jalan pasar karbon yang disusun pemerintah dimulai sejak tahun ini hingga 2025 mendatang.

Peta jalan pasar karbon tahun ini dimulai dengan pembahasan dan penetapan UU HPP dengan salah satu klausulnya adalah pajak karbon. Setelah itu, pemerintah akan melakukan finalisasi terhadap rancangan peraturan presiden terkait nilai ekonomi karbon dan kemudian melakukan pengembangan mekanisme teknis pajak karbon dan bursa karbon.

Terakhir adalah dengan melakukan piloting perdagangan karbon di sektor pembangkit oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan harga rata-rata Rp30 ribu per ton carbon dioxide equivalen (CO2e).

Sementara itu, peta jalan pasar karbon pada 2022 dimulai dengan penetapan cap untuk sektor pembangkit listrik batu bara oleh Kementerian ESDM. Selanjutnya pada 1 April 2022, memulai penerapan pajak karbon (cap & tax) secara terbatas pada PLTU batu bara dengan tarif Rp30 ribu per ton CO2e.

Kemudian pada 2025, pemerintah bakal mengimplementasikan perdagangan karbon secara penuh melalui bursa karbon. Berikutnya adalah dengan memperluas sektor pemajakan pajak karbon dengan pentahapan sesuai dengan kesiapan sektor dan terakhir adalah dengan menetapkan aturan pelaksana pajak karbon (cap & tax) untuk sektor lainnya.

Adapun peta jalan pasar karbon tersebut harus mendapatkan persetujuan dari DPR seperti tertulis di dalam ayat 4.

"Kebijakan peta jalan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat," bunyi ayat tersebut.

2. Subjek pajak karbon

Ilustrasi Pajak Karbon (IDN Times/Aditya Pratama)

Selain soal peta jalan pasar karbon, Pasal 13 Bab IV UU HPP juga turut menjelaskan soal subjek pajak karbon. Hal itu tertuang di dalam ayat 5 yang berbunyi seperti berikut.

"Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon."

Subjek pajak karbon yang masuk dalam kriteria tersebut nantinya akan dikenakan pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. Hal ini tercantum di dalam Pasal 13 ayat 6 UU HPP.

Kapan subjek pajak akan terutang pajak karbon?

Saat terutang pajak karbon dimulai dari tiga momen seperti tercantum di dalam Pasal 13 ayat 7 UU HPP. Saat terutang pajak karbon pertama adalah pada saat pembelian barang yang mengandung karbon. Kedua adalah pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu. Atau, saat lain yang diatur lebih lanjut dengan berdasarkan peraturan pemerintah.

3. Penerimaan dari pajak karbon

Ilustrasi Pajak (IDN Times/Arief Rahmat)

Keputusan pemerintah untuk mengatur soal pajak karbon di dalam UU HPP didasari oleh komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, idealnya penerimaan dari pajak karbon digunakan untuk berpartisipasi dalam pengendalian perubahan iklim.

Namun, alih-alih menjadi sebuah kewajiban, alokasi penerimaan pajak untuk pengendalian perubahan iklim masih menjadi sebuah pilihan seperti apa yang tertulis di dalam Pasal 13 ayat 11 UU HPP.

"Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim," bunyi ayat tersebut.

Alokasi penerimaan pajak untuk pengendalian perubahan iklim pun harus diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).

Ketetapan tersebut tercantum dalam ayat 14 b Pasal 13 UU HPP.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us