Satgas PHK Dinilai Tak Sentuh Akar Masalah

- Ekonom menilai pembentukan Satgas PHK sebagai langkah positif merespons meningkatnya kasus PHK di berbagai sektor, namun masih dipertanyakan efektivitasnya.
- Yusuf mempertanyakan kekuatan kelembagaan, dukungan anggaran, dan koordinasi lintas sektor dari Satgas PHK.
- Pendapat Nailul Huda menyebut satgas tidak diperlukan jika pemerintah tegas menegakkan aturan ketenagakerjaan yang sudah ada dan fokus pada penguatan iklim industri dan investasi.
Jakarta, IDN Times – Ekonom menilai rencana pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai langkah positif dalam merespons meningkatnya kasus PHK di berbagai sektor. Namun, efektivitas satgas tersebut masih dipertanyakan.
"Saya melihat pembentukan Satgas PHK oleh pemerintah sebagai langkah awal yang positif dalam merespons situasi ketenagakerjaan yang cukup menantang belakangan ini," ujar Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, kepada IDN Times, Jumat (18/4/2025).
1. Efektivitas satgas masih perlu dicermati

Meski demikian, Yusuf menilai efektivitas satgas ini perlu dicermati secara serius dalam mengakomodasi seluruh tenaga kerja yang terkena PHK dan dalam menjamin hak-hak mereka terpenuhi. Tanpa kekuatan kelembagaan yang memadai, Satgas PHK berisiko tidak mampu menjangkau kasus-kasus PHK yang tersebar di berbagai sektor dan wilayah.
"Kita perlu melihat sejauh mana mandat dan kapasitas satgas ini dirancang, apakah cukup kuat secara kelembagaan, memiliki dukungan anggaran yang memadai, dan mampu menjalin koordinasi lintas sektor," tambahnya.
2. Belum mitigasi risiko eksternal

Di sisi lain, menanggapi keterkaitan pembentukan Satgas PHK dengan tarif impor sebesar 32 persen terhadap produk Indonesia dan dampaknya terhadap industri nasional, Yusuf menilai satgas tersebut belum diarahkan untuk merespons risiko eksternal.
"Saya melihat pembentukan satgas ini belum secara eksplisit diarahkan sebagai langkah mitigasi terhadap dampak eksternal tersebut," tegasnya.
Meski demikian, Yusuf tidak menampik bahwa kebijakan proteksionisme atau ketegangan dagang saat ini akan berdampak pada kinerja ekspor dan sektor padat karya Indonesia.
"Namun, saat ini pendekatan pemerintah tampaknya masih lebih bersifat responsif terhadap kondisi di dalam negeri, ketimbang antisipatif terhadap dinamika global yang mungkin muncul," tambahnya.
3. Komitmen pemerintah jadi hal penting atasi masalah PHK

Berbeda dengan Yusuf, Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai satgas tersebut tidak diperlukan jika pemerintah benar-benar tegas dalam menegakkan aturan ketenagakerjaan yang sudah ada.
"Yang paling penting adalah komitmen pemerintah dalam menerapkan peraturan agar perusahaan membayar hak-hak karyawan yang terkena PHK. Satgas tidak diperlukan jika pemerintah berani menghukum perusahaan yang melanggar," ujar Huda.
Ia menegaskan bahwa aturan tentang kewajiban perusahaan membayar hak pekerja korban PHK sudah sangat jelas. Jika masih banyak pelanggaran, maka hal itu mencerminkan kegagalan pengawasan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
"Kalau pemerintah gagal, berarti kesalahan ada di Kementerian Ketenagakerjaan. Menteri dan Wakil Menterinya lebih baik mundur jika itu terjadi," tegasnya.
Lebih lanjut, Huda menyebut bahwa apabila tujuan pemerintah adalah mencegah PHK, maka pembentukan satgas seharusnya difokuskan pada penguatan iklim industri dan investasi.
"Perusahaan tidak akan melakukan PHK jika iklim usaha kondusif dan industri berkembang," ujarnya.
Ia juga menyoroti salah satu penyebab utama menurunnya industri dalam negeri, yakni derasnya arus impor yang membanjiri pasar domestik. "Permendag Nomor 8 Tahun 2024 menjadi masalah utama. Hingga kini belum dicabut atau direvisi oleh pemerintah," ucapnya.