Menanti Respons Kebijakan BI Usai The Fed Naikkan Suku Bunga Acuan

Kesembilan kalinya The Fed naikkan suku bunga acuan

Jakarta, IDN Times - Bank sentral Amerika Serikat, the Federal Reserve (the Fed), menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin atau 0,25 persen menjadi di kisaran 4,75-5 persen pada Rabu (22/3/2023). Suku bunga ini merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2017.

Keputusan ini merupakan yang kesembilan kalinya, The Fed menaikkan suku bunga sejak Maret 2022. Kenaikan ini berlangsung ketika AS tengah berjuang melawan inflasi dan krisis di industri perbankan.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Maritim, Investasi dan Luar Negeri, Shinta W. Kamdani mengatakan agresivitas kebijakan moneter The Fed masih akan terjadi hingga laju inflasi di negeri Paman Sam melandai. Namun terdapat konsekuensi terhadap suku bunga acuan nasional yang perlu dicermati kedepannya.

Lantaran hingga Februari lalu, indeks harga konsumen (IHK) AS naik 6 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), meski inflasi AS ini lebih rendah dibandingkan inflasi Januari 2023 yang mencapai 6,4 persen yoy.

"Kita perlu perhatikan reaksi pasar dengan parameter nilai tukar. Kalau nilai tukar bisa dijaga stabilitasnya pasca-kenaikan suku bunga the Fed ini," tuturnya kepada IDN Times, Jumat (24/3/2023).

Baca Juga: The Fed Masih Belum Mau Turunkan Suku Bunga, Sinyal Hawkish Menyala!

1. Kadin sebut tak ada urgensi BI naikkan suku bunga acuan

Menanti Respons Kebijakan BI Usai The Fed Naikkan Suku Bunga AcuanShinta W. Kamdani, CEO Sintesa Group dalam acara Fortune Indonesia Summit 2022 pada Kamis (19/5/2022). (IDN Times/Herka Yanis)

Lebih lanjut, Shinta menilai bahwa Bank Indonesia tidak memiliki kegentingan atau urgensi untuk mengikuti arah The Fed yang menaikkan suku bunga acuan. Lantaran suku bunga acuan saat ini di level 5,75 persen dinilainya cukup memadai.

Terlebih berbagai faktor kondisi domestik terus membaik, mulai dari kinerja ekonomi yang terus menguat yang tercermin dari berbagai indikator diantaranya penjualan eceran, indeks keyakinan konsumen hingga mobilitas masyarakat yang meningkat.

Tak hanya itu, laju inflasi domestik terpantau terkendali, karena pada Februari tercatat inflasi 0,16 persen (month to month) , sedangkan inflasi tahunan menjadi 5,47 persen (yoy).

"Saya rasa kita tidak punya kepentingan maupun urgensi untuk (BI) ikut menaikkan juga suku bunga acuan, khususnya apabila inflasi domestik kita sendiri bisa dibuat downtrending atau turun dalam waktu dekat," tegasnya.

2. Kenaikan suku bunga The Fed berdampak ke inflow

Menanti Respons Kebijakan BI Usai The Fed Naikkan Suku Bunga Acuanilustrasi aliran dana (IDN Times/Aditya Pratama)

Ia menjelaskan bahwa kebijakan The Fed yang kembali menaikkan suku bunga acuan akan memberikan dampak pada aliran modal asing (net inflow) di pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.

Adapun langkah The Fed menaikkan suku bunga cukup mengejutkan di tengah risiko krisis perbankan di Amerika Serikat (AS). Hal ini berarti The Fed masih akan melakukan pengetatan moneter untuk mengendalikan inflasi.

"Kebijakan the Fed pada prinsipnya akan semakin mempersulit arus investasi dari AS. Ini bukan hanya ke Indonesia tetapi juga ke seluruh dunia," ucapnya.

Baca Juga: Kenaikan Suku Bunga The Fed Bakal Tahan Aliran Capital Inflow

3. Komisi XI sebut suku bunga acuan BI kompetitif

Menanti Respons Kebijakan BI Usai The Fed Naikkan Suku Bunga AcuanPuteri Komarudin dalam Sesi "Women's Voice in Politics and Decision Making" IMGS 2022 pada Jumat (30/9/2022). (IDN Times/Tata Firza & Reynaldy)

Lebih lanjut, Anggota Komisi XI Puteri Komarudin mengatakan suku bunga acuan BI saat ini disertai yield Surat Berharga Negara (SBN) yang masih kompetitif ini diharapkan juga terus menjaga tren aliran masuk (inflows) modal asing.

Pasalnya, tercatat aliran masuk sebesar 3,0 miliar dolar AS sejak awal tahun hingga 14 Maret 2023, meskipun juga terjadi aliran keluar seiring meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.

"Kami terus dorong BI untuk melanjutkan twist operation melalui penjualan SBN di pasar sekunder untuk tenor pendek. Supaya mampu meningkatkan daya tarik imbal hasil SBN, terutama bagi masuknya investor portofolio asing yang sekaligus dapat memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah," kata dia.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, nilai kepemilikan SBN oleh investor asing atau non-resident masih tercatat tinggi.

Sejak 1 Maret 2023 hingga 17 Maret 2023, kepemilikan asing di pasar SBN bertambah dari hanya Rp796,16 triliun pada awal Maret menjadi Rp 805,78 triliun. Nilai tersebut cukup signifikan bertambah dalam kurun waktu sepekan.

4. BI Rate masih memadai jaga inflasi

Menanti Respons Kebijakan BI Usai The Fed Naikkan Suku Bunga AcuanIlustrasi Inflasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Lebih lanjut, komisi XI menegaskan suku bunga acuan saat ini dilevel 5,75 persen masih cukup memadai untuk menjangkar ekspektasi inflasi dan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) ke depan.

"Saya rasa BI akan tetap mempertahankan pada level 5,75 persen. Ini seiring inflasi inti yang terus melambat menjadi 3,09 persen per Februari 2023,"ucapnya.

Baca Juga: DPR Sebut Suku Bunga Acuan BI Memadai Jangkar Inflasi, Ini Alasannya

5. BI optimistis suku bunga acuan memadai hadapi ketidakpastian

Menanti Respons Kebijakan BI Usai The Fed Naikkan Suku Bunga AcuanGubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG), Kamis (22/9/2022). (dok. YouTube Bank Indonesia)

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengatakan ketidakpastian global tengah meningkat, pasca kebangkrutan tiga bank Amerika Serikat yakni Silicon Valley, Silvergate, dan Signature. Hal ini akan menimbulkan dampak tekanan pada aliran modal asing ke negara berkembang dan nilai tukar berbagai negara.

Alhasil, Bank Indonesia meyakini BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 5,75 persen memadai untuk mengarahkan inflasi inti tetap berada dalam kisaran 3,0±1 persen pada Semester I 2023, dan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) kembali ke dalam sasaran 3,0±1 persen pada semester II 2023.

"Dampaknya terhadap kebijakan BI, sekali lagi, suku bunga didasarkan kepada ekspektasi dan proyeksi inflasi ke depan serta imbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi selalu begitu. Jadi, tidak one to one dengan fed fund rate. Kami punya otonomi kebijakan moneter," katanya dalam Konferensi Pers RDG, Kamis (16/3/2023).

kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah juga terus diperkuat guna mengendalikan inflasi barang impor (imported inflation) dan memitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global terhadap nilai tukar rupiah.

"Pengetatan kebijakan moneter ditambah munculnya kasus penutupan tiga bank di AS, meningkatkan ketidakpastian pasar keuangan global yang kemudian menahan aliran modal ke negara berkembang dan meningkatkan tekanan nilai tukar di berbagai negara," ujarnya.

Dia menjelaskan pelemahan terjadi kepada hampir seluruh mata uang dunia akibat peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global. Nilai tukar rupiah kemarin (15/3/2023) juga sempat terdepresiasi sebesar 0,75 persen secara point-to-point dibandingkan dengan level akhir Februari 2023.

Alhasil secara year-to-date, nilai tukar rupiah pada 15 Maret 2023 menguat 1,32 persen dari level akhir Desember 2022, lebih baik dibandingkan dengan apresiasi rupee India sebesar 0,16 persen, serta depresiasi baht Thailand dan ringgit Malaysia masing-masing sebesar -0,04 persen dan -1,80 persen.

"Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga sejalan dengan prospek pertumbuhan ekonomi domestik tinggi, inflasi rendah, surplus transaksi berjalan, serta imbal hasil aset keuangan domestik yang menarik," tegasnya.

Baca Juga: Stress Test BI, Bank Nasional Tahan dari Kejatuhan 3 Bank di AS

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya