Gelap menerpa puluhan bulan banyaknya hingga cahaya kembali memeluk, mengusap peluh dan air mata.
Tatkala kupikir takkan ada lagi gelap yang akan menyergap, ia datang dengan rupa yang seperti dirinya.
Bahkan dalam gelap aku bisa melihat bahwa ia adalah dirinya, dirinya yang dulu mewarnai tiap jejak, napas, dan detak arloji itu.
Namun, dirinya adalah masa lalu yang kini kembali menyeret sadarku, kembali ke masa lalu, masa itu, masa saat tiap tetes hujan adalah melodi indah yang mampu mengiringi langkah besarku dan tapak kecil miliknya.

Ia ada di depan sana, menghancurkan warasku, menyeret-nyeret alam pikirku untuk kembali bercengkerama dengan masa lalu.
Ia tetap di sana, di depanku, tanpa dapat kuraih meski hanya aroma tubuhnya saja.
Ia hanya di sana, dengan seringai jahil milik dirinya yang kini perlahan dapat kembali kulihat melalui ia.