[NOVEL] Redum-BAB 3

"Kamu hamil?" Aku menekan suaraku sebisa mungkin, tetapi yang keluar malah seperti suara lengkingan mengerikan.
Rena menggeleng cepat. "Aku hanya bertanya kalau."
"Bohong."
"Kevin juga mikirnya gitu, makanya dia kelepasan. Padahal, aku cuma pengin tahu aja. Kalau aku hamil, Kevin masih mau nggak ngajak aku ke rumah orang tuanya?"
Suasana kembali hening. Aku menaruh kepalaku di bibir ranjang dan memejamkan mata. Dulu, saat masih kecil, Ayah sering menutup mataku dan menyuruh agar aku mendengarkan dengan saksama segala hal di sekelilingku.
"Saat matamu tertutup, dunia jadi terdengar lebih jelas, Nora."
Aku mencoba mendengarkan suara napas Rena. Namun, aku hanya mendengar deru napas dan detak jantungku sendiri. Aku ketakutan. Aku sangat menyayangi Rena. Itu kuketahui ketika aku melihatnya hampir kehabisan darah satu tahun yang lalu. Kupikir itu perasaan bersalah, tetapi bukan. Aku memang menyayanginya, meskipun dia liar, gila, dan tidak terkendali.
"Aku benar-benar tidak hamil," bisiknya. "Aku akan membelikanmu LSD kalau aku bohong."
Itu omong kosong.
Maksudku, LSD-nya.
"Hmm."
Aku merasakan tangan Rena membelai rambutku. Seperti air yang membuat rambutku mengambang, aku membiarkannya. Aku selalu membiarkan Rena melakukan apa pun terhadap hidupku.
Kami menghabiskan sisa waktu di sekolah hanya dengan tiduran di ranjang UKS. Tidak ada guru yang menyuruhku masuk ke kelas, jadi aku tidak pergi ke mana-mana. Aku hanya keluar sebentar saat jam makan siang untuk menemui Anna dan mengatakan kalau aku dan Rena sedang ada rapat kelompok. Anna tampak merana di mejanya dan aku ingin menemaninya. Namun, aku yakin Rena akan kabur dari UKS kalau aku tidak kembali dalam lima menit.
Sepulang sekolah, aku mengantar Anna ke gerbang dan bilang kalau aku akan ke rumah teman. Sebenarnya, ini sudah sering dilakukan, aku hampir tidak pernah pulang bersama Anna. Namun, aku tetap memberikan alasan palsu dan Anna tetap mempercayai alasan itu.
Rena menunggu di gerbang belakang. Dia sudah mengeluarkan rokok ketika aku datang. "Jangan di sini. Itu peraturannya," kataku.
"Aku hanya ingin melihatnya." Dia memasukkan rokok itu ke saku roknya lalu berjalan mendahuluiku.
Kami berencana untuk pergi ke rumahnya karena Luan datang ke sekolah. Rena sempat dipanggil ke ruang kepala sekolah ketika Luan datang dan Rena tidak menceritakan apa pun tentang itu. Aku juga tidak penasaran. Luan pasti marah. Semua orang akan marah kalau dicurigai telah membuat wajah seorang gadis babak belur.
Aku tahu Rena membawa topi di tasnya, tapi dia tidak memakainya dan memilih menunjukkan wajah lebam itu pada semua orang.
"Akan ada pemberitahuan hari kiamat lagi minggu depan," katanya ketika kami sampai di rumah.
Luan tidak terlihat di teras, tetapi aku sudah merasakan auranya di rumah itu. Biasanya, aku dan Rena nongkrong di danau, gang-gang, atau rumah Kevin. Kami jarang ke rumahnya ataupun rumahku akhir-akhir ini. Jika rumahku terlihat seperti hewan peliharaan yang kedinginan, rumah Rena terlihat seperti anjing liar yang terkena suntikan virus dan siap menelan kepala siapa pun dalam satu gigitan.
"Kurasa, aku tidak akan ikut." Yang kumaksud adalah hari kiamat itu.
Acara itu dibuat oleh Rena. Awalnya, hanya aku dan dia anggotanya. Namun, lama-lama, hampir semua anak di sekolah kami mengetahuinya. Acara itu adalah hari ketika Rena mem-posting pemberitahuan hari kiamat yang akan terjadi di kota ini pada tanggal, hari, jam, menit, dan detik yang sudah ditentukan. Jadi, sebelum hari kiamat datang, kami harus melakukan apa pun yang ingin kami lakukan, seakan-akan itu hari terakhir kami berada di Bumi. Intinya, itu adalah tiket gratis untuk bermesraan, berpesta, membuat kekacauan, dan lainnya.
Bulan lalu, seseorang di kelasku mengadakan pesta besar karena kebetulan pemberitahuan hari kiamat bertepatan dengan perginya orang tuanya ke luar kota. Kami menghabiskan malam kiamat di rumahnya. Lalu, menghitung detik demi detik datangnya kiamat. Aku melakukan sesuatu yang sangat ingin kulakukan di detik-detik terakhir. Menempelkan wajahku di lantai kamar mandi orang asing.
Aku menikmati hal aneh itu. Pipiku yang terasa dingin karena ubin yang lembap, mataku yang menatap dunia menjadi datar, semua kebisingan di luar hanya terdengar dari sisi telingaku yang lain. Aku mendengar kata "SATU!" di luar dan tahu bahwa kiamat sudah datang. Secara teknis, seharusnya aku mati. Jadi, aku memejamkan mata. Aku membuat tubuhku merasakan kehampaan, ketiadaan, dan kehancuran. Lalu, aku menangis.
Rena yang menemukanku di kamar mandi. Dia mengatakan kalau hari kiamat ternyata batal dan aku tidak perlu sedih. Akan ada pemberitahuan hari kiamat yang lain kapan-kapan.
"Kamu harus ikut. Aku mungkin akan di luar kota ketika ada pemberitahuan hari kiamat selanjutnya," kata Rena sambil mengetuk pintu. Dia punya kunci rumah, tetapi dia hanya ingin terlihat sebagai tamu di rumah ini.
"Kamu yang memulainya. Kalau kamu pergi, maka acara itu akan berhenti."
"Omong kosong-"
Pintu terbuka. Luan memasang wajah lesu dan membiarkan kami masuk.
"-akan ada banyak penerusku di kota sinting ini." Dia menatap Luan. "Jadi, Anda mengakuinya?"
Luan menutup pintu, membiarkan kami duduk di sofa, lalu dia sendiri duduk di bagian sofa yang lain. Aku yakin sofa ini akan dijualnya beberapa hari ke depan karena masalah keuangan.
"Ren, aku tidak punya waktu meladeni sifat kekanak-kanakanmu."
"Anda mengakuinya," simpul Rena.
Rena menyebut Luan Anda bukan karena dia menghormati kakaknya. Malah sebaliknya, dia sedang menghinanya.
"Nggak. Dan, guru-guru itu percaya. Aku bilang sedang bekerja tadi malam."
"Bangsat." Rena menaikkan kakinya. "Anda katakan apa lagi?"
"Nora, siapa yang mukul Rena?" tanya Luan.
"Jangan bicara sama Nora!"
"Nora-"
Rena melemparkan tasnya ke Luan dan hanya mengenai pangkuan cowok itu. Aku duduk dengan kaki merapat satu sama lain. Di antara mereka, aku menjadi pengunjung yang terus-terusan bersikap canggung.
"Aku mau minum," kataku, lalu beranjak ke dapur.
Rumah Rena cukup besar, apalagi dengan keadaan sekarang yang kosong melompong karena hampir semua barang di rumah ini dijual. Sudah kubilang, tahun lalu orang tua mereka meninggal karena kecelakaan. Jadi, hanya tinggal mereka berdua. Luan berhenti kuliah untuk bekerja dan Rena menjadi semakin liar. Dia juga mulai berpacaran dengan Kevin. Mereka sempat putus, tetapi selalu kembali bersama pada akhirnya.
Keuangan mereka sering menipis, aku tahu itu. Jadi, mereka hanya bertahan dari menjual barang-barang yang ditinggalkan orang tua mereka. Mereka punya seorang bibi yang terkadang berkunjung ke sini, tetapi aku tidak pernah bertemu dengannya. Rena sering bercerita bahwa rumah bibinya sangat bagus karena berdekatan dengan kematian (maksudnya adalah kuburan), itu sebabnya bibinya yang mengurus pemakaman kedua orang tua mereka.
Aku tidak tahu kenapa mereka tidak tinggal dengan bibi itu atau kenapa bibi itu tidak tinggal di sini. Rena hanya sering mengatakan kalau bibinya lebih mementingkan pilihan dan kedewasaan. Namun, aku tidak melihat bibi mereka saat Rena terkapar di rumah sakit. Jadi, aku menyimpulkan kalau hubungan mereka tidak terlalu dekat dan mereka hanya tinggal berdua sekarang.
Di dapur, aku melihat note yang ditulisi Luan. Dia menulis beberapa hal yang harus dibeli. Beras. Sayuran .... Uang saku Rena.
Dia sebenarnya sangat baik, tetapi Rena menganggapnya sebagai pengkhianat ketika Luan mendaftarkan Rena ke kelompok dukungan. Kelompok itu juga meminta iuran dana setiap bulan. Ketika Luan merasa dia tidak punya uang lagi, dia menyuruh Rena berhenti. Rena menyebut Luan sebagai "bangsat plin-plan". Dia berhenti dari kelompok dukungan itu bulan lalu, sedangkan aku masih mengikutinya.
Aku sedang meminum air dari keran ketika Luan masuk ke dapur. Aku segera berdiri tegak dan mematikan keran.
"Dia semakin aneh, Ra," katanya.
Aku melirik keluar dapur dan tidak melihat Rena karena dapur ini dibatasi oleh dinding. "Dia hanya sedang sedih," kataku.
"Kesedihan bisa dilewati. Dia semakin di luar batas."
Rena memang semakin menjadi-jadi setelah keluar dari kelompok dukungan. Dia sering mengajakku untuk membakar tempat pertemuan kelompok itu agar tidak ada orang-menyedihkan-yang-sok-terlihat-superior berkumpul di sana. Dia menyebut orang-orang itu begitu. Itu artinya dia juga menganggapku seperti itu.
"Semuanya akan baik-baik saja. Dia hanya sedang ...." Apa istilahnya? "Mengalami hal buruk."
Luan bersandar ke dinding. "Kamu kelihatan semakin kurus dan pucat," katanya seolah tidak mendengar ucapanku tadi.
Dia sering menilai penampilanku. Kali terakhir kami bertemu, dia bilang bahwa aku tampak sehat. "Karena musim hujan."
"Masih sering berenang?"
"Hmm."
"Aku melihatmu tadi malam."
Sialan.
Aku lega karena tadi malam tidak membuka baju untuk memerasnya.
"Saat kamu melintasi jalanan," lanjutnya. "Aku di mobil."
"Sedang menguntit?"
"Sedang mengantar temanku."
Oh.
"Keluargamu baik-baik saja?" tanyanya.
Sangat baik. Anna tampak semakin membaik akhir-akhir ini. Dia hanya mimisan beberapa kali. Dia juga punya teman baru dan aku yakin dia menaksir temannya itu. Ayah dan Ibu ... mereka akan selalu tampak baik-baik saja kecuali kalau melihat Anna sakit.
"Baik."
"Kamu akan kuliah di luar kota?"
Aku mengangguk. Semua orang rasanya tahu rencanaku. Mungkin, karena aku memberi tahu semua orang atau mungkin karena itu sudah jelas. Aku terlihat tidak pantas di kota ini.
"Rena pasti punya rencana lain, 'kan?" tanyanya.
Aku mengangkat bahu.
Luan tahu aku berbohong, tapi dia hanya mengangguk mengerti. "Aku iri dengan pertemanan kalian."
Dia mengatakan itu dengan penuh keyakinan, seolah-olah itulah kali terakhir dia mengatakan itu padaku. Wajahnya tampak sengsara. Aku menahan diri untuk tidak menepuk bahunya dan menenangkannya, seperti yang selalu kulakukan pada Anna.
***
Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!
storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co